sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tekan China soal Uighur, AS ancam jatuhkan sanksi

PBB memperkirakan hingga satu juta warga Uighur kemungkinan ditahan di luar hukum di Xinjiang atas dalih melawan terorisme.

Valerie Dante
Valerie Dante Selasa, 12 Mar 2019 19:28 WIB
Tekan China soal Uighur, AS ancam jatuhkan sanksi

Duta Besar untuk Kebebasan Beragama Internasional dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat Samuel D. Brownback secara khusus menyoroti dugaan penindasan beragama terhadap etnis Uighur dan kelompok minoritas muslim lainnya yang berada di wilayah Xinjiang.

Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB memperkirakan hingga satu juta warga Uighur kemungkinan ditahan di luar hukum di Xinjiang atas dalih melawan terorisme.

"Yang sedang terjadi di Xinjiang adalah situasi yang tragis, menyedihkan, dan mengerikan, di mana diyakini ada lebih dari satu juta etnis Uighur berada di fasilitas penahanan," tuturnya dalam telekonferensi dari Taipei, Taiwan, Selasa (12/3).

Brownback menyatakan Beijing tidak menunjukkan ketertarikan untuk berdialog dengan Washington terkait isu yang telah menarik perhatian dunia tersebut.

Pada awalnya, jelas dia, China menyangkal ada kamp penahanan dan belakangan mereka mengakui adanya kamp pendidikan vokasi untuk memberikan pelatihan kejuruan bagi kelompok muslim di wilayah sekitar.

"Kami tidak puas dan tidak setuju dengan pernyataan itu. AS membutuhkan komunitas internasional yang tidak bias untuk datang dan melihat sendiri berbagai fasilitas dan kondisi di kamp tersebut," tegas Brownback.

Brownback menuturkan bahwa setelah menerima kecaman dari masyarakat global, saatnya kini bagi pemerintah China menjelaskan kepada dunia apa yang mereka lakukan terhadap rakyatnya sendiri.

Dia menegaskan bahwa China perlu membuka diri untuk merangkul dan memberi ruang bagi kebebasan beragama.

Sponsored

Brownback menyinggung bahwa China telah masuk dalam daftar Country of Particular Concern (CPC) yang dibuat oleh Kemlu AS pada 1999. Negara-negara yang masuk ke dalam daftar tersebut adalah pelanggar berat kebebasan beragama di bawah UU Kebebasan Beragama Internasional (IRFA).

"China sudah lama ada di daftar itu," kata dia.

Diplomat itu menjelaskan bahwa AS telah mempertimbangkan mengambil sejumlah tindakan untuk menekan Beijing, salah satunya adalah menerapkan sanksi jika pemerintah China tidak memperbaiki kondisi kebebasan beragama.

Di bawah UU Magnitsky AS dapat menghukum individu atau kelompok yang terbukti terlibat dalam tindakan pengendalian kebebasan beragama di Xinjiang.

UU Magnitsky memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk membekukan aset yang dimiliki oleh individu jika pemerintah percaya bahwa mereka terlibat dalam korupsi, pencucian uang, dan pelanggaran hak asasi manusia di negara asalnya.

"Ada beberapa cara yang dapat kami lakukan untuk memberi tekanan pada China dan pemerintahan Donald Trump sangat peduli terhadap masalah kebebasan beragama dan prihatin dengan apa yang terjadi di China," ungkapnya. 

Nantinya, UU Magnitsky akan diberlakukan oleh Kementerian Keuangan AS melalui proses peninjauan yang intens untuk mengidentifikasi aset individu yang terlibat dalam konflik tersebut.

Brownback menilai sanksi Magnitsky merupakan alat yang efektif karena menargetkan individu. Menurutnya, hal itu dapat mengirimkan pesan ke pemerintah untuk berpikir dua kali jika ingin mengambil tindakan yang berdampak negatif bagi kebebasan beragama.

"Sanksi ini dapat bertindak sebagai peringatan kepada individu dan pemerintah bahwa ada konsekuensi yang akan diderita jika mereka melakukan sesuatu seperti itu," lanjutnya.

Brownback berharap masyarakat sipil dan kelompok agama dapat lebih aktif dalam melawan tekanan dari Beijing.

"Saya ingin melihat masyarakat sipil dan kelompok agama bersatu dan menyuarakan dukungan mereka untuk kebebasan beragama satu sama lain," jelasnya. "Sayangnya sebagian besar dunia berada dalam suasana yang membatasi kebebasan beragama. Hampir 80% masyarakat global hidup dengan pembatasan kebebasan beragama."

Brownback menginginkan agar pers internasional lebih aktif meliput situasi yang terjadi di Xinjiang.

Penelitian yang dilakukan Brownback mengungkap bahwa negara-negara yang menganut kebebasan beragama akan memiliki lebih sedikit ancaman terorisme dalam negeri dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

"Contohnya Taiwan yang memeluk kebebasan beragama, ekonomi mereka sangat hidup. Hal yang sama juga berlaku di Abu Dhabi, negara yang baru saja menjadi tuan rumah kunjungan Paus Fransiskus dan bahkan menggelar misa pertamanya di negara Arab, ekonomi mereka pun stabil," tutur Brownback.

Dia berpendapat bahwa negara-negara yang menganut kebebasan beragama dan membiarkan warganya untuk memeluk kepercayaan apa pun tanpa memberikan batasan akan tumbuh lebih cepat dari negara yang memanipulasi dan membatasi kegiatan beragama.

"Kebebasan beragama memang dasar dari HAM, tetapi pemerintah perlu sadar ada manfaat lain yang datang darinya," kata dia.

Menjawab pertanyaan wartawan mengenai situasi keagamaan di Vietnam, Brownback mengungkapkan bahwa meski Vietnam sudah dicoret dari daftar CPC sejak 2000, kondisi kebebasan beragama di sana tetap memprihatinkan.

"Khususnya bagi etnis minoritas. Pemerintah Vietnam seolah memiliki masalah tersendiri kepada etnis minoritas beragama di sana dan melarang kegiatan keagamaan mereka," tuturnya.

Brownback pun mengomentari perihal Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang kerap menyerang gereja Katolik secara verbal.

Dia menekankan bahwa setiap orang, termasuk para pemimpin agama, memiliki hak untuk berpendapat atau mengkritik pemerintah secara bebas tanpa takut mendapat tindakan balasan.

Pemerintah, lanjutnya, seharusnya melindungi dan bukan malah menyerang kelompok beragama tertentu di negaranya.

Berita Lainnya
×
tekid