sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengintip sengkarut krisis kemanusiaan di Rohingya

Bencana kemanusiaan di negara bagian Rakhine, Myanmar, tak kunjung usai. Ribuan warga etnis Rohingya terbunuh dan lainnya terusir.

Minerva
Minerva Rabu, 11 Okt 2017 12:38 WIB
Mengintip sengkarut krisis kemanusiaan di Rohingya

BENCANA kemanusiaan untuk kesekian kali masih sebatas kalkulasi. Tecermin dalam pelarian hampir setengah juta Muslim Rohingya dalam beberapa pekan terahir. Tanpa status kependudukan, apalagi mendapatkan hak sebagai warga negara, mereka selama ini hidup luntang lantung di Myanmar.

Ya, lebih dari 400 ribu warga Rohingya tak punya pilihan selain meninggalkan Rakhine di belahan utara negeri sejak 25 Agustus 2017. Sekitar 240 ribu di antaranya anak-anak. Tujuan mereka perbatasan Bangladesh.

Eksodus massal ini dipicu tindak kekerasan yang dilakukan tentara Myanmar tanpa pandang bulu. Aksi tersebut disinyalir telah berlangsung selama bertahun-tahun, namun ditutupi sebab diduga strategi pembasmian etnis.

Terungkap dari sederet kesaksian, pemberitaan, dan data satelit, desa-desa tempat mereka tinggal dibumihanguskan. Perempuan dianiaya dan diperkosa. Warga Rohingya yang berstatus pengungsi bahkan menyatakan, tentara menembaki mereka dalam pelarian.

Di sepanjang daerah perbatasan dengan Bangladesh, militer dilaporkan menanam ranjau untuk memastikan mereka yang telah pergi tidak akan pernah bisa kembali.

Pemerintah Myanmar mengklaim, 175 desa atau sekitar 30 persen dari area yang dihuni warga Rohingya di Rakhine kosong. Namun, pernyataan tersebut tidak terverifikasi. Akses menuju wilayah tersebut telah ditutup total, termasuk untuk pemantau independen.

“Kami mendengar kisah-kisah pilu dari orang-orang yang lolos dari maut,” ujar Paolo Lubrano, staf Oxfam di Cox’s Bazar, kota di perbatasan Myanmar-Bangladesh kepada Vox.

Kekerasan akut. Demikian Lubrano menggambarkan persoalan serius tersebut, mengingat banyaknya anak di bawah umur dan trauma yang diakibatkan. Di antara para pengungsi, terdapat banyak ibu hamil yang harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki selama tiga hingga lima hari demi menyelamatkan nyawa dan bayi yang dikandungnya.

Sponsored

Dalih militer, mereka sedang melakukan operasi “bersih” untuk memberangus kelompok teroris dan pemberontak. Klaim ini dilontarkan, seturut laporan tentang serangkaian serangan bersenjata di pos perbatasan, 25 Agustus lalu, yang merenggut 12 nyawa petugas keamanan. Ini insiden kedua setelah kasus serupa terjadi 12 bulan sebelumnya.

Tim pemantau memiliki hasil penilaian sendiri. Mereka mengakui, bibit-bibit pemberontakan memang ada. Tapi, jika dikalkukasi, jumlahnya sangat kecil. Mereka pun tidak memiliki senjata lengkap. Namun, seluruh etnis Rohingya justru terkena imbas operasi yang dilakukan aparat.

Kepala Militer Myanmar Min Aung Hlaing, melalui akun Facebook-nya, 18 September lalu, menegaskan, “Mereka minta diakui sebagai Rohingya yang tidak pernah jadi bagian dari kelompok etnis di Myanmar.”

Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia di PBB (OHHCR) Zeid Ra'ad al-Hussein menyebut krisis kemanusiaan ini contoh nyata pembasmian etnis. Bahkan, tidak sedikit yang menuding negara itu selangkah menuju pelanggaran HAM, termasuk genosida.

“Aksi kekerasan dan persekusi semacam ini harus dihentikan. Banyak yang mengkategorikannya sebagai pembasmian etnis. Harus segera disudahi,” kata dia.

Kini, semua mata tertuju kepada Aung San Suu Kyi yang dituduh abai, melakukan pembiaran meski krisis kemanusiaan tampak nyata di depan mata. Kepekaan Suu Kyi—yang pernah disingkirkan dari kekuasaan, lalu memenangi Nobel Perdamaian (1991), dan disejajarkan Nelson Mandela—dipertanyakan. Ia dikecam karena memilih bungkam meski isu kekerasan merebak luas di seluruh negeri. 

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres beberapa waktu lalu kepada BBC mengatakan, “Ia punya kesempatan untuk membalik situasi. Jika tidak sekarang, tragedi buruk akan semakin menjadi-jadi.”

Namun, sebagian besar pengamat meyakini, bibit-bibit kekerasan telah ditebar bertahun lalu.

Ribuan warga Rohingya selama bertahun-tahun telah menetap di kamp-kamp pengungsian bobrok dan tidak layak huni di Myanmar. Sementara lebih dari 400 ribu pengungsi Rohingya tinggal di Bangladesh dan kini jumlahnya bertambah. Di mana pun berada, mereka tidak mendapat akses kesehatan dan pendidikan.

Berita Lainnya
×
tekid