sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Selandia Baru kritik publikasi penculikan perawat di Suriah

Louisa Akavi dan dua rekannya diculik di Idlib, Suriah, pada 13 Oktober 2013.

Valerie Dante
Valerie Dante Selasa, 16 Apr 2019 12:17 WIB
Selandia Baru kritik publikasi penculikan perawat di Suriah

Publikasi berita terkait seorang perawat asal Selandia Baru yang disekap oleh ISIS di Suriah selama lima tahun terakhir telah memicu ketegangan antara Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan pemerintah Selandia Baru.

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengkritik ICRC karena secara publik merilis rincian penculikan perawat bernama Louisa Akavi.

Pada Senin (15/4), atas kerja sama dengan ICRC, The New York Times merilis laporan yang mengungkapkan bahwa perawat berusia 63 tahun itu, bersama dua rekannya, telah diculik di Idlib, Suriah, pada 13 Oktober 2013.

Ketiganya menjadi perawat yang paling lama disandera dalam sejarah ICRC.

Pada 2013, sejumlah media lokal Selandia Baru sudah mengetahui penculikan itu, tetapi pemerintah meminta mereka untuk tidak memublikasikan berita tersebut.

Keputusan itu pemerintah ambil sebagai langkah preventif untuk menjaga keselamatan pihak yang disandera.

Setelah berita itu beredar pada Senin, para petinggi ICRC dan Palang Merah Selandia Baru merilis serangkaian video yang meminta informasi apa pun terkait keberadaan Louisa dan dua rekannya.

Pesan yang sama pun mereka gaungkan di Twitter.

Sponsored

Namun, publikasi itu tidak disambut baik oleh pemerintah Selandia Baru. 

Dalam konferensi pers mingguannya, PM Ardern berulang kali menolak untuk mengomentari isu penculikan Louisa. Dia menegaskan pemerintah tetap berpendapat bahwa nama dan rincian penculikan perawat itu seharusnya tidak dipublikasikan.

"Kami memandang seharusnya detail-detail itu dijauhkan dari publik ... Pandangan kami berbeda, kami tidak setuju dengan ICRC," tutur Ardern.

PM Ardern menyatakan bahwa posisi pemerintah Selandia Baru terkait isu itu tidak akan bergesar.

"Ini tidak akan berdampak kepada hubungan kami dengan ICRC, kebetulan saja kami mengambil perspektif yang berbeda pada saat ini," lanjutnya.

Menteri Luar Negeri Selandia Baru Winston Peters, mengatakan upaya untuk menemukan Louisa masih berlangsung serta pemerintah tidak akan mengomentari persoalan operasional dan intelijen.

Dia mengungkapkan bahwa personel satuan khusus udara (SAS) Selandia Baru telah dikerahkan ke Suriah sebagai bagian dari upaya multi-agensi untuk menyelamatkan para perawat.

"Kami sangat menyarankan ICRC untuk tidak secara publik menyiarkan prioritas Selandia Baru," kata Menlu Peters dalam sebuah pernyataan.

Peters menyatakan, pemerintah menilai bahwa publikasi terkait penculikan Louisa akan meningkatkan risiko keselamatannya.

Direktur Bidang Operasi ICRC Dominik Stillhart mengatakan dia terkejut atas respons pemerintah Selandia Baru yang mengkritik keputusan lembaganya.

Stillhart yakin langkah itu mendapat dukungan dan persetujuan pemerintah. Dia menyebut, seorang perwakilan pemerintah datang ke kantornya pada Jumat (12/4) dan menyatakan sepenuhnya selaras atas keputusan yang akan diambil oleh ICRC.

"Penting untuk memahami bahwa setiap keputusan yang diambil sejak 13 Oktober 2013 bertujuan untuk memaksimalkan peluang kebebasan Louisa, dan setiap keputusan merupakan hasil koordinasi dengan pemerintah Selandia Baru ... Itu termasuk keputusan untuk menyebarluaskan publikasi terkait penculikan ini," jelas Stillhart.

Dia membela keputusan lembaga itu, menyatakan bahwa langkah ICRC diambil dengan transparansi penuh dan koordinasi dengan pemerintah.

"Kami tidak mungkin mengambil langkah itu tanpa dukungan pemerintah Selandia Baru," tegas Stillhart.

Keputusan untuk menerbitkan berita penculikan Louisa juga menuai kritik dari sejumlah media di Selandia Baru. Koresponden nasional dari TV3, Patrick Gower, menyebut keputusan ICRC untuk go public adalah tindakan gegabah.

Gower juga mengatakan pertikaian yang terjadi antara pemerintah dan lembaga bantuan adalah hal yang memalukan.

Louisa terakhir terlihat pada akhir 2018 di dekat Sungai Efrat, di dekat perbatasan antara Suriah dan Irak.

Sumber : The Guardian

Berita Lainnya
×
tekid