sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pompeo hingga Hook, pejabat di sekeliling Trump yang doyan perang

Ketiganya kerap mengeluarkan pernyataan agresif menyangkut Iran.

Khairisa Ferida
Khairisa Ferida Senin, 06 Jan 2020 14:02 WIB
Pompeo hingga Hook, pejabat di sekeliling Trump yang doyan perang

Hengkangnya John Bolton (71) dari pemerintahan Donald Trump pada September 2019 semula dipandang akan memudarkan kebijakan agresif Amerika Serikat dalam urusan luar negerinya. Bolton yang menjabat sebagai penasihat keamanan nasional pada 2018-2019 dicap hawkish atau seorang yang suka berperang.

Namun, kematian Qassem Soleimani, pemimpin Pasukan Quds yang merupakan unit elite Pengawal Revolusi Iran (IRGC), menunjukkan fakta lain. Soleimani bersama dengan komandan militan Irak Abu Mahdi al-Muhandis dan lima orang lainnya tewas dalam serangan udara AS pada 3 Januari di dekat Bandara Internasional Baghdad.

Tewasnya Soleimani dinilai menunjukkan bahwa pandangan Bolton dan hawkish lainnya tetap berpengaruh dalam pemerintahan Trump.

"Selamat untuk semua yang terlibat dalam pembunuhan Qassem Soleimani. Proses yang panjang ini merupakan pukulan telak terhadap aktivitas-aktivitas Pasukan Quds Iran yang jahat di seluruh dunia. Semoga ini adalah langkah awal menuju perubahan rezim di Teheran," twit Bolton.

Tiga pejabat senior AS, yaitu Menteri Luar Negeri Mike Pompeo (56), penasihat keamanan nasional Robert O'Brien (53), dan diplomat yang bertanggung jawab untuk mengoordinasikan pendekatan AS terhadap Iran Brian Hook (51) melanjutkan titik-titik yang ditinggalkan Bolton, mengantar pada periode paling tegang dalam hubungan Iran-AS sejak Revolusi 1979.

Jauh sebelum bergabung dengan Trump, Pompeo disebut sangat ingin melihat AS terlibat dalam konflik militer dengan Iran.

Ketika berbicara dengan wartawan pada 2014, Pompeo, yang saat itu duduk di Kongres, mendorong dilancarkannya serangan terhadap fasilitas nuklir Iran.

Sponsored

"Ini (serangan) bukan tugas yang tidak dapat dilakukan oleh pasukan koalisi," kata dia saat itu.

Begitu Barack Obama mencapai kesepakatan nuklir (JCPOA) dengan Iran pada 2015, Pompeo menyatakan, "Rezim Iran bermaksud menghancurkan negara kita. Mengapa presiden tidak memahaminya."

Langkah Trump menarik AS keluar dari JCPOA pada Mei 2018 dinilai memberi Pompeo dan hawkish lainnya ruang untuk secara radikal membentuk kembali kebijakan terhadap Iran. Dalam pidatonya beberapa pekan kemudian, Pompeo mengumumkan 12 syarat bagi Iran sebelum kesepakatan lain dinegosiasikan.

Tuntutan tersebut termasuk penghentian produksi rudal, berhenti mengancam Israel dan Arab Saudi, dan menghentikan pengayaan nuklir sepenuhnya. Disebut mustahil membayangkan Iran menyetujui syarat-syarat tersebut.

Kesepakatan nuklir 2015, yang dinilai merugikan AS, bukan satu-satunya komplain kelompok hawkish menyangkut Iran. Pada 2008, Bolton berargumen mendukung serangan ke sejumlah kamp yang menurutnya digunakan Iran untuk melatih gerilyawan melawan pasukan AS di Irak.

Pompeo, Hook, dan hawkish lainnya telah dengan keras mengkritik rezim Iran atas dukungan mereka terhadap kelompok militan syiah di Irak, Hizbullah di Lebanon, dan kelompok lain dalam perang proksi, termasuk di Suriah.

Pada September 2018, Pompeo mengatakan kepada CNN, "Kami telah memberi tahu Republik Islam Iran bahwa menggunakan kekuatan proksi untuk menyerang kepentingan AS tidak akan mencegah kami untuk merespons kepada aktor utamanya."

Ketika ditanya apakah apakah opsi militer ada di atas meja, Pompeo menekankan, "Iran akan dimintai pertanggungjawabannya."

Pompeo dikabarkan mendesak Trump untuk menyerang Iran dan mendorong langkah-langkah eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti memasukkan IRGC yang merupakan komponen militer Iran dalam daftar kelompok teroris asing.

Sekutu utama Pompeo dalam melaksanakan misi tersebut adalah Hook, yang juga merupakan penasihat keamanan senior bagi Pompeo.

Hook mengambil alih portofolio kebijakan AS terhadap Iran pada Agustus 2018. Di bawah kepemimpinannya, ekspor minyak Iran anjlok dan setiap rakyat di Negeri Para Mullah itu digambarkan merasakan sakit atas kampanye tekanan maksimum AS.

"Dia seperti John Bolton. Perang dulu, analisis kemudian ... Menurut saya penilaiannya terhadap situasi Iran tidak menunjukkan banyak relasi dengan kondisi di lapangan," tutur Senator Demokrat Tim Kaine dalam wawancaranya dengan Vox.

Hook sempat santer dikabarkan akan mengisi kursi yang ditinggalkan Bolton. Namun, posisi tersebut justru diberikan kepada O'Brien.

O'Brien sendiri pernah membandingkan Iran dengan Nazi Jerman dan menuturkan bahwa tidak ada bukti yang mendukung gagasan untuk memercayai Teheran bersedia meninggalkan tujuan jangka panjang dalam pengembangan senjata nuklirnya.

Seperti sekutunya di pemerintahan Trump, kritik O'Brien terhadap Iran berpusat pada kemampuan Teheran untuk mendanai kelompok-kelompok yang bertentangan dengan kepentingan AS.

"Puluhan miliar dolar yang diterima Iran di bawah (pemulihan sanksi) kesepakatan nuklir Obama akan dialihkan ke proksi-proksi seperti Hizbullah di Lebanon, rezim Assad di Suriah, milisi syiah di Irak, dan pemberontak Houthi di Yaman, serta Hamas di Gaza," tulis O'Brien pada 2015.

Tidak jelas apa yang selanjutnya akan terjadi. Setelah memerintahkan serangan terhadap Soleimani, Trump menegaskan bahwa dia tidak menginginkan pergantian rezim di Iran, namun di lain sisi dia mengancam serangan lebih lanjut bagi para pemimpin negara itu.

"Kami tidak mengincar perubahan rezim. Namun, agresi rezim Iran di kawasan, termasuk penggunaan pasukan proksi untuk mengacaukan negara-negara tetangga, harus berakhir dan itu harus berakhir sekarang," ujar Trump dalam konferensi pers di tempat peristirahan pribadinya, Mar-a-Lago, pada 3 Januari. (Mother Jones dan Vox)

Berita Lainnya
×
tekid