sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pilpres AS: Konstelasi Trump vs Biden di media online dan Twitter

Pilpres AS ke-59 rencananya dilaksanakan 3 November 2020.

Valerie Dante Fatah Hidayat Sidiq
Valerie Dante | Fatah Hidayat Sidiq Rabu, 22 Jul 2020 14:24 WIB
Pilpres AS: Konstelasi Trump vs Biden di media <i>online</i> dan Twitter

Amerika Serikat (AS) akan melaksanakan pemilihan presiden (pilpres) ke-59. Rencananya diselenggarakan pada 3 November 2020. Calon mengerucut pada dua nama, petahana sekaligus kandidat dari Partai Republik, Donald Trump dan kontestan dari Partai Demokrat, Joe Biden.

Jalan terjal untuk kembali merengkuh kekuasaan dihadapi Trump lantaran banyak peristiwa yang menggerus reputasinya. Diawali dari kebijakan kontroversial membangun tembok tinggi di perbatasan selatan guna menghalau imigran ilegal; mendesak pemerintah Ukraina menyelidiki putra penantangnya, Hunter Biden dan berujung pada pemakzulan terhadapnya; kematian warga kulit hitam, George Floyd, oleh kepolisian di Minneapolis dan memicu gelombang protes; penanganan pandemi coronavirus baru (Covid-19); hingga keputusan AS keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Kesialan kembali menimpa pemilik The Trump Organization itu. Kampanye politiknya di Tulsa, Oklahoma, medio Juni, sepi penonton lantaran digembosi fans K-pop. Kegiatan hanya dihadiri 6.200 orang dari klaim sejuta tiket terjual. Tak ayal, Trump belakangan mencopot Brad Parscale sebagai manajer tim suksesnya.

Sementara itu, perjalanan Biden menjadi AS-1 justru cenderung lebih mulus. Apalagi, pasca-Bernie Sander mundur dari bursa pencalonan dan mengalihkan dukungan mantan senator ini. Manuver politik Trump melalui Hunter Biden pun gagal dan menjadi bumerang.

Laku media
Dinamika Pilpres AS 2020 antara Biden kontra Trump pun menjadi sorotan di sejumlah media daring (online) arus utama (mainstream). Berdasarkan pantauan Alinea.id rentang 1 Januari-30 Juni 2020, pemberitaan terkait Trump mencapai 270.142 artikel di 1.763 portal. Sebanyak 258.582 artikel di antaranya membahas lima isu besar, seperti penanganan pandemi (97.882 artikel), Pilpres AS (62.329 artikel), peristiwa George Floyd dan masalah rasial (41.107 artikel), keamanan nasional (34.042 artikel), serta perseteruan dengan China (23.222 artikel).

Sementara itu, pemberitaan menyangkut Biden justru lebih sedikit dengan 62.833 artikel pada 943 portal. Sebesar 60.761 artikel di antaranya membahas lima isu yang sama. Perinciannya Pilpres AS 35.918 artikel, peristiwa George Floyd dan masalah rasial 11.515 artikel, penanganan Covid-19 6.708 artikel, keamanan nasional 5.455 artikel, serta perang dagang AS-China 1.165 artikel.

Meski jumlah artikel tentang Biden jauh lebih sedikit, ini menunjukkan media lebih condong memberitakan pencalonannya pada kontestasi empat tahunan. Sedangkan Trump menyangkut isu-isu aktual di “Negeri Paman Sam”–bahkan tidak mencapai separuh dari total artikel membahas pilpres.

The New York Times paling banyak memberitakan tentang Trump dengan 5.621 artikel, disusul The Daily News (4.964 artikel), Breitbart (4.513 artikel), SRN News (4.071 artikel), Reuters (3.636 artikel), Local News 8 (3.181 artikel), News Week (2.758 artikel), Raw Story (2.697 artikel), OAN (2.322 artikel), dan News Max (2.217 artikel). Banyaknya pemberitaan oleh The New York Times seakan-akan anomali karena afiliasi politiknya liberal, adapun Trump seorang politikus konservatif.

Sponsored

Adapun sebaran berita tertinggi (top share) menyangkut Biden dilakukan Fox News dengan 2.679 artikel, selanjutnya The New York Times (2.220 artikel), Washington Examiner (2.009 artikel), Breitbart (1.959 artikel), The Daily News (1.660 artikel), SRN News (1.381 artikel), Local News 8 (1.129 artikel), News Week (1.051 artikel), Bozeman Daily Chronicle (955 artikel), dan Red State (822 artikel). Seperti Trump, pemberitaan tentang Biden juga lebih banyak dilakukan media yang ideologinya bertolak belakang. Fox News merupakan portal dengan afiliasi konservatif, sedangkan Wakil Presiden ke-47 AS itu adalah politikus Demokrat.

Berdasarkan sentimen, sebesar 48% dari 270.142 artikel tentang Trump adalah negatif, disusul netral 29%, dan 23% positif. Adapun pemberitaan positif mengenai Biden mencapai 23% dari 62.833 artikel, lalu 35% netral, dan 42% negatif. Ini seakan-akan mengambarkan keduanya bukan kandidat terbaik, apalagi telah banyak calon-calon memilih mundur dari nominasi capres Demokrat.

Selanjutnya, distribusi berita tentang Trump paling banyak di Washington DC dengan 67.900 artikel. Kemudian New York (39.995 artikel), Minneapolis (13.717 artikel), Los Angeles (13.717 artikel), Chicago (6.163 artikel), Atlanta (5.081 artikel), San Fransisco (4.731 artikel), Las Vegas (4.347 artikel), Detroit (4.292 artikel), dan Houston (4.031 artikel).

Seperti Trump, pemberitaan tertinggi mengenai Biden juga di Washington DC dengan dengan 15.012 artikel, New York 10.538 artikel, Minneapolis 4.382 artikel, dan Los Angeles 2.651 artikel. Lalu Las Vegas (2.488 artikel), Houston (1.886 artikel), Atlanta (1.831 artikel), Philadelphia (1.780 artikel), Detroit (1.601 artikel), dan Chiacago (1.576 artikel).

Intensnya pemberitaan di Minneapolis terkait isu meninggalnya George Floyd. Isu tersebut dimanfaatkan Biden untuk mengkritik kepolisian atas tewasnya warga kulit hitam itu dan memicu munculnya gelombang aksi #BlackLivesMatter. Meski demikian,sebaran berita Trump cenderung merata dan dominan di seluruh negara bagian dibandingkan rivalnya.

Di sisi lain, Trump menjadi figur yang paling berpengaruh (top influencer) atas berita-berita tentangnya dengan 312.657 pernyataan (statement). Taipan ini dibayangi Biden dengan (33.494 pernyataan); Gubernur New York, Andrew Cuomo (23.215 pernyataan); Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS, Anthony Fauci (21.494 pernyataan); Wakil Presiden AS, Mike Pompeo (19.856 pernyataan); mantan capres Partai Demokrat, Bernie Sanders (17.712 pernyataan); Ketua DPR AS, Nancy Pelosi (15.797 pernyataan); Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom (11.284 pernyataan); Wakil Presiden ke-47 AS, Mike Pence (10.056 pernyataan); dan mantan capres Partai Demokrat, Elizabet Warren (8.655 pernyataan).

Biden pun menjadi tokoh yang paling banyak dikutip media terkait pemberitaan tentangnya dengan 49.670 pernyataan, disusul Trump 43.009 pernyataan dan Sander 20.655 statement. Berikutnya Warren (9.487 pernyataan); Pelosi (6.875 pernyataan); Anggota DPR AS, Adam Schiff (6.276 pernyataan); mantan capres Partai Demokrat, Pete Buttigieg (6.200 pernyataan); eks Penasihat Keamanan Trump, John Bolton (4.985 pernyataan); mantan cawapres Partai Demokrat, Amy Klobuchar (4.540 pernyataan); dan Red State atau basis Republik (822 pernyataan).

Top influencer tersebut menunjukkan, narasumber yang pro terhadap penantang Trump jauh lebih beragam. Sedangkan Trump justru mendapat kritik dari narasumber selain dirinya. Ini berbanding lurus dengan cerminan sentimen dan isu yang diangkat media.

Geliat medsos
Kontestasi pun diperbincangkan di media sosial (medsos), termasuk Twitter. Pada rentang waktu yang sama, Seperti pada portal online, ekspos kicauan tentang Trump jauh lebih besar dibandingkan Biden. Ekspos terhadap petahana sebesar 1.449.862 cuitan, sementara penantang cuma 212.952 cuitan.

Dari ekspos terkait Trump, sebanyak 410.341 kicauan membahas tentang lima isu besar. Meliputi penanganan Covid-19 (225.114 kicauan), Pilpres AS (73.731 kicauan), konflik dengan China (46.605 kicauan), keamanan nasional (34.882 kicauan), serta peristiwa George Floyd dan masalah rasial (30.009 kicauan).

Adapun ekspos terhadap Biden, hanya 45.411 dari 212.952 kicauan yang mengecurut pada lima isu besar. Terdiri dari Pilpres AS (31.227 kicauan), kritik penanganan Covid-19 (9.531 kicauan), peristiwa George Floyd dan masalah rasial (3.203 kicauan), keamanan nasional (880 kicauan), serta perang dagang AS-China (570 kicauan).

Hal tersebut menunjukkan, perbincangan tentang Trump di Twitter didominasi masalah Covid-19 daripada pencalonannya kembali. Percakapan menyangkut pilpres pun tidak tergolong besar dibandingkan seluruh ekspos terhadapnya sebesar 1.449.862 kicauan.

Kendati ekspos terhadap keduanya jomplang, tetapi lima isu terbesar yang memperbincangkan keduanya terkait masalah sama, dari pandemi hingga perang dagang dengan "Negeri Tirai Bambu". Namun, isu pilpres lebih mendominasi dari total ekspos terhadap Biden dibandingkan empat masalah lain.

Tak sekadar itu. Sentimen positif terkait Biden juga jauh lebih tinggi dengan 64%, negatif 21% dan netral 15%. Sentimen positif ekspos terhadap Trump hanya sebesar 23%, negatif 58%, dan netral 19%.

Dengan demikian, terdapat kontras antara citra keduanya saat diberitakan di media daring dengan Twitter. Namun, Biden jauh lebih dielu-elukan dibandingkan Trump di medsos.

Menakar peluang Trump
Saat dihubungi Alinea.id, pengamat politik internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siswanto, berpendapat, tingkat keterpilihan Trump merosot saat Pilpres AS 2020. Dipengaruhi beberapa faktor, seperti kegagalan menangani pandemi dan kasus rasial imbas kematian Floyd.

"Dalam survei dari Asosiasi Ilmu Politik Amerika, Trump adalah presiden terburuk dalam sejarah AS karena dia memecah belah bangsa dengan masalah rasialisme," ungkapnya.

Kinerja di bidang ekonomi menjadi faktor ketiga yang memengaruhi turunnya elektabilitas Trump, seperti kegagalan merebut hati warga AS dengan memainkan isu perang dagang. Manuver di Laut China Selatan pun gagal menggaet simpati publik.

Rencana membangun perdamaian dengan Korea Utara (Korut) dan membangun perdamainan di Semenanjung Korea juga hanya dianggap sebagai isu politik demi mengatrol popularitas. "Itu memang mainan Trump saja. Dia tidak sungguh-sungguh," yakinnya.

Menurutnya, isu-isu tersebut sengaja dimainkan demi dukungan publik saat elektabilitasnya anjlok. "Trump seperti itu," jelasnya.

Bagi Siswanto, kinerja ekonomi Trump hanya bagus di awal-awal pemerintahan. Mulai memburuk saat memainkan isu perang dagang dengan China dan berlanjut sampai sekarang karena membuat ekonomi nasional AS maupun ekonomi global kian tidak sehat.

"Pertumbuhan ekonomi AS yang awalnya membaik tidak membaik di tengah perang dagang, apalagi ekonomi AS semakin terperosok akibat pandemi Covid-19 ini," urainya.

Memoles citra di media juga diyakini takkan bisa kembali menaikkan reputasi Trump di mata masyarakat.

Kasus rasial tersebut berpotensi membuat komunitas Hispanik atau African-American yang mulanya mendukung menarik diri dan bergeser ke Biden. Kegagalan demi kegagalan Trump pun membuat orang-orang konservatif menjadi lebih moderat dan berpikir ulang untuk kembali mendukungnya.

Dia melanjutkan, Trump bakal mengganti tema untuk meraih dukungan karena isu antiimigran yang dimainkan sejak Pilpres 2016 mulai "tidak laku". "Orang sekarang sibuk dengan Covid-19," tegasnya.

Diprediksi isu yang akan dimainkan masalah ekonomi dan keamanan. "Mungkin juga terkait dengan Indo-Pacific. Apakah akan berhasil? Tidak tahu," katanya.

Merosotnya elektabilitas membuat petahana kian sukar kembali memenangi kontestasi. Alhasil, Biden selaku penantang berpeluang besar memenangi pilpres, apalagi pernah menjadi AS-2 di masa pemerintahan Barack Obama dan diunggulkan Partai Demokrat karena tokoh-tokoh lain dengan sukarela mengundurkan diri dari pencalonan.

"Hitungan-hitungan di atas kertas memang menunjukkan, bahwa probabilitas menang Trump merosot jauh, bisa-bisa dia hanya satu periode," ujarnya.

"Beda cerita kalau Trump dan pemerintahannya sukses menangani penyebaran Covid-19 di AS karena masyarakat internasional sekarang sedang fokus mengatasi pandemi. Tapi, justru Trump gagal di masalah penanganan pandemi ini," imbuhnya. Dicontohkannya dengan klaim tingkat fatalitas di AS akibat Covid-19 terendah yang tidak sesuai realitas.

Kendati demikian, dirinya mengingatkan, politik bak sebuah permainan dan terkadang terjadi sesuatu di luar dugaan. Dicontohkan dengan pengalaman kontestasi sebelumnya.

"Saat Pilpres AS 2016, Trump secara teori kalah, kan? Tapi, tiba-tiba secara mengejutkan dia menang, terlepas menangnya dia curang atau tidak," ucapnya.

Relasi dengan Indonesia
Di sisi lain, Siswanto menilai, pemenang Pilpres AS takkan berpengaruh signifikan terhadap hubungan bilateral dengan Indonesia. Pertimbangannya, kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) jauh berbeda dibandingkan era Soeharto ataupun Susilo Bambang Yudhono (SBY), di mana kadar pertemanan kedua negara lebih tinggi.

"Sekarang, era Jokowi, lebih cenderung kepada China karena bisa menarik investasi dan sejalan dengan garis ideologi. Ideologi maksud saya di sini sepertinya sama seperti era Sukarno, di mana AS dianggap sebagai imperialis dan tidak sejalan dengan garis-garis politik PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan)," jelasnya.

"Jadi, saya kira buat AS, mau Trump kalah atau menang, Indonesia sendiri bukan mitra yang utama," tambahnya.

Dirinya mengingatkan, hubungan bilateral tidak mutlak karena tergantung siapa pemimpinnya. Sehingga, kedekatan AS dengan Indonesia berpeluang kembali merekat saat ada pergantian kekuasaan di Tanah Air. "Bisa beda cerita," katanya.

Meski begitu, Siswanto mengakui, akan terjadi perubahan pendekatan kala Biden memenangi pilpres lantaran tidak mengutamakan kekuatan militer atau cenderung soft power. "Kerja samanya mungkin lebih ke nontraditional security, bukan hard power military," tutupnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid