sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sudan ajak emigran Yahudi untuk kembali

Menteri Agama Sudan menekankan bahwa negaranya pluralistis.

Khairisa Ferida
Khairisa Ferida Senin, 09 Sep 2019 14:42 WIB
Sudan ajak emigran Yahudi untuk kembali

Menteri Urusan Agama Sudan meminta agar orang-orang Yahudi yang sebelumnya tinggal di negaranya untuk kembali. Pernyataan tersebut muncul setelah tumbangnya kediktatoran Sudan yang dipimpin oleh Omar al-Bashir. 

"Sudan pluralistis dalam pemikirannya, kebudayaannya, ideologinya ... Ada Islam, Kristen dan minoritas yang mengakui iman Yahudi," Nasr-Eddin Mofarah kepada Al Arabiya pada Jumat (6/9).

"Ada kemungkinan bahwa mereka (minoritas) telah meninggalkan negara ini dan dalam kesempatan ini kami ingin memanggil mereka ... untuk kembali karena selama ada pemerintahan sipil, dasar kebangsaan adalah hak dan kewajiban."

Sejumlah orang Yahudi diyakini masih tinggal di Sudan. Pada puncaknya komunitas Yahudi di negara itu disebut berjumlah sekitar 1.000 orang.

Penciptaan Israel pada 1948 dan serangkaian perang Arab Vs Israel dilaporkan telah membuat kehidupan sehari-hari tidak nyaman bagi banyak orang Yahudi Sudan. Protes antiIsrael meledak dan retorika terkadang bergeser menjadi antisemit, menimbulkan kecurigaan, kebencian dan intimidasi.

Nasionalisasi pada awal 1970 menambah keraguan tentang masa depan mereka. Merasa terancam dan tidak pasti, kebanyakan orang Yahudi Sudan memutuskan bermigrasi ke Amerika Serikat, Inggris, Swiss atau Israel.

Di bawah Bashir, hubungan yang lama bermusuhan dengan Israel digambarkan hangat. Pada Januari, Bashir mengatakan dia dinasihati untuk menormalkan hubungan dengan Israel dalam upaya membantu menstabilkan kerusuhan domestik yang berkembang yang mengancam kekuasaannya.

Israel telah lama mewaspadai Sudan, yang secara tradisional dianggap dekat dengan Iran. Namun, pada awal 2017, Khartoum bergabung dengan Arab Saudi dan Bahrain dalam memutus hubungan dengan Teheran.

Sponsored

Kabinet pertama pasca-Bashir lengser

Sudan melantik kabinet pertamanya sejak digulingkannya mantan al-Bashir pada April 2019 menyusul protes nasional terhadap pemerintahannya.

Kabinet beranggotakan 18 orang yang dipimpin oleh Perdana Menteri Abdalla Hamdok, yang mencakup empat perempuan, disumpah di istana presiden di Khartoum pada Minggu (9/9). Anggota kabinet baru tersebut termasuk menteri luar negeri wanita pertama Sudan Asmaa Abdalla dan mantan ekonom Bank Dunia Ibrahim Ahmad al-Badawi sebagai menteri keuangan.

Para anggota kabinet diharapkan dapat menangani urusan sehari-hari negara selama masa transisi 39 bulan sampai pemilihan umum diadakan.

Susunan kabinet dibentuk setelah sebelumnya diresmikan dewan yang berdaulat, badan gabungan sipil-militer yang bertujuan untuk mengawasi transisi. Dewan yang berdaulat sendiri merupakan hasil dari kesepakatan pembagian kekuasaan antara pengunjuk rasa dan jenderal yang merebut kekuasaan setelah militer menggulingkan Bashir.

Hamdok dilaporkan masih bernegosiasi dengan gerakan prodemokrasi untuk dua jabatan kabinet terakhir.

"Kita harus melakukan banyak upaya untuk memenuhi tuntutan rakyat ... Dunia mengawasi kita. Menunggu untuk melihat bagaimana kita bisa menyelesaikan masalah kita," ujar Menteri Informasi Faisal Mohamed Saleh setelah upacara pelantikan.

Hamdock dan timnya akan mewarisi sektor perbankan yang hancur, inflasi tahunan lebih dari 40%, dengan kekurangan komoditas dasar seperti bahan bakar dan tepung, situasi yang pada Desember memicu protes yang akhirnya menggulingkan Bashir.

Sementara itu, menteri keuangan yang baru diangkat, al-Badawi, pada Minggu mengatakan, "Kami memiliki program 200 hari untuk menghidupkan kembali ekonomi dengan cara yang dapat membantu mengurangi biaya hidup rakyat kami dalam waktu dekat."

"Kami juga memiliki rencana jangka panjang untuk merestrukturisasi ekonomi secara keseluruhan," ujar al-Badawi seraya menambahkan bahwa Sudan mengharapkan bantuan baru untuk mengatasi sejumlah tantangan segera.

Tantangan lain yang mesti ditangani oleh kabinet Hamdok adalah mengakhiri sejumlah konflik internal. Kelompok-kelompok pemberontak di Darfur, Blue Nile, dan Kordofan Selatan telah melakukan perlawanan panjang melawan pasukan Bashir.

"Jalan di depan tidak mudah. Kami akan menghadapi banyak tantangan tetapi kami harus mengatasinya," kata Walaa Issam, menteri pemuda dan olahraga.

Bashir didakwa oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas dugaan kekejaman di wilayah Darfur lebih dari 10 tahun lalu, dalam perang yang menewaskan sekitar 300.000 orang dan memaksa 2,7 juta orang mengungsi.

Konflik internal pecah pada 2003 ketika kelompok-kelompok etnis minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah Bashir yang didominasi Arab, menuduhnya melakukan diskriminasi dan pengabaian.

ICC di Den Haag merilis surat perintah penangkapan terhadap Bashir pada 2009 dan 2010 atas tuduhan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida di Darfur. (The Times of Israel dan Al Jazeera)

Berita Lainnya
×
tekid