Pelaku bom bunuh diri di gereja Filipina WNI masih hipotesis
Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih menunggu hasil identifikasi pelaku bom bunuh diri yang menyerang gereja di Filipina.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menyanpaikan Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih menunggu hasil identifikasi pelaku bom bunuh diri yang menyerang gereja di Filipina.
“Kita mendengar adanya kabar bahwa pelakunya warga Indonesia, dari kemarin saya sudah berkomunikasi dengan otoritas Filipina namun sampai pagi ini belum terkonfirmasi hasil identifikasinya,” kata Menlu Retno dalam acara Diplomacy Festival di Universitas Andalas, di Padang pada Sabtu, (2/2).
Dari hasil komunikasi dengan otoritas Filipina, kata Retno, bahwa hingga saat ini proses investigasi dan identifikasi masih berlangsung.
Pihaknya pun masih terus melanjutkan komunikasi dengan otoritas Filipina untuk memastikan pelaku benar warga Negara Indonesia atau tidak. Adapun informasi yang menyebut bahwa pelaku terror bom bunuh diri adalah warga Indonesia disebut Retno masih hipotetikal.
"Jika betul WNI itu yang akan kami pastikan," kata dia pula.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Filipina, Eduardo Ano, menyatakan dua pelaku serangan bom bunuh diri di gereja Katolik di Pulau Jolo, Filipina Selatan, pada 27 Januari 2019 merupakan warga asal Indonesia. Serangan yang dilakukan dua pelaku yang disebut ‘pasangan’ tersebut mengakibatkan 22 orang meninggal dunia dan 100 orang luka-luka.
"Yang bertanggung jawab adalah pelaku bom bunuh diri asal Indonesia. Namun, kelompok Abu Sayyaf yang membimbing mereka dengan mempelajari sasaran, melakukan pemantauan rahasia, dan membawa pasangan ini ke gereja," kata Ano.
Ano menambahkan, seorang pria yang dikenal sebagai ‘Kamah’ yang sekarang menjadi tersangka dalam pengeboman itu, bertindak sebagai salah satu pemandu pasangan Indonesia. Menurut Ano, Abu Sayyaf memiliki sumber informan yang memberitahukannya bahwa pengeboman itu adalah proyek dri kelompok teroris lokal Abu Sayyaf.
Dengan adanya teror bom tersebut kembali menghidupkan kekhawatiran terkait pengaruh ISIS di Asia Tenggara, dan kecemasan bahwa Mindanao dapat menjadi tempat bagi para ekstremis dari Malaysia, Indonesia, dan tempat lainnya.