sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pengamat: China sedang uji penegakan hukum di Natuna

Pengamat menilai bahwa tindakan penegakan hukum yang solid diperlukan untuk mencegah insiden di perairan Natuna terulang.

Valerie Dante
Valerie Dante Jumat, 10 Jan 2020 07:10 WIB
Pengamat: China sedang uji penegakan hukum di Natuna

Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai bahwa alasan China melanggar batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna adalah untuk mengetes kekompakan penegakan hukum pemerintahan baru Presiden Joko Widodo.

"Menurut saya karena ada pemerintahan baru, mereka mau melihat siapa tahu kebijakannya lebih longgar. Mungkin mereka mendengar tidak ada lagi kebijakan penenggelaman kapal seperti di era Ibu Susi Pudjiastuti," jelas Hikmahanto dalam diskusi 'Legal Update' di Cikini, Jakarta, pada Kamis (9/1).

Pernyataan Hikmahanto merujuk pada fenomena sejumlah kapal penjaga pantai dan kapal nelayan China yang memasuki kawasan ZEE Indonesia pada pertengahan dan akhir Desember 2019. Indonesia merespons dengan mengirim nota protes kepada Beijing, disusul oleh pengerahan jet tempur dan kapal perang milik TNI.

Selain itu, dia menyebut, ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa peningkatan kehadiran kapal nelayan China di perairan Natuna kemungkinan terjadi karena menjelang Imlek, kebutuhan ikan bagi 1,3 miliar penduduk Tiongkok bertambah.

Yang pasti, tegas Hikmahanto, insiden di perairan Natuna akan terulang kembali. Menurut dia, China akan terus mencoba mengambil ikan di wilayah tersebut.

Untuk mengatasinya, Hikmahanto mengatakan bahwa Indonesia perlu mengambil tindakan penegakan hukum yang solid.

"Indonesia harus hadir di perairan Natuna, terutama di Natuna Utara yang tumpang tindih dengan klaim nine dash line China. Kehadiran Indonesia dapat berupa peningkatan aktivitas nelayan lokal maupun melakukan patroli laut," kata Hikmahanto.

Dia berharap otoritas penegak hukum di perairan Natuna tetap konsisten menolak klaim nine dash line serta melakukan penangkapan terhadap kapal-kapal China yang melakukan illegal fishing di wilayah tersebut.

Sponsored

"Mungkin China akan mundur kalau ada konsistensi dari penegak hukum. Kalau penegak hukum Indonesia secara konsisten menangkap kapal-kapal nelayan Tiongkok yang melakukan pelanggaran, itu dapat membuat China kewalahan," ujar dia.

Dia menjelaskan, saat Susi masih menjabat sebagai menteri kelautan dan perikanan, pemerintah seringkali menangkap kemudian menenggelamkan kapal-kapal nelayan China yang terbukti melakukan illegal fishing di perairan Natuna.

Hal tersebut, ungkapnya, membuat Negeri Tirai Bambu marah karena menurut mereka, kegiatan memancing itu dilakukan di wilayah yang mereka klaim sebagai traditional fishing ground milik China.

Hikmahanto menekankan bahwa pemerintah perlu berfokus mengembangkan unit patroli di perairan Natuna. Pemerintah, jelasnya, tidak dapat menggunakan TNI sebagai pagar betis jika terjadi pelanggaran hak berdaulat di ZEE Indonesia.

"TNI hanya memiliki wewenang untuk bertindak dalam jangkauan 12 mil dari garis pantai terluar karena batas itu disebut sebagai laut teritorial yang merupakan wilayah kedaulatan NKRI," jelas dia. "Namun, ZEE itu jaraknya 200 mil dari garis pantai terluar. Di wilayah itu, butuh penegakan hukum dalam bentuk patroli."

Badan Keamanan Laut RI (Bakamla), ujarnya, belum dapat digolongkan sebagai otoritas patroli. Pasalnya, Bakamla hanya bertugas melakukan koordinasi dan sinergi dengan sesama badan kelautan, bukan melakukan eksekusi di lapangan.

"Sampai hari ini kita belum memiliiki penjaga pantai untuk melakukan patroli rutin," tambah Hikmahanto.

Senada dengan Hikmahanto, Ketua Hubungan Kelembagaan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Al Araf mengatakan bahwa dari segi pertahanan keamanan, kapasitas Bakamla perlu ditingkatkan.

"Selama ini kita bingung bentuk Bakamla itu apa. Pemerintah perlu memperjelas arah Bakamla jika memang mau didesain sebagai penjaga pantai," sebut dia.

Hikmahanto menuturkan bahwa TNI-AL juga tidak dapat diandalkan karena mereka menggunakan kapal militer, sedangkan yang seharusnya berpatroli di perairan Natuna merupakan kapal sipil.

Ketika ditanya mengenai kelanjutan konflik di perairan Natuna, Hikmahanto berpendapat bahwa sekarang hanya urusan siapa yang paling kuat bertahan di laut.

"Ujung-ujungnya pasti ada yang perlu pulang untuk mengisi bahan bakar. Ketika ada kapal yang pulang, pasti salah satu pihak dapat mendorong narasi bahwa mereka berhasil mengusir kapal-kapal asing," kata dia.

Berita Lainnya
×
tekid