sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Partai pro-militer unggul dalam pemilu Thailand

Palang Pracharat, yang mendapat dukungan dari majelis tinggi, diperkirakan dalam posisi yang aman untuk mempertahankan Prayuth sebagai PM.

Valerie Dante
Valerie Dante Senin, 25 Mar 2019 11:11 WIB
Partai pro-militer unggul dalam pemilu Thailand

Partai pro-militer, Palang Pracharat, memimpin dalam pemilu pertama Thailand sejak kudeta pada 2014. Hasil resmi yang tertunda hingga Senin (25/3) sore akan mengindikasikan apakah Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dapat memperoleh kursi yang cukup untuk kembali menjabat.

Komisi Pemilu Thailand awalnya dijadwalkan untuk mengumumkan hasil resmi pada Minggu (23/3). Namun, tanpa alasan jelas, mereka menunda pengumuman hingga Senin sore.

Pada Minggu, para pemilih di Thailand hanya memberikan suara untuk pemilihan majelis rendah dengan 500 kursi parlemen. Sementara, para anggota majelis tinggi berjumlah 250 kursi ditunjuk oleh militer. Suara gabungan kedua majelis itulah yang menentukan PM selanjutnya.

Palang Pracharat, yang mendapat dukungan dari majelis tinggi, diperkirakan dalam posisi yang aman untuk mempertahankan Prayuth sebagai PM.

Dengan 93% suara yang baru dihitung, Komisi Pemilu melaporkan Palang Pracharat memimpin dengan 7,64 juta suara.

Tertinggal dengan 7,16 juta suara adalah Pheu Thai, partai pendukung mantan PM Thaksin Shinawatra, yang loyalisnya telah memenangkan setiap pemilu sejak 2001.

Meski hasil akhir belum diumumkan, Ketua Palang Pracharat Uttama Savanaya mengungkapkan dia percaya diri akan menang.

"Kita senang. Mengenai diskusi dengan partai-partai lain tentang pembentukan pemerintahan selanjutnya, kita belum sampai pada tahap itu," kata dia.

Sponsored

Pheu Thai dinilai masih memiliki kesempatan untuk menang karena popularitasnya yang terkonsentrasi di wilayah utara dan timur laut Thailand.

Partai pro-Thaksin itu diperkirakan dapat meraih setidaknya 129 kursi dan Palang Pracharat setidaknya 102 kursi dari 350 kursi yang diperebutkan.

Sedangkan sejumlah 150 kursi lainnya dialokasikan pada partai kecil berdasarkan jumlah total suara yang diberikan.

Kinerja kuat Palang Pracharat mendorong kegelisahan di antara banyak pemilih yang berharap bahwa pemilu dapat melonggarkan cengkeraman elite tradisional dan militer di Thailand.

Lebih dari 50 juta warga Thailand memenuhi syarat untuk memilih, tetapi Ketua Komisi Pemilu melaporkan hanya 66% yang memberikan suara pada pemilu kali ini.

Di markas Pheu Thai di Bangkok, suasana berfluktuasi dari riang menjadi tidak percaya.

"Saya tidak berpikir ini dapat terjadi. Saya tidak berpikir inilah yang diinginkan orang-orang," kata salah satu pendukung, Polnotcha Chakphet.

Ketua Pheu Thai Viroj Pao-in mengatakan ada beberapa laporan pembelian suara, meskipun dia tidak mempertanyakan hasil keseluruhan.

Thaksin digulingkan pada 2006 lewat kudeta militer dan saudara perempuannya, Yingluck Shinawatra, yang mengikuti jejaknya ke dunia politik mengalami nasib yang sama delapan tahun kemudian.

Para kritikus mengatakan sistem pemilu baru yang dirancang junta memberikan keuntungan bagi partai-partai pro-militer dan dianggap dibentuk untuk mencegah Pheu Thai berkuasa.

Ketentuan tersebut berarti Palang Pracharat dan sekutu PM Prayuth harus memenangkan hanya 126 kursi di majelis rendah, sementara Pheu THai dan sekutunya membutuhkan 376 kursi.

Partai Demokrat, yang oleh banyak pihak dianggap dapat menjaga keseimbangan kekuasaan, terlihat sudah ditinggalkan oleh mayoritas pemilih.

Ketua partai, mantan PM Abhisit Vejjajiva, mengumumkan pengunduran dirinya selang beberapa jam setelah penutupan pemilu. 

Peran Kerajaan

Keluarga kerajaan, yang memiliki pengaruh besar di Thailand, memainkan bagian dalam pemilu meskipun tidak jelas sejauh mana pengaruh itu akan berdampak pada hasil akhir.

Menjelang pemungutan suara, Raja Maha Vajiralongkorn membuat pernyataan yang tidak terduga dan samar. Dia mendesak para pemilih untuk menempatkan "orang baik" dalam kekuasaan dan mencegah "orang jahat menciptakan kekacauan".

Pesannya bertolak belakang dari pendekatan almarhum ayahnya, yang meninggal pada 2016. Menjelang akhir masa jabatannya, mantan raja itu menjaga jarak antara monarki dan politik.

Meskipun Raja Maha Vajiralongkorn tidak menyinggung salah satu pihak yang bertarung dalam pemilu, banyak yang berspekulasi bahwa pesannya merujuk pada faksi-faksi politik utama.

Raja Vajiralongkorn juga ikut campur dalam urusan pemilu pada Februari setelah sebuah partai pro-Thaksin menunjuk Putri Ubolratana Rajakanya Sirivadhana, saudari perempuan raja, sebagai calon PM.

Dalam beberapa jam setelah pengumuman itu, raja langsung mengeluarkan pernyataan yang mengatakan pencalonan itu tidak pantas dan Putri Ubolratana pun didiskualifikasi.

"Kami memiliki banyak drama dalam jam-jam terakhir sebelum pemilu," kata Thitinan Pongsudhirak, analis politik di Chulalongkorn University. "Keterlibatan kerajaan berlebihan."

Sumber : Reuters

Berita Lainnya
×
tekid