sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

PBB: Menentang pemerintah, Venezuela bantai lebih dari 5.000 warga

Sejumlah saksi menyebut Pasukan Khusus Reaksi Cepat (FAES) Venezuela melakukan pembantaian tersebut.

Valerie Dante
Valerie Dante Jumat, 05 Jul 2019 15:03 WIB
PBB: Menentang pemerintah, Venezuela bantai lebih dari 5.000 warga

Laporan terbaru PBB mengungkap terjadinya pembantaian terhadap ribuan pemuda yang menentang pemerintah. Laporan tersebut menyebut pasukan keamanan Venezuela dikerahkan untuk menjalankan operasi tersebut. 

Pemerintah Venezuela serta merta menyangkal tudingan tersebut. Menurut mereka, para korban merupakan pelaku kriminal yang terpaksa dilumpuhkan dengan timah panas karena menolak ditangkap. 

Terdapat total 5.287 orang yang dianggap sebagai penjahat menolak ditangkap, tewas dibunuh pada 2018. Selain itu, ada 1.569 yang meregang nyawa hingga 19 Mei 2019.

Laporan tersebut dipublikasikan pada Kamis (4/7) oleh Ketua HAM PBB Michelle Bachelet. Ia mengecam sejumlah besar pembunuhan atau eksekusi ekstra yudisial yang dilakukan pemerintah Venezuela.

Sejumlah warga Venezuela menggambarkan bagaimana pria bertopeng dan berpakaian hitam dari Pasukan Khusus Reaksi Cepat (FAES) Venezeula, menjemput para korban dengan truk hitam tanpa plat nomor.

Para saksi mata mengatakan, pasukan itu menerobos masuk ke rumah-rumah, menjarah barang, dan melecehkan wanita.

"Mereka akan memisahkan para pemuda dari anggota keluarga lainnya sebelum menembak mereka," demikian bunyi laporan tersebut. 

Dokumen PBB tersebut juga menjelaskan bahwa FAES memanipulasi tempat kejadian perkara dan barang bukti.

Sponsored

"Mereka akan menanam barang bukti seperti senjata atau narkoba, kemudian mereka akan menembak dinding atau atap, agar terlihat seperti ada konfrontasi yang menunjukkan bahwa korban menolak ditangkap otoritas," tambah laporan itu.

Laporan, yang memuat 558 keterangan korban, saksi mata, dan sumber lainnya, mengatakan pembunuhan itu merupakan bagian dari strategi pemerintah Presiden Venezuela Nicolas Maduro.

Strategi Maduro bertujuan untuk menetralkan, menindas, dan mengkriminalisasi lawan politik, dan orang-orang yang kritis terhadap pemerintah.

Warga yang diwawancarai PBB menyebut FAES sebagai "regu kematian" atau "kelompok pemusnahan".

Tuntut komitmen

Bachelet mengunjungi Venezuela pada Juni 2019 lalu. Ia dijadwalkan menyampaikan laporannya atas kondisi di Venezuela kepada Dewan HAM PBB pada Jumat (5/7).

Menanggapi laporan tersebut, pemerintah Venezuela menyebutnya sebagai laporan tidak adil dan parsial, terkait situasi HAM di negara kaya minyak itu. Pemerintah berargumen bahwa PBB hanya mengandalkan sumber-sumber yang kurang objektif dan mengabaikan informasi resmi.

"Sebuah analisis yang mengistimewakan kesaksian negatif, tetapi tidak menyebut tindakan yang pemerintah lakukan untuk memajukan HAM. Laporan itu tidak objektif dan memihak," demikian pernyataan pemerintah Venezuela.

Dalam pernyataannya, Bachelet meminta pemerintah berkomitmen untuk bekerja dengan PBB demi menyelesaikan sejumlah masalah HAM di negara tersebut.

"Saya sangat berharap pihak berwenang akan mencermati semua informasi dalam laporan itu dan mengikuti rekomendasi yang kami berikan. Kita semua harus sepakat bahwa rakyat Venezuela layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik," kata Bachelet.

Bachelet menyatakan bahwa laporan tesebut bukan tentang politik, geopolitik, atau hubungan internasional, melainkan berfokus pada krisis HAM di Venezuela.

Rezim kriminal

Laporan PBB dirilis usai mantan kepala mata-mata Venezuela, Manuel Cristopher Figuera, pada Selasa (2/7) mengatakan bahwa Maduro menjalankan bisnis kriminal dalam pemerintahannya.

Figuera menuding Maduro secara pribadi memerintahkan sejumlah besar pelanggaran HAM yang terjadi di bawah pengawasannya, termasuk penahanan sewenang-wenang dan penanaman bukti palsu, untuk menjebak lawan politiknya.

"Saya mencari bantuan untuk membebaskan negara saya dari aib yang sekarang menutupinya," ujarnya.

Figuera membelot dari pemerintah Venezuela tidak lama setelah namanya dimasukkan dalam daftar hitam Amerika Serikat pada Februari.

AS mencantumkan nama Figuera ke dalam daftar hitam itu akibat tuduhan penyiksaan massal, pelanggaran HAM, dan penganiayaan terhadap warga yang menginginkan perubahan demokratis.

Maduro mengecam Figuera sebagai pengkhianat dan menuduhnya bekerja sebagai informan bagi intelijen AS selama lebih dari setahun.

Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah menjatuhkan sanksi kepada puluhan pejabat dan perusahaan Venezuela, yang dituduh melakukan pelanggaran HAM terhadap orang-orang yang berjuang untuk bertahan hidup di negara yang mengalami krisis ekonomi dan politik itu.

Washington tidak menganggap Maduro, yang terpilih kembali dalam Pemilu 2018, sebagai presiden sah dan mengklaim pemungutan suara dinodai kecurangan.

AS dan sekitar 50 negara lainnya telah mendukung Juan Guadio, kepala oposisi, dalam upayanya untuk menggulingkan Maduro dan mengambil alih kekuasaan. (Al Jazeera)

Berita Lainnya
×
tekid