sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pengumuman hasil resmi pemilu Thailand ditunda hingga 9 Mei

Komisi Pemilu Thailand awalnya dijadwalkan untuk mengumumkan hasil resmi pada Minggu. Namun, tanpa alasan jelas, mereka menundanya.

Valerie Dante
Valerie Dante Selasa, 26 Mar 2019 15:02 WIB
 Pengumuman hasil resmi pemilu Thailand ditunda hingga 9 Mei

Hasil pemilu pertama Thailand pascakudeta 2014 masih belum jelas. Penundaan berkelanjutan atas pengumuman hasil resmi pemilu meningkatkan kekhawatiran adanya dugaan penyimpangan pemungutan suara.

Secara luas, pemilu tersebut dianggap sebagai kontes antara pihak pro-militer yang menginginkan pemimpin junta, Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, untuk tetap berkuasa dan pasukan pro-demokrasi yang berjuang untuk merestorasi demokrasi di negara itu.

Dari hasil 95% suara yang sudah dihitung, Komisi Pemilu Thailand menyatakan bahwa partai oposisi Pheu Thai memenangkan 137 dari 350 kursi di majelis rendah. Sedangkan, Palang Pracharat meraih 97 kursi.

Pheu Thai merupakan partai pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang digulingkan militer pada 2006.

Partai-partai lainnya masih menunggu untuk mendengar berapa banyak kursi yang akan mereka dapatkan. Sejumlah 150 kursi majelis rendah lainnya akan dialokasikan pada partai kecil berdasarkan jumlah total suara yang diberikan.

Hasil sementara itu sudah cukup bagi Pheu Thai untuk mengumumkan bahwa mereka akan membentuk koalisi dengan pihak mana pun yang tidak ingin militer kembali berkuasa.

"Kami telah terpilih untuk berada di nomor satu (di majelis rendah). Kami akan mulai membentuk pemerintahan karena kami telah menerima konsensus dari masyarakat," tutur calon perdana menteri dari Pheu Thai, Sudarat Keyuraphan.

Thaksin, atau para pemimpin yang memiliki koneksi dengannya, telah memenangkan setiap pemilu sejak 2001.

Sponsored

Langkah Pheu Thai dinilai terlalu dini, karena mereka masih harus meraih 376 kursi untuk menjadi mayoritas. Belum dapat dipastikan bahwa Pheu Thai dapat menggalang dukungan yang cukup untuk mengamankan posisi.

Pada Minggu (24/3), Palang Pracharat beringsut maju dalam pemungutan suara dengan meraih 7,69 juta suara, sementara Pheu Thai memperoleh 7,2 juta suara.

Komisi Pemilu awalnya dijadwalkan untuk mengumumkan hasil resmi pada Minggu. Namun, tanpa alasan jelas, mereka menunda pengumuman. Keputusan penundaan telah menuai kritik dari banyak pengamat.

Pada Minggu, ketika Ketua Komisi Pemilu Ittiporn Boonprakong ditanya terkait hasil akhir, dia berkata, "Saya tidak sedang membawa kalkulator."

Para kritikus juga menduga adanya penyimpangan dalam perhitungan suara karena adanya dua juta suara yang dianggap tidak sah oleh Komisi Pemilu.

Pada Senin, rakyat Thailand di Twitter menyuarakan kekecewaan mereka dengan tagar #PoTaek, yang berarti "kecurangan yang mudah ditemukan" dan tagar #KongLuangTang atau berarti "pemilu yang curang".

Mayoritas warga Thailand, terutama para pemilih muda, memandang pemilu sebagai kesempatan untuk mengembalikan demokrasi ke Thailand setelah lima tahun dikuasai oleh pemerintahan militer.

Lebih dari 52 juta warga Thailand memenuhi syarat untuk memilih, tetapi Ketua Komisi Pemilu melaporkan hanya 66% yang memberikan suara.

Sekretaris Jenderal Pheu Thai Poomtham Wecchayachai menyatakan bahwa partainya akan menerima hasil pemilu. Dalam konferensi pers, dia menegaskan bahwa apa pun hasil dari pemungutan suara itu, semua pihak harus menerima keputusan yang dibuat oleh rakyat.

Ada kemungkinan bahwa tidak ada partai yang akan memenangkan mayoritas yang jelas di majelis rendah dan partai-partai diperkirakan akan memulai perebutan kekuasaan dengan membentuk koalisi.

Namun, banyak yang menilai bahwa Palang Pracharat mendapat keunggulan dalam pemilu itu.

Para kritikus mengatakan aturan pemilihan baru dirancang untuk merugikan partai besar seperti Pheu Thai dan menjaga agar militer tetap berkuasa.

Senat atau majelis tinggi juga kemungkinan akan memainkan peran penting dalam menentukan pemerintahan Thailand berikutnya. Dan karena anggota Senat dipilih sepenuhnya oleh militer, mereka diprediksi akan memenangkan Palang Pracharat.

Suara gabungan dari majelis tinggi dan majelis rendah akan menentukan PM selanjutnya.

Komisi Pemilu menyatakan baru akan mengumumkan hasil resmi pada 9 Mei 2019.

Penyimpangan pemilu

Tuduhan penyimpangan pemilu juga digaungkan oleh Thaksin. Dia mengatakan bahwa inkonsistensi yang ada membuatnya khawatir.

"Ada banyak penyimpangan yang membuat saya khawatir melihat politik dan sistem pemilu negara yang sangat terbelakang," jelasnya.

Salah satu keluhan yang disampaikan Thaksin adalah jumlah surat suara jauh lebih tinggi dibanding dengan jumlah pemilih.

Mantan PM itu menambahkan bahwa di banyak daerah pemilihan, suara Palang Pracharat tiba-tiba melompat, dari tempat ketiga menjadi tempat pertama.

"Di sejumlah daerah pemilihan, Palang Pracharat beralih dari kalah menjadi menang ... saya melihatnya sebagai sesuatu yang merusak dan membuat negara kita kehilangan kredibilitasnya," ujarnya.

Thaksin sekarang hidup dalam pengasingan untuk menghindari hukuman di Thailand atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan. Namun hingga kini, dia tetap sangat berpengaruh dalam politik Thailand.

Komisi Pemilu membela diri dengan mengatakan bahwa media telah salah melaporkan data yang diberikan kepada mereka, dan bahwa server mereka sempat diserang peretas.

Sekretaris Jenderal Komisi Pemilu Charungvith Phumma menyalahkan "kesalahan manusia", beralasan bahwa orang-orang yang menghitung jumlah suara hanyalah orang biasa yang tidak luput dari kesalahan.

Pada kudeta 2014 yang menggulingkan saudara perempuan Thaksin, Yingluck Shinawatra, militer menyatakan ingin memulihkan ketertiban, stabilitas, serta menghentikan demonstrasi yang telah berulang kali pecah selama bertahun-tahun.

Namun, setelah merebut kekuasaan, militer justru menerapkan konstitusi baru yang menurut oposisi dirancang untuk menjaga kekuatan pro-militer tetap berkuasa.

Bintang baru dalam pemilu adalah Future Forward Party (FFP), partai yang baru dibentuk dan berhasil meraih 5,3 juta suara pada perhitungan terakhir.

Raihan suara itu memberikan mereka potensi untuk jadi partai terbesar ketiga Thailand.

FFP menjadi sangat populer di negara itu melalui kebijakan mereka yang relatif progresif, kampanye media sosial yang cerdas, dan ketua partai yang merupakan miliuner Thanathorn Juangroongruangkit.

Menggambarkan diri sebagai salah satu partai anti-junta, FFP berjanji untuk mengubah konsitusi yang dirancang militer, memotong anggaran pertahanan, meningkatkan transparansi pemerintah, dan memperkuat lembaga-lembaga demokrasi.

Partai politik tertua di Thailand, Demokrat, yang merupakan partai terkuat kedua dalam pemilu 2011, kini justru mulai redup. Hasil perhitungan awal menempatkannya di tempat keempat dengan raihan 2,38 juta suara.

Akibat penampilan buruk partainya, Ketua Partai Demokrat yang pernah menjabat sebagai PM, Abhisit Vejjajiva, mengumumkan pengunduran dirinya pada Minggu malam. (CNN dan BBC)

Berita Lainnya
×
tekid