sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pengamat: Soal Natuna, China tak melanggar kedaulatan NKRI

Sengketa Natuna dinilai seharusnya menjadi faktor pendorong agar ASEAN dan China sesegera mungkin menyelesaikan COC Laut China Selatan.

Valerie Dante
Valerie Dante Selasa, 07 Jan 2020 10:59 WIB
Pengamat: Soal Natuna, China tak melanggar kedaulatan NKRI

Guru besar hukum internasional Universitas Diponegoro Eddy Pratomo menjelaskan bahwa terkait Natuna, secara teknis, China tidak melanggar kedaulatan Indonesia.

Dia menuturkan, di laut teritorial dengan jarak 12 mil laut dari garis dasar (baseline-sea), Indonesia memiliki kedaulatan penuh. Namun, berbeda dengan laut teritorial, garis ZEE ditarik dari kepulauan ke arah laut lepas sepanjang 200 mil laut.

"Dalam perairan ZEE, kita memiliki sovereign rights atau hak berdaulat, bukan kedaulatan," jelas Eddy saat dihubungi Alinea.id pada Senin (6/1).

Maka, lanjutnya, lebih tepat disebut bahwa Tiongkok melakukan pelanggaran di wilayah ZEE di mana Indonesia memiliki hak berdaulat, hal yang berbeda dari pelanggaran kedaulatan atas laut teritorial.

Karena ZEE merupakan wilayah hak kedaulatan Indonesia, setiap kapal asing yang melewatinya harus meminta izin terlebih dahulu.

Eddy mengatakan, klaim nine dash line milik China bersinggungan dengan batas wilayah ZEE Indonesia. Namun, dia sendiri heran karena garis-garis tersebut tidak memiliki koordinat.

"Ini yang dikatakan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982," tambah dia.

Eddy menyebut, China bersikeras menekankan bahwa wilayah yang mereka klaim merupakan traditional fishing ground yang telah menjadi tempat memancing bagi nenek moyang mereka. Namun, hak-hak historis yang diklaim China tidak diatur dalam UNCLOS. 

Sponsored

Meskipun melanggar UNCLOS, Eddy menjelaskan bahwa kesepakatan internasional itu tidak memiliki mekanisme penegakan hukum. Jika ada negara anggota yang melakukan pelanggaran, tidak bisa dibawa ke pengadilan internasional.

Satu-satunya cara jika terjadi pelanggaran adalah saling memperingatkan atau bertukar kecaman.

"Oleh sebab itu, Indonesia secara tegas menyatakan China melanggar ZEE kita. Apalagi kalau kapal-kapal nelayan mereka mancing di situ, itu sudah tergolong sebagai tindakan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF)," tutur Eddy

Melihat tumpang tindih klaim antara Tiongkok dan Indonesia, Eddy menilai pemerintah telah merespons dengan cukup tegas dan mengambil langkah yang tepat.

Indonesia, lanjutnya, tidak mengambil tindakan keras karena memiliki pertimbangan lain terkait hubungan bilateral dengan China yang meliputi banyak bidang termasuk pertahanan, ekonomi, pendidikan, dan sosial-budaya.

Menurut dia, yang terpenting adalah bagaimana kedua pihak mengelola perselisihan tersebut secara damai dan dengan cara persuasif.

"Kalau berkelahi dan memicu perang terbuka, itu hanya akan merugikan kedua negara," kata dia.

Eddy menilai bahwa pemerintah Indonesia sudah menegur keras dengan memberikan nota protes dan mengirim sejumlah kapal nelayan maupun kapal TNI-AL ke perairan Natuna.

"Itu sudah merupakan sinyal bahwa Indonesia memang akan mengusir Anda jika Anda melanggar batas wilayah kami," ujar dia. "Sebagai tetangga yang baik, Indonesia memberikan peringatan melalui upaya persuasif."

Dia menganggap keputusan TNI-AL untuk mengirim sejumlah kapal perangnya ke perairan Natuna bukan langkah yang agresif.

"Menurut saya, kapal-kapal perang dan kapal Bakamla yang bertindak sebagai coast guard itu adalah tindakan yang tepat," ungkap dia. "Hal itu untuk menunjukkan bahwa ini memang wilayah Indonesia dan kita berhak melakukan penjagaan atau bersikap defensif."

Pelanggaran Beijing, tutur dia, memiliki unsur kesengajaan karena ini bukan kali pertama kapal nelayan China melanggar ZEE negara lain di kawasan Laut China Selatan.

Eddy menyatakan bahwa hal itu berulang kali China lakukan sebagai bentuk effective occupation untuk menekankan bahwa secara historis, itu wilayah Tiongkok.

"Contohnya, kalau ada orang masuk ke kebun kita berkali-kali dan tidak diusir, lama-lama kebun itu akan diambil alih oleh mereka karena yang punya hanya diam saja," jelas dia.

Eddy berpendapat bahwa perselisihan di Natuna seharusnya menjadi faktor pendorong agar ASEAN dan Tiongkok sesegera mungkin menyepakati Code of Conduct (COC) Laut China Selatan.

Sejak pertengahan Oktober 2019, pembahasan draf COC tersebut terus digenjot ASEAN dan China.

"COC diperlukan sehingga ada aturan main yang disepakati bersama yang bersifat lebih tegas dan jelas agar klaim-klaim sepihak seperti ini tidak berulang lagi," kata Eddy.

Jika COC disahkan, maka dokumen kode etik itu akan membantu proses penjagaan stabilitas di Laut China Selatan.

"Stabilitas penting untuk dijaga karena kalau stabilitas terganggu, ekonomi juga akan terdampak," jelas dia.

China bergeming

Pada akhir Desember, hubungan antara Indonesia dan China memanas setelah kapal-kapal nelayan China melanggar ZEE Indonesia pada 19 Desember, 24 Desember, dan 30 Desember. 

Indonesia pun mengajukan protes ke China pada 30 Desember.

Hingga Senin, kapal-kapal nelayan China dengan kawalan dua kapal penjaga pantai dan satu kapal pengawas perikanan China masih bergeming di ZEE Indonesia.

Kemlu RI menegaskan, ZEE Indonesia telah ditetapkan berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) dan sebagai salah satu pihak yang meratifikasi konvensi tersebut, China harus menghormatinya.

Indonesia menekankan kembali pendiriannya bahwa tidak ada yurisdiksi yang tumpang tindih dengan China.

"Indonesia tidak akan pernah mengakui nine dash line China karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan keputusan UNCLOS pada 2016," jelas Kemlu RI pada 30 Desember 2019.

Menanggapi pernyataan Indonesia, pada 31 Desember, Kementerian Luar Negeri China menolak tuduhan bahwa kapal penjaga pantainya memasuki wilayah Indonesia secara ilegal di perairan Natuna.

"Apakah Indonesia menerimanya atau tidak, itu tidak dapat mengubah fakta objektif bahwa China memiliki hak dan kepentingan di wilayah laut yang relevan," kata juru bicara Kemlu China Geng Shuang menurut South China Morning Post.

Dia menyatakan bahwa posisi China sejalan dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS.

Pada Senin (6/1), Antara melaporkan bahwa Aliansi Nelayan Indonesia (Anni) menyatakan siap mengerahkan sekitar 500 kapal besar nelayan untuk membantu TNI mengamankan perairan Natuna.

Sementara itu, CNN Indonesia mengabarkan, terdapat delapan Kapal Republik Indonesia (KRI) yang dikirim untuk berpatroli lantaran sejumlah kapal nelayan China masih bertahan di perairan Natuna.

Beijing mengklaim sebagian besar Laut China Selatan, rute perdagangan penting yang diyakini mengandung banyak minyak dan gas alam. Sejumlah anggota ASEAN yakni Brunei Darussalam, Vietnam, dan Filipina juga memiliki klaim di perairan yang disengketakan tersebut.

Berita Lainnya
×
tekid