sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Terungkap bukti baru pembersihan Rohingnya

Bukti baru terkait pembersihan kelompok Rohingnya ditemukan. Militer Myanmar kian brutal menculik dan merampok kelompok ini.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Kamis, 08 Feb 2018 19:50 WIB
Terungkap bukti baru pembersihan Rohingnya

Operasi penyerangan yang dilancarkan pasukan keamanan Myanmar terhadap penduduk Rohingya di negara bagian Rakhine Utara masih jauh dari kata usai, terang Amnesty International, Kamis (8/2). Dari hasil wawancara dengan 19 orang Bangladesh, organisasi ini menemukan fakta adanya pendatang baru selama Desember dan Januari. Kelaparan, penculikan, dan penjarahan properti memaksa 688.000 orang Rohingnya lari melintasi perbatasan, sejak Agustus silam.

"Dimanipulasi oleh kebohongan dan penyangkalan dari pihak otoritas serta upaya untuk menolak dilakukannya penyelidikan secara independen, militer Myanmar terus menampik tuduhan atas kejahatan kemanusiaan," tegas Matthew Wells, Senior Crisis Advisor di Amnesty International, yang baru saja kembali ke organisasi tersebut selepas perjalanan penelitian dari Cox's Bazar, Bangladesh.

Pada 25 Agustus 2017, tentara Myanmar meluncurkan operasi kekerasan terhadap penduduk sipil Rohingya di seluruh negara bagian Rakhine Utara. Aksi ini merupakan balasan serangan yang dilakukan kelompok bersenjata Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), pada 30 pos keamanan militer. Serangan ini diwarnai kejahatan kemanusiaan seperti pembunuhan wanita, pria, dan anak-anak. Juga, pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan dan anak perempuan, deportasi massal, serta pembakaran desa secara sistematis.

Aksi represif militer ini berbuntut krisis pangan di kalangan masyarakat Rohingnya. Dalam rilisnya, Amnesty International mengatakan, kelaparan dan krisis pangan terjadi setelah militer memblokir akses mereka ke sawah saat musim panen beberapa waktu lalu. Pasukan keamanan Myanmar juga terlibat dalam memfasilitasi pencurian ternak penduduk Rohingya dan membakar sejumlah pasar lokal serta memblokir akses ke pasar lainnya. Tindakan itu semua telah mengakibatkan kekurangan pangan dan menutup mata pencaharian penduduk Rohingya. Krisis panjang ini jauh dari kata usai, akibat usaha Pemerintah Myanmar yang selalu membatasi bantuan kemanusiaan ke negara bagian Rakhine Utara.

Dildar Begum (30), tiba di Bangladesh pada awal Januari 2018 setelah meninggalkan Desa Ka Kyet Bet Kan, dekat Kota Buthidaung. Dia menuturkan keluarganya mengalami krisis keuangan parah, karena militer memeras banyak uang dan mengancam akan membui suami. Selain itu, tentara militer juga menghalangi mereka dan penduduk desa Rohingya lainnya untuk memanen sawah. "Kami tidak bisa mendapatkan makanan, karena itulah kami melarikan diri," katanya.

Tak hanya kelaparan, aksi kekerasan berupa penculikan terhadap perempuan dan anak serta kekerasan seksual juga menimbulkan trauma psikologis tersendiri bagi korban. Amnesty International mencatat terdapat tiga insiden yang dilakukan militer baru-baru ini.

Pada awal Januari 2018, tentara memaksa masuk ke sebuah rumah di Hpoe Khaung Chaung, Kota Buthidaung. Hasina (25), salah seorang warga menceritakan, militer menodongkan senjata dan meminta penghuni rumah menyerahkan anak kandungnya yang bernama Samida (15). Hingga kini, pihak keluarga belum bertemu dengan Samida.

Khateza (22) pengungsi Rohingnya telah melakukan tindak pemerkosaan. "Mereka meraba-raba tubuh kami dan menanggalkan pakaian kami. Saya benar-benar tidak nyaman. Itu sungguh memalukan,” jelasnya sambal menangis.

Sponsored

Tak berhenti sampai di situ, usaha pelarian diri Rohingnya terganjal militer yang membangun pos pemeriksaan di sepanjang jalur strategis. Belasan pendatang Rohingya mengungkapkan, pos pemeriksaan terburuk berada di dekat jalur Desa Sein Hyin Pyar yang telah dipasang pagar kawat berduri. Di pos tersebut, pasukan keamanan secara terorganisir merampok barang-barang berharga penduduk Rohingya.

Mohammed Salam (37) mengungkapkan ketika keluarganya melewati pos pemeriksaan di dekat Sein Hnyin Pyar awal Januari, tentara mencuri lebih dari 600.000 kyats (US$451) darinya. Barang bawaannya yang lain berupa emas, panel surya portabel, dan beberapa pakaian juga dirampas.

Usai perampasan, pasukan keamanan mencatat nama dan desa di mana mereka tinggal. Di pos pemeriksaan selanjutnya, di Kota Maungdaw, para pendatang baru juga difoto dan direkam, seolah militer tidak menganiaya mereka.

Kendati tindak kekerasan terus terjadi, namun Mathew Wells menilai respon dunia lemah dan tidak efektif. "Sejak awal krisis, respon masyarakat internasional terhadap kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Rohingya lemah dan tidak efektif. Dunia internasional gagal untuk memahami tingkat keparahan situasi di negara bagian Rakhine Utara atau memberi tekanan yang efektif pada tentara Myanmar untuk menghentikan pembersihan etnis." ujarnya.

Padahal, menurutnya embargo senjata dan sanksi dibutuhkan untuk mengirim pesan, bahwa pelanggaran ini tidak dapat ditoleransi. Selain itu, lanjutnya, ada kebutuhan mendesak akan akses bantuan kemanusiaan di seluruh negara bagian Rakhine Utara.

Berita Lainnya
×
tekid