sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

220 pengamat dari 52 negara akan memantau pemilu Kamboja

Pemilu Kamboja 2018 diwarnai dengan isu pembungkaman kubu oposisi dan pemberedelan media.

Khairisa Ferida
Khairisa Ferida Rabu, 25 Jul 2018 11:36 WIB
220 pengamat dari 52 negara akan memantau pemilu Kamboja

Sekitar 220 pengamat dari 52 negara akan mengawasi pemilu Kamboja yang berlangsung pada hari Minggu (29/7). 

"Mereka semua memiliki pengalaman dalam memantau pemilu di berbagai negara," tutur Kim Reat Viseth, kepala komisi pemerintah yang mengoordinasikan pemilu dalam konferensi pers pada Selasa (24/7) seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (25/7). "Mereka akan menyampaikan kebenaran dari apa yang mereka saksikan."

Namun, beberapa organisasi dikritik oleh para analis sebagai "kelompok pemantau pemilu palsu."

"Pemerintah Kamboja berusaha menggunakan kelompok-kelompok pemantau 'bayangan' sebagai ganti kelompok pengamat profesional seperti Uni Eropa yang telah ditarik," ungkap Lee Morgenbesser, seorang peneliti yang ikut mengamati pemilu Kamboja.

"Itu merupakan tanda bahwa pemilu benar-benar tidak punya kredibilitas."

Pemerintah menampik kritikan tersebut dengan mengatakan, "pemantau asing adalah teman baik yang datang untuk mengawasi pemilu."

"Mereka mengevaluasi dan mereka tidak memiliki motif politik, seperti yang dikemukakan profesor tersebut," ujar Kim Reat Viseth merujuk pada Morgenbesser.

Seruan boikot pemilu

Sponsored

Pengumuman pada hari Selasa tentang keterlibatan para pemantau pemilu itu muncul beberapa hari setelah partai-partai oposisi menuding pemerintah membungkam suara-suara kritis terhadap Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang berkuasa.

Kalangan oposisi menyerukan agar rakyat tidak berpartisipasi dalam pemilu. Itu untuk menunjukkan kemarahan atas tidak adanya penantang bagi Perdana Menteri Hun Sen, yang telah lebih dari 30 tahun memerintah Kamboja. 

Kampanye boikot yang dikenal dengan sebutan Clean Finger tersebut dipelopori oleh anggota oposisi yang diasingkan.

Merespons kampanye boikot pemilu yang dilancarkan oposisi, pihak berwenang mencapnya ilegal. Sementara, kelompok-kelompok HAM menilai bahwa seruan itu tidak melanggar hukum.

Oposisi dibungkam

Partai oposisi terbesar, Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) dibubarkan pada November 2017 setelah dituding berusaha menggulingkan pemerintah. Kem Sokha, selaku presiden CNRP dipenjara dan dituduh berkhianat. Dia ditangkap pada September tahun lalu.

Pascapembubaran CNRP, Hun Sen benar-benar melenggang bebas tanpa perlawanan.

Dari sisi pemerintah, mereka menegaskan tidak memenjarakan para kritikus. "Kami tidak pernah melarang kritik tapi kami melarang penghinaan dan hasutan karena dalam situasi pemilu, orang-orang membutuhkan keamanan baik secara fisik maupun mental," ujar juru bicara pemerintah Phay Siphan pada awal pekan ini.

Pembungkaman terhadap kubu oposisi telah dikutuk dunia internasional. Setidaknya 45 negara telah menandatangani surat yang menyerukan agar para politikus oposisi "dibebaskan", termasuk Kem Sokha.

Amerika Serikat dan Uni Eropa juga telah menarik pendanaan mereka bagi pemilu Kamboja.

Meski dihujani kritik, pemerintah Kamboja mengatakan tidak peduli dan tidak akan campur tangan dalam proses peradilan.

Pemberedelan media

Selain melumpuhkan suara-suara politik yang kritis, pemerintah Hun Sen juga menindak kebebasan pers di Kamboja. Sejumlah media independen telah diberedel selama satu tahun terakhir.

September tahun lalu, surat kabar indendepen The Cambodia Daily mengumumkan bahwa pihaknya terpaksa berhenti beroperasi setelah mendapat tagihan pajak senilai US$ 6,3 juta. Penerbit menilai peristiwa itu bermotif politik.

Menurut Reporters Without Borders (RSF), penutupan The Cambodia Daily terjadi beberapa pekan setelah pemerintah Kamboja menindak keras 32 stasiun radio, termasuk biro Radio Free Asia.

RSF menuduh pemerintah Hun Sen memimpin "perang habis-habisan terhadap media independen dengan tujuan memastikan kemenangan dalam pemilihan umum".

Berita Lainnya
×
tekid