sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Langkah kontroversial AS pindahkan kedubes ke Yerusalem

AS resmi memindahkan kedubesnya ke Yerusalem pada 14 Mei 2018, sebuah langkah yang memicu kritik dari berbagai penjuru dunia.

Valerie Dante
Valerie Dante Jumat, 28 Des 2018 12:36 WIB
Langkah kontroversial AS pindahkan kedubes ke Yerusalem

Tahun 2018 menorehkan catatan kelam dalam perjuangan mewujudkan perdamaian abadi di Timur Tengah. Setelah pada 6 Desember 2017, Donald Trump mengumumkan secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, pada tahun ini AS memindahkan kedutaan besarnya ke sana.

Trump telah diperingatkan sebelumnya bahwa keputusannya dapat memicu kerusuhan di kawasan, namun dia bergeming dan tetap memenuhi janji kampanyenya. 

"Beberapa presiden pendahulu telah membuat langkah ini sebagai janji kampanye besar, mereka gagal menepatinya. Hari ini, saya memenuhi janji saya," tutur Trump di Gedung Putih.

Trump menambahkan, "Hari ini, kami mengakui hal yang sudah jelas: bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Tidak lebih, atau tidak kurang, ini merupakan sebuah pengakuan terhadap kenyataan. Ini merupakan sesuatu yang benar untuk dilakukan. Ini seharusnya adalah sesuatu yang sudah dilakukan."

Sang presiden menggambarkan keputusannya sebagai "langkah yang sudah lama ditunggu" untuk memajukan proses perdamaian di Timur Tengah.

Di lain sisi, Trump menekankan AS masih mendukung solusi dua negara sebagai penyelesaian konflik Israel-Palestina. Kementerian Luar Negeri AS lewat sebuah keterangan resmi juga menerangkan bahwa pihaknya tetap mendukung status quo di situs suci yang oleh umat muslim dikenal sebagai Kompleks Al-Haram asy-Syarif atau oleh Yahudi disebut Temple Mount.

Sebagai bentuk realisasi dari keputusannya, Trump memerintahkan kementerian luar negeri untuk memulai persiapan pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Meski keputusan Trump dipandang kontroversial, nyatanya pada tahun 1995 Kongres AS mengadopsi UU Kedutaan Besar Yerusalem atau Jerusalem Embassy Act, yang mendesak pemerintah federal untuk memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem. UU tersebut juga mengakui bahwa Yerusalem merupakan ibu kota Israel.

Sponsored

"Selama lebih dari 20 tahun, setiap presiden Amerika telah mengabaikan UU, menolak untuk memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem atau mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel," ungkap Trump dalam pernyataannya. 

Menurut Trump, para pendahulunya menunda langkah ini atas keyakinan akan memajukan pencapaian perdamaian. Namun, nyatanya setelah lebih dari dua dekade UU tersebut diabaikan, perjanjian perdamaian antara Israel dan Palestian belum juga tercapai.

"Karena itu, saya memutuskan bahwa sudah waktunya untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel," imbuhnya.

Sejarah mencatat bahwa Trump bukanlah presiden AS pertama yang bicara mengenai pemindahan kedutaan AS ke Yerusalem. 

Pada tahun 2000, George W. Bush mengatakan, "Segera setelah saya menjabat, saya akan memulai proses pemindahan Kedutaan Besar AS ke kota yang telah dipilih Israel sebagai ibu kotanya."

Bill Clinton yang menjabat pada periode 1993-2001 pun pernah mengungkapkan bahwa dia mendukung pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota dan prinsip pemindahan Kedubes AS ke sana. Meski pun dinilai lebih berhati-hati, namun Barack Obama juga mengatakan bahwa "Yerusalem akan tetap menjadi ibu kota Israel dan harus tetap tidak terbagi."

Kongres AS berulang kali mengeluarkan UU yang menyerukan langkah pemindahan kedutaan, sesuai dengan Jerusalem Embassy Act. Meski demikian, tidak ada presiden pendahulu yang menindaklanjuti. 

Keamanan, dinilai menjadi salah satu alasan utama dibalik penundaan pemindahaan Kedubes AS ke Yerusalem.

Enam bulan setelah pengumuman Trump, tepatnya pada 14 Mei, AS secara resmi membuka kedubesnya di Yerusalem.

"Dengan menjadi kepala negara pertama yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan membuka kedutaan di sana pada 14 Mei 2018, Presiden Trump mengulangi tindakan Presiden Harry S. Truman 70 tahun yang lalu menjadikan AS sebagai negara pertama yang melakukannya," terang pernyataan resmi Kemlu AS.

Pada 14 Mei 1948, saat pemerintahan sementara mengumumkan berdirinya Israel, Presiden Truman menjadi pihak pertama yang mengakuinya.

Untuk meresmikan pembukaan kedubes, pemerintahan Trump mengirim rombongan delegasi tingkat tinggi yang dipimpin oleh Wakil Menteri Luar Negeri John Sullivan. Bersamanya, turut serta putri Trump, Ivanka dan suaminya Jared Kushner, Menteri Keuangan Steven Mnuchin, serta Perwakilan Khusus untuk Negosiasi Internasional Jason Greenblatt.

Acara peresmian Kedubes AS di Yerusalem ini bertepatan dengan peringatan 70 tahun berdirinya Israel. PM Benjamin Netanyahu mengatakan Israel merayakan keputusan AS.

"Presiden Trump berjanji untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan dia melakukannya. Dia berjanji untuk memindahkan Kedutaan Besar AS ke Israel dan dia juga melakukannya. Tentu saja kita semua akan merayakannya," ujar Netanyahu dalam rapat kabinet mingguan seperti dilansir NBC News pada 13 Mei.

Pada tahap awal, Kedubes AS hanya akan dihuni oleh sekitar 50 staf, termasuk Duta Besar AS untuk Israel David Friedman dan sejumlah petugas konsuler AS.

Trump yang tidak hadir dalam peresmian tersebut, mengirimkan pesan lewat sebuah rekaman video.

"Seperti yang saya katakan pada bulan Desember, harapan terbesar kami adalah perdamaian. AS tetap berkomitmen penuh untuk memfasilitasi perjanjian perdamaian yang langgeng," tutur Trump. 

Beberapa saat setelah pidato Trump, Ivanka menyingkap plakat penandatanganan dan segel Kedubes AS.

"Atas nama presiden ke-45 Amerika Serikat, kami menyambut Anda secara resmi dan untuk pertama kalinya ke Kedutaan Besar AS di Yerusalem, ibu kota Israel," ujar Ivanka yang berdiri di samping Menkeu Mnuchin.

Dalam kesempatan yang sama, PM Netanyahu memuji Trump dan mengomentari peristiwa itu.

"Hari yang luar biasa. Ingatlah momen ini," tegasnya. "Presiden Trump, dengan mengakui sejarah, Anda telah membuat sejarah. Kami semua sangat tersentuh. Kami semua sangat berterima kasih."

Sekitar 800 tamu undangan hadir dalam peresmian tersebut termasuk sejumlah diplomat asing seperti perwakilan dari Hongaria, Romania, dan Republik Ceko.

Presiden Guatemala Jimmy Morales dan mantan Presiden Paraguay Horacio Cartes juga bagian dari tamu yang hadir. 

Kecaman dunia

Uni Eropa mengecam keputusan Trump. Sebagian besar dubes Uni Eropa di Israel memboikot upacara peresmian Kedubes AS tersebut.

Kritik atas kebijakan Trump soal Yerusalem datang dari penjuru dunia. Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyebutnya "menyedihkan". Dia menegaskan bahwa AS tidak bisa lagi menjadi perantara perdamaian bagi konflik Israel-Palestina.

Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud mengatakan pemindahan Kedubes AS ke Yerusalem dapat "mendorong provokasi terhadap muslim di seluruh dunia".

Liga Arab menyebut relokasi kedutaan sebagai "serangan terang-terangan kepada masyarakat Arab dan muslim" dan merupakan "pelanggaran berat atas hukum internasional".

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menekankan bahwa langkah itu menimbulkan kecemasan besar. "Tidak ada alternatif selain solusi dua negara. Tidak ada rencana B," katanya.

Perdana Menteri Inggris Theresa May serta Presiden Prancis Emmanuel Macron menyuarakan pertentangan mereka terhadap kebijakan Trump. Keduanya menilai langkah ini sama sekali tidak membantu tercapainya perdamaian kawasan.

Dari Teheran, Menteri Luar Negeri Mohammed Javad Zarif menyatakan bahwa pembukaan Kedubes AS di Yerusalem merupakan "hari yang sangat memalukan".

Yerusalem, yang merupakan kota suci bagi Islam, Yahudi, dan Kristen, merupakan jantung dari konflik Israel-Palestina. Sengketa atasnya membuat perdamaian jauh dari kenyataan.

Guatemala dan Paraguay memutuskan untuk mengikuti jejak AS dan memindahkan kedubes mereka ke Yerusalem.

Meski begitu, pada September, presiden Paraguay yang baru terpilih Mario Abdo Benítez menegaskan bahwa dia tidak sepakat dengan keputusan pendahulunya.

Tiga bulan setelah Cartes memindahkannya kedubes ke Yerusalem, Benítez mengembalikannya lagi ke Tel Aviv.

Benítez, yang dilantik pada Agustus, mengatakan dia ingin membantu mencapai "perdamaian yang adil dan tahan lama" di Timur Tengah.

Merespons hal itu, Israel menutup kedutaan besar mereka di Paraguay.

Berita Lainnya
×
tekid