sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pemerintahan Donald Trump diujung tanduk?

Menurut eks penasihat Donald Trump, sang presiden dapat terkena imbas fatal dari penyelidikan Penasihat Khusus Robert Mueller.

Valerie Dante
Valerie Dante Kamis, 31 Jan 2019 14:44 WIB
Pemerintahan Donald Trump diujung tanduk?

Roger Stone dikenal lewat pernyataan-pernyataannya yang berlebihan, namun peringatan teranyar yang keluar dari bibirnya harusnya membuat Donald Trump khawatir.

Pada Selasa (29/1), mantan penasihat politik Trump itu mengaku tidak bersalah atas tujuh dakwaan termsuk pernyataan palsu, penyogokan saksi, dan perbuatan yang menghalang-halangi proses penegakan hukum, yang dijatuhkan oleh Penasihat Khusus Robert Mueller. 

Di hari yang sama, dia menyatakan bahwa kepresidenan Trump dalam bahaya besar menyusul penyelidikan atas dugaan keterlibatan Rusia dalam Pilpres 2016 dapat berimbas fatal baginya. Komentar itu dia sampaikan kepada Breitbart News Daily. 

Sebelumnya, Jaksa Agung Matt Whitaker sudah menyatakan bahwa penyelidikan Mueller akan segera berakhir. 

Pernyataan Stone dan Whitaker menimbulkan pertanyaan apakah klaim Trump yang berulang kali membantah adanya kolusi dengan Rusia dapat menjadi 'benteng' yang cukup kuat baginya dalam menghadapi ancaman dari hasil investigasi Mueller.

Dakwaan terhadap Stone kembali menyoroti dugaan isu pelanggaran hukum dan etika dalam Pilpres AS 2016 yang melibatkan Rusia yang dilakukan tim kampanye Trump.

Bagi Mueller, pertanyaan kuncinya tetap sama: Apakah ada konspirasi kriminal oleh tim kampanye Trump untuk bekerja sama dengan Moskow dalam upaya menjadikannya presiden?

Jika Mueller benar-benar menemukan adanya kecurangan, maka itu akan menjawab pertanyaan mengapa begitu banyak orang di sekitar Trump rela berulang kali berbohong tentang keterlibatan Rusia dalam Pilpres 2016?

Sponsored

Namun, bagaimanapun, sejumlah penemuan Mueller dan informasi lain telah memperlihatkan pola perilaku Trump dan para pejabatnya yang melanggar norma etika selama musim kampanye dan menunjukkan sikap tidak hormat yang jelas terhadap integritas pilpres.

DPR yang dipimpin oleh Demokrat kemungkinan akan menentukan apakah kegiatan kampanye Trump dinilai tidak etis dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Amerika, sehingga pantas ditindaklanjuti dan bahkan berpotensi berujung pada pemakzulan sang presiden.

Tidak diragukan lagi bahwa tim kampanye Trump siap melakukan apa pun untuk memenangkan Pilpres 2016.

Dalam salah satu dari banyak penemuan mengejutkan tentang Rusia pada 2017, The New York Times melaporkan bahwa putra Trump, Donald Trump Jr. menulis, "saya menyukainya", melalui surel ketika diberitahu bahwa seorang pejabat senior Rusia memiliki informasi yang dapat merusak reputasi Hillary.

Adapula kabar baru-baru ini yang menambah keraguan tentang ketaatan etis tim kampanye Trump. Pasalnya, mantan pengacara Trump, Michael Cohen, mengaku telah menyuap aktris film dewasa, Stormy Daniels, sebesar US$130 ribu atas arahan sang presiden. Tindakannya melanggar UU pendanaan kampanye pemilu.

Pada November, Cohen kembali mengaku bersalah ketika dia mengatakan dia berbohong soal proyek pembangunan Trump Tower di Moskow. Pada awalnya, Cohen menuturkan bahwa diskusi proyek itu berakhir pada Januari 2016. Namun, dalam pengakuannya dia mengoreksi bahwa pembahasan dilanjutkan hingga Juni 2016.

Pengakuan Cohen membuka kemungkinan bahwa Trump tidak hanya berbohong ketika dia menyatakan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Rusia, tetapi dia juga melihat kampanyenya sebagai cara untuk membantu melancarkan kesepakatan bernilai ratusan juta dollar dengan Moskow.

Investigasi Mueller diharapkan juga dapat menjawab alasan mantan ketua tim kampanye Trump, Paul Manafort, menawarkan data pemungutan suara eksklusif kepada Konstantin Kilimnik, rekan lama bisnis Trump yang memiliki hubungan dengan intelijen Rusia.

Dalam dakwaan terpisah, Mueller menuduh pasukan bot Kremlin menghabiskan jutaan dollar dalam upaya memengaruhi warga AS di media sosial. Tuduhan itu tidak menyebut adanya keterlibatan tim kampanye Trump.

Trump kerap menunjukkan penghinaan terhadap standar perilaku kampanye pilpres. Contohnya, Trump pernah meminta Rusia untuk menemukan 30.000 surel yang hilang dari server pribadi Hillary saat dia masih menjabat sebagai menteri luar negeri.

Setelah permintaan Trump itu, menurut dakwaan Mueller, agen intelijen Rusia menghabiskan waktu berjam-jam mencoba meretas surel dari domain yang digunakan oleh kantor pribadi Hillary.

Pada Agustus 2016, Trump secara pribadi diperingatkan oleh pejabat senior FBI bahwa musuh asing, termasuk Rusia, kemungkinan akan berusaha menyusup ke timnya atau mengumpulkan informasi tentang kampanye kepresidenannya.

Kemudian pada Oktober, intelijen AS merilis temuan bahwa Moskow mengarahkan DCLeaks dan WikiLeaks untuk membocorkan surel milik Partai Demokrat yang dicuri oleh mata-mata Rusia.

Trump berulang kali memuji WikiLeaks atas surel yang merusak kampanye pilpres Hillary. Dia pernah mengatakan, "Saya menyukai WikiLeaks".

Peringatan dari badan-badan intelijen AS datang bertepatan saat program televisi Access Hollywood merilis rekaman audio Trump yang berkomentar cabul tentang perempuan.

Kurang dari satu jam kemudian, WikiLeaks mempublikasikan sejumlah besar surel milik Clinton yang tampaknya telah dirancang untuk meredakan ancaman yang dinilai dapat menggagalkan kampanye Trump.

Jerome Corsi, penulis konservatif dan ahli teori konspirasi, mengatakan pada November bahwa Stone telah beberapa kali meneleponnya pada hari itu dan memintanya untuk mengontak pendiri WikiLeaks Julian Assange. Menurut Corsi, Stone ingin WikiLeaks membocorkan lebih banyak materi dari surel Hillary. 

Stone telah membantah pernyataan Corsi. Stone sendiri tidak didakwa atas tuduhan konspirasi, meskipun itu menggambarkan bagaimana dia diduga berkoordinasi dengan pejabat kampanye Trump terkait WikiLeaks.

Dalam satu bagian yang menarik, Mueller menuduh bahwa setelah surel curian Komite Nasional Partai Demokrat dirilis oleh WikiLeaks pada 22 Juli 2016, seorang pejabat senior kampanye Trump menghubungi Stone terkait materi tambahan apa pun dan informasi merusak lainnya.

Spekulasi pun muncul mengenai sosok yang memberikan arahan itu, yang mungkin saja Trump atau mungkin pula anggota keluarganya. 

Bahkan jika benar Trump yang memberi pengarahan, itu tidak diklasifikasikan sebagai tindak kejahatan, tetapi bisa membahayakan dirinya jika dia meminta informasi dari WikiLeaks yang diperoleh secara ilegal.

Jika Mueller tidak menetapkan kegiatan selama 2016 sebagai konspirasi kriminal, Kongres harus memutuskan apakah perlu membela sistem pemilihan AS. Jika ya, itu bukan pertama kalinya, dan anggota parlemen mungkin akan belajar dari sejarah.

Bila Kongres memutuskan Trump bersalah, dengan atau tanpa rekomendasi oleh Mueller, maka harus ditentukan apakah itu memenuhi standar kejahatan tinggi dan pelanggaran ringan, standar yang dapat berimbas terjadinya pemakzulan.

Perdebatan mungkin timbul mengenai apakah kesalahan seseorang sebelum menjadi presiden dapat dijatuhi sanksi setara yang seharusnya dikenakan kepada seseorang yang telah menjabat sebagai presiden.

Corey Brettschneider, penulis buku 'The Oath and the Office: a Guide to the Constitution for Future Presidents' mengatakan seorang kandidat yang merusak pemilihan tidak dapat dianggap serius ketika mereka mengambil sumpah untuk membela konstitusi.

"Tentu saja, berbuat curang dalam pemilu atau melakukan tindakan ilegal untuk memengaruhi pemilu tidak hanya merusak integritas calon presiden itu, tetapi juga merupakan ancaman terhadap demokrasi, terutama ketika harus berkolusi dengan pemerintah asing," tutur Brettschneider. "Jika Trump berbuat curang dalam perjalanannya untuk menjabat sebagai presiden, dia mengkhianati sumpahnya untuk membela hukum dasar yang mendasari sistem pemerintahan mandiri AS".

Sumber : CNN

Berita Lainnya
×
tekid