sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Korea Selatan tidak lagi melabeli Korea Utara sebagai musuh

Terminologi 'musuh' telah menjadi sumber permusuhan jangka panjang antara Korea Utara dan Korea Selatan.

Khairisa Ferida
Khairisa Ferida Selasa, 15 Jan 2019 18:32 WIB
Korea Selatan tidak lagi melabeli Korea Utara sebagai musuh

Menurut dokumen pertahanan dua tahunan Seoul yang dirilis pada Selasa (15/1), Korea Utara bukan lagi musuh Korea Selatan. 

Ini adalah pertama kalinya sejak 2010, Korea Utara tidak mendapatkan label musuh dari Korea Selatan. Saat ini hubungan kedua negara terjalin dalam ikatan yang lebih baik.

Buku putih Korea Selatan tidak memuat istilah 'musuh', 'musuh saat ini', atau 'musuh di masa lalu' untuk mendeskripsikan Korea Utara. Meski demikian, di dalamnya disebutkan bahwa senjata pemusnah massal, yang merujuk pada program rudal dan nuklir Korea Utara, adalah ancaman bagi perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea.

Terminologi 'musuh' telah menjadi sumber permusuhan jangka panjang antar Korea. 

Korea Utara menyebut, label itu adalah provokasi yang menunjukkan sikap permusuhan Seoul.

Presiden Moon Jae-in yang berasal dari kalangan Liberal mengejar hubungan yang lebih dalam dengan Korea Utara setelah putaran diplomasi mengejutkan tahun lalu menggantikan ancaman perang dan serangkaian uji coba senjata Pyongyang yang semakin kuat di sepanjang 2017.

Moon tidak sendirian dalam mengupayakan hubungan yang lebih baik dengan Korea Utara. Buku putih Korea Selatan ini dirilis ditengah rencana Donald Trump dan Kim Jong-un untuk menggelar pertemuan kedua untuk menyelesaikan kebuntuan atas upaya denuklirisasi Semenanjung Korea.

Korea Selatan pertama kali melabeli Korea Utara sebagai 'musuh utama' pada 1995, setahun setelah Pyongyang mengancam akan mengubah Seoul menjadi 'lautan api'.

Sponsored

Selama era detente pada tahun 2000-an, Korea Selatan menghindari penggunaan terminologi tersebut. Namun, Seoul menghidupkan kembali istilah itu dalam dokumen pertahanannya setelah serangan pada 2010 oleh Korea Utara.

Perubahan dalam terminologi pasti akan menuai kecaman keras dari kaum konservatif Korea Selatan yang berpendapat bahwa keinginan Moon untuk menjalin hubungan dengan Korea Utara telah sangat merusak postur keamanan negara.

Di bawah perjanjian pengenduran ketegangan yang dicapai setelah KTT Moon dengan Kim Jong-un pada September 2018, kedua Korea menghancurkan sejumlah pos jaga garis depan mereka, membangun zona penyangga di sepanjang perbatasan dan mendemilitarisasi desa perbatasan bersama.

Mayoritas kaum konservatif di Korea Selatan menilai bahwa Seoul seharusnya tidak menyetujui program pengurangan senjata konvensional karena ancaman nuklir Korea Utara tetap tidak berubah.

Menurut dokumen pertahanan Korea Selatan, Korea Utara memiliki 1,28 juta tentara, salah satu tentara terbesar di dunia. Sementara itu, Selatan hanya 599.000 jiwa. 

Korea Utara, menurut buku putih Korea Selatan, juga masih meneruskan penyebaran sekitar 70% aset militernya dan baru saja meluncurkan unit operasi khusus yang mengkhususkan diri dalam pembunuhan.

Dokumen pertahanan Korea Selatan turut mempublikasikan 14 jenis rudal balistik yang katanya dimiliki atau dikembangkan Utara, termasuk ICBM yang diuji coba negara itu tahun lalu. Dokumen itu mengatakan tes ICBM belum membuktikan apakah Korea Utara telah mengatasi hambatan teknologi utama yang tersisa dan sekarang memiliki kemampuan untuk menyerang daratan AS dengan rudal.

Buku Putih Korea Selatan juga menilai bahwa Korea Utara memiliki sejumlah uranium yang sangat diperkaya, material yang membuka jalan bagi Pyongyang untuk membuat senjata nuklir bersama dengan cadangan plutonium mereka yang mencapai 110 pon. Para ahli menilai itu cukup untuk membuat setidaknya delapan bom. 

Menteri Unifikasi Korea Selatan Cho Myoung-gyon kepada parlemen pada Oktober 2018 mengatakan bahwa Korea Utara diperkirakan memiliki hingga 60 senjata nuklir.

Diplomasi global yang lebih luas yang bertujuan menyingkirkan senjata nuklir Korea Utara belum mencapai terobosan sejak KTT Kim Jong-un dengan Trump di Singapura pada Juni 2018.

Prospek untuk KTT kedua AS-Korea Utara telah ditingkatkan setelah Kim Jong-un melakukan perjalanan ke China pekan lalu. Parah ahli meyakini perjalanan itu bertujuan mengoordinasikan posisi sebelum pembicaraan dengan Trump.

Korea Utara belum merespons dokumen pertahanan Korea Selatan. (Time)

Berita Lainnya
×
tekid