sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tangkap, pukul, tembak: Kekerasan aparat terhadap pelanggar lockdown

Di beberapa negara, protes terhadap lockdown terjadi dan menimbulkan kericuhan.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Sabtu, 14 Agst 2021 15:07 WIB
Tangkap, pukul, tembak: Kekerasan aparat terhadap pelanggar lockdown

Disc jockey (DJ) Dinar Candy tak menyangka, aksinya berbikini di pinggir Jalan Adhyaksa, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sebagai wujud protes terhadap kebijakan perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbuntut panjang.

Rabu (4/8) malam, usai sebelumnya ia berbikini di trotoar sambil membawa papan bertuliskan “saya stres karena PPKM diperpanjang”, Dinar dijemput polisi dari Polres Metro Jakarta Selatan di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Polisi lantas menetapkan Dinar sebagai tersangka kasus pornografi karena aksinya berbikini.

Namun, penetapan tersangka kepada Dinar dan menjeratnya dengan Undang-undang Pornografi mendapat respons dari Institute for Criminal Justice Reform (ICRJ). Dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (5/8), ICRJ menganggap penjeratan Dinar dengan UU Pornografi berpotensi mengakibatkan overkriminalisasi.

“Tindakan yang dilakukan oleh DC (Dinar Candy) harus dilihat sebagai bentuk protes dan dilakukan di tempat umum untuk mendapatkan perhatian publik, bukan untuk menampilkan ketelanjangan atau pornografi,” tulis ICRJ.

Protes anti-lockdown

Penangkapan demonstran yang protes PPKM pun terjadi sebelum kasus Dinar. Di Banten misalnya, puluhan orang yang hendak berunjuk rasa menolak PPKM di depan Pendopo Bupati Lebak, Banten pada Senin (26/7) dibubarkan polisi. Pembubaran itu berujung ricuh, sejumlah orang ditangkap.

Di Bandung pada Rabu (21/7) sebanyak 150 orang yang melakukan aksi unjuk rasa menolak perpanjangan PPKM ditangkap aparat. Polisi mengklaim menyita lima bom molotov dan menuding massa aksi ingin membuat Bandung tidak kondusif.

Penguncian wilayah atau lockdown—di Indonesia disebut PPKM, meski pemerintah tak mau menyebut istilah ini sebagai lockdown—menurut World Health Organization (WHO) adalah [D1] langkah jarak fisik atau sosial skala besar dan pembatasan pergerakan, yang bisa memperlambat penularan Covid-19.

Sponsored

China merupakan negara pertama yang menerapkan lockdown pada kota-kota di Provinsi Hubei, salah satunya Wuhan, ketika pandemi mulai menyebar pada awal tahun lalu. Lalu, cara ini diikuti negara lain, seperti Italia, Spanyol, Rusia, India, dan Filipina.

Kursi kosong diletakkan di depan gerbang Bradenburg sebagai pengingat keadaan yang sulit bagi pemilik hotel dan restoran, akibat mewabahnya virus corona, di Berlin, Jerman, Jumat (24/4). Foto Antara/Reuters/Michele Tantussi

Menurut Tamer Oraby dkk dalam “Modeling the effect of lockdown timing as a Covid-19 control measure in countries with differing social contacts” terbit di Nature, 8 Februari 2021, masa perpanjangan penguncian berbeda setiap negara.

Kerap penguncian diberlakukan, lalu diperpanjang berulang kali dalam tempo dua hingga tiga minggu. Oraby dkk mengungkap, lockdown Wuhan di China memang memberikan efek positif mengurangi tingkat kontak, yang bisa menurunkan penyebaran infeksi Covid-19.

“Para ahli memperkirakan, penguncian Wuhan mencegah antara 0,5 dan 3 juta infeksi dan 18.000–70.000 kematian, dengan mengorbankan dampak negatif terhadap ekonomi dan pembatasan kebebasan pribadi,” tulis Oraby dkk.

Namun, WHO mengakui, langkah-langkah ini dapat berdampak negatif pada individu, komunitas, dan warga dengan nyaris menghentikan kehidupan sosial dan ekonomi mereka.

“Langkah-langkah tersebut secara tidak proporsional memengaruhi kelompok yang kurang beruntung, termasuk orang-orang dalam kemiskinan, migran, orang-orang terlantar dan pengungsi, yang paling sering tinggal di lingkungan yang penuh sesak dan bergantung pada upah harian untuk hidup,” tulis WHO.

Maka, kebijakan lockdown tak jarang mendapat respons sinis sejumlah kelompok. Di sejumlah wilayah Australia misalnya, lockdown diterapkan sudah beberapa pekan di tengah ancaman penularan varian Delta dan lambannya program vaksinasi.

Pada Sabtu (24/7) ribuan orang turun ke jalan di Sydney dan Melbourne, protes kebijakan lockdown. Aparat pun cenderung bersikap represif dan menganggap para tukang protes sebagai orang-orang “bodoh” yang tak taat protokol kesehatan.

Bentrokan dengan aparat tak terhindarkan. Di Sydney sekelompok orang menyerang petugas yang menunggang kuda, dengan cara melempari mereka dengan pot dan botol. Di Melbourne demonstran memadati jalan, usai berkumpul di luar parlemen negara bagian.

Pada Minggu (25/7), menurut The Guardian , polisi sudah mengeluarkan 510 denda kepada sebagian besar peserta protes. Selain itu, ada 57 orang yang ditangkap dan didakwa terkait kericuhan.

“Egois dan merugikan diri sendiri. (Protes) itu tidak akan mengakhiri penguncian lebih cepat,” kata Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, seperti dikutip dari The Guardian, Minggu (25/7).

“Sydney tidak kebal dari orang-orang bodoh,” ujar Menteri Kepolisian dan Layanan Darurat, David Elliott, dikutip dari The Guardian.

Di Inggris, bentrokan pecah ketika pengunjuk rasa anti-lockdown pawai melalui pusat Kota London pada Sabtu (20/3), melawan perintah polisi agar mereka menjauh karena pembatasan sosial.

Dilansir dari Reuters, 20 Maret 2021, polisi setempat melakukan 33 penangkapan, sebagian besar dianggap melanggar peraturan tentang pandemi, usai sekitar 10.000 orang berkumpul sembari membentangkan spanduk bertuliskan “berhenti menghancurkan kehidupan anak-anak kami” dan “pandemi palsu”.

Kemudian, pada Sabtu (24/4) bentrokan antara pengunjuk rasa anti-lockdown dan polisi terjadi di Hyde Park, London, kala polisi berusaha membubarkan kerumunan. Menurut BBC News , 25 April 2021, delapan aparat terluka karena lemparan botol. Protes juga terjadi di Oxford Street. Polisi menangkap lima orang karena dianggap melanggar ketertiban umum dan menyerang petugas.

Pengunjuk rasa anti-lockdown menduduki jalan dan menghentikan lalu lintas di London, Sabtu (20/3/2021). Foto Mark Jones/Unsplash.com.

Temuan Amnesty International

Amnesty International menerbitkan laporan penelitian Covid-19 Crackdowns Police Abuse and the Global Pandemic, yang menyatakan banyak negara yang menggunakan undang-undang darurat memberi kekuasaan yang tak terbatas kepada pemerintah dalam mengambil langkah menangani Covid-19. Akibatnya, terjadi kebijakan yang tak mematuhi hukum dan standar hak asasi manusia (HAM) internasional.

Dalam laporan itu, Amnesty International mendokumentasikan pelanggaran di beberapa negara karena keadaan darurat untuk mengkriminalisasi mereka yang menggunakan hak kebebasan berekspresi.

“Pemerintah telah melakukan pendekatan yang memungkinkan penggunaan kekuatan polisi secara berlebihan untuk menekan hak kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai,” tulis Amnesty International.

“Dengan dalih Covid-19, aparat penegak hukum telah melakukan berbagai pelanggaran HAM, mulai dari penahanan sewenang-wenang hingga penggunaan kekuatan berlebihan.”

Ada banyak contoh kesewenang-wenangan aparat terhadap pelanggar jam malam dan lockdown, pengkritik pemerintah terhadap kebijakan mengatasi pandemi, serta para tukang protes anti-lockdown di berbagai negara.

Seorang pria berjalan melewati 'NHS Dedication Mural' di Elephant & Castle, London, Inggris, pada Selasa (5/5/2020) di tengah pandemi Covid-19. Foto Antara/Reuters/Hannah McKay

Di Filipina, dalam catatan Amnesty International, hingga September 2020 sebanyak 100.486 orang ditangkap atas tuduhan pelanggaran penerapan lockdown dan jam malam.

“Presiden Rodrigo Duterte juga memberi perintah kepada polisi, militer, dan pejabat lokal untuk membunuh mereka yang tak patuh selama penerapan karantina wilayah,” tulis Amnesty International.

Di Argentina, pemuda bernama Facundo Astudillo Castro hilang setelah pada 30 April 2020 menangkapnya karena melanggar karantina wilayah nasional. Pada 2 September 2020, tim forensik independen mengidentifikasi mayat yang ditemukan adalah Facundo.

Di Prancis, sebanyak 85 orang didenda dalam tiga kasus protes pada Mei dan Juni 2020, termasuk unjuk rasa dukungan untuk petugas medis, meski para demonstran sudah mengenakan masker dan menjaga jarak fisik. Beberapa pengunjuk rasa juga ditangkap.

“Di El Salvador, seorang anak muda menggambarkan bagaimana seorang petugas polisi menahan dan memukulinya, serta menembaknya dua kali di kaki ketika dia tertangkap akan membeli makanan dan bahan bakar, yang diduga melanggar karantina nasional,” tulis Amnesty International.

Selain itu, pasukan keamanan di India dan Sierra Leone memukul orang-orang dengan tongkat yang masih berkeliaran di jalanan saat menerapkan lockdown. Pada Mei 2020, ada laporan sebanyak 18 orang tewas di tangan pihak keamanan Nigeria selama masa lockdown.

Di Afrika Selatan, polisi menembaki orang-orang yang keluar di jalan-jalan dengan peluru karet di hari pertama lockdown, akhir Maret 2020. Ketika terjadi protes terhadap pemberlakuan kembali lockdown di Beograd, Serbia, polisi merespons dengan kekerasan. Aparat menembak gas air mata dan granat setrum ke kerumunan pengunjuk rasa. Pendemo juga dipukuli dengan perlengkapan antihuru hara.

Menurut Amnesty International, di seluruh Eropa ada beberapa kasus di Belgia, Prancis, Yunani, Italia, Rumania, dan Spanyol di mana aparat penegak hukum menggunakan kekuatan yang melanggar hukum demi menegakkan aturan lockdown pada orang-orang yang tak menjadi ancaman yang signifikan.

Akhirnya, Amnesty International merekomendasikan enam poin terkait aksi kekerasan aparat selama penguncian wilayah. Pertama, pandemi Covid-19 harus disikapi sebagai krisis kesehatan masyarakat, yang perlu ditangani melalui langkah-langkah kesehatan berbasis bukti dan berakar pada penghormatan terhadap HAM.

Kedua, peraturan kesehatan tak boleh digunakan sebagai alasan melanggar atau terlalu membatasi HAM, termasuk hak berekspresi dan berkumpul. Ketiga, penegak hukum harus menahan diri saat menegakkan peraturan lockdown.

Keempat, penegak hukum harus memastikan perlindungan terhadap diskriminasi. Kelima, pasukan militer tak bisa digunakan untuk melaksanakan tugas penegakan hukum dan mereka tak boleh dikerahkan mengatasi pandemi, kecuali dalam keadaan luar biasa dan sementara.

“Keenam, pertanggung jawaban atas pelanggaran HAM yang dilakukan aparat penegak hukum dan pihak lain tetap penting, bahkan selama krisis kesehatan masyarakat,” tulis Amnesty International.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid