sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Berlanjutnya teror horor dan drama keluarga di layar lebar Indonesia 2020

Kualitas film-film layar lebar Indonesia pada 2020 diyakini semakin baik dari segi gagasan dan cara penyampaian.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Sabtu, 04 Jan 2020 10:17 WIB
Berlanjutnya teror horor dan drama keluarga di layar lebar Indonesia 2020

Hisra Permata, seorang karyawan di sebuah stasiun televisi swasta, baru usai menonton film Si Manis Jembatan Ancol (2019), Senin sore (30/12/2019). Film horor yang mengungkap kisah sosok arwah penasaran perempuan bernama Maryam, sempat populer pada era 1990-an sebagai sebuah program serial televisi. Selain itu, film layar lebar Si Manis Jembatan Ancol juga diproduksi pada 1973.

Film garapan rumah produksi Multivision Plus dan disutradarai Anggy Umbara, hadir sebagai salah satu film daur ulang (remake) di penghujung 2019. Kehadirannya menawarkan nostalgia ketegangan bagi penggemar film horor seperti Hisra.

“Pengin dapat efek dikagetin lagi. Aku penasaran remake-nya kayak apa,” kata Hisra dijumpai di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, Senin (30/12/2019).

Dia juga mengungkapkan, film itu ditontonnya untuk memuaskan keingintahuannya. Sebagai peminat film horor dan thriller, Hisra mengikuti kisah seluk-beluk arwah perempuan Si Manis sejak lama.

Setelah menonton, dia menilai kisah Si Manis Jembatan Ancol (2019) jauh berbeda dari cerita serupa yang diproduksi sebelumnya. Beberapa bagian cerita dinilai melenceng dari film asalinya. Beberapa bagian film pun membuat dia agak kurang sreg, yaitu kejutan cerita tokoh Maryam yang pura-pura mati.

Selain film horor, perfilman layar lebar Indonesia tahun 2019 dipungkasi dengan ragam film berlatar keluarga dan biopik atau kisah hidup tokoh. Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan yang rilis 19 Desember lalu, mengungkapkan problem kepercayaan diri di masyarakat, khususnya kalangan muda, terhadap kondisi fisiknya. Sementara film Habibie & Ainun 3 yang tayang di akhir tahun 2019, meneruskan seluk-beluk tokoh Presiden ke-3 RI, Bacharuddin Jusuf Habibie.

Keberagaman dalam tema dan genre menandai senarai film layar lebar Indonesia sepanjang 2019. Pengajar Jurusan Film dari Universitas Bina Nusantara Ekky Imanjaya, mengatakan variasi genre tersebut mencerminkan pemikiran segar para pembuat film dalam menyajikan cerita.

Ekky mencatat, penggunaan film sebagai medium atau cara bercerita sudah berkembang dan mencapai kondisi cukup memuaskan. Menurutnya, film Indonesia, terlebih film horor, menunjukkan kualitas yang semakin baik dari segi gagasan dan cara penyampaian.

Dari respons pasar, film-film horor Indonesia menarik minat cukup banyak penonton. Mengutip data filmindonesia.or.id pada 3 Januari 2019, ada tiga film horor Indonesia yang meraih  lebih dari satu juta penonton. Peringkat pertama ditempati Danur 3: Sunyaruri dengan 2.411.036 penonton. Disusul Perempuan Tanah Jahanam dengan 1.795.068 penonton, dan Kuntilanak 2 dengan 1.726.570 penonton.

Film remaja masih menduduki film terlaris sepanjang 2019. Dilan 1991, yang merupakan lanjutan dari Dilan 1990, menduduki posisi teratas dengan  jumlah penonton 5.253.411 penonton. Dilanjutkan Dua Garis Biru 2.538.473 penonton.

Dari segi kualitas, tak ada satu pun film horor yang meraih penghargaan Film Festival Indonesia tahun lalu. Penghargaan ini justru diboyong film Kucumbu Tubuh Indahku yang menyabet delapan penghargaan sekaligus, termasuk film dan sutradara terbaik. Film yang beredar pada 18 April 2019 ini sempat dilarang di sejumlah daerah di Indonesia, karena dinilai terlalu vulgar.

Meski demikian, Ekky menilai film bergenre horor masih akan cukup banyak menghiasi layar lebar di tahun 2020. Dia pun meyakini kualitasnya akan semakin membaik.

“Film horor ini sudah berkembang dengan ide cerita yang makin baik, pengemasan yang tak melulu menonjolkan bumbu seks seperti sepuluh tahun sebelumnya,” kata Ekky, ketika dihubungi Minggu (29/12).

Menurut Ekky, selain sudah beralih dari muatan sensual, film horor Indonesia berhasil dengan mengadaptasi gagasan dari film horor yang sukses di masa lalu, atau kisah yang banyak diperbincangkan masyarakat.

Beberapa di antaranya ialah film Pengabdi Setan (2017), Asih (2018), Ratu Ilmu Hitam (2019), dan tiga seri film Danur (2017, 2018, dan 2019) . Lewat buah kreasi Joko Anwar, Pengabdi Setan menggaet penggemar film horor dengan mengemas kembali kisah film Pengabdi Setan yang dahulu diproduksi pada 1980. Sedangkan Ratu Ilmu Hitam yang skenarionya ditulis Joko, banyak ditambah unsur penokohan baru dari kisah film asalinya yang diproduksi pada 1981.

Adapun ide cerita film horor Asih dan Danur, diadaptasi dari novel fiksi laris karangan Risa Saraswati berjudul Gerbang Dialog Danur (2015). Ekky berpandangan, kebangkitan film horor terkait erat dengan sumber cerita yang sudah lebih dulu diterima positif oleh audiens. Di samping itu, produser film cenderung tertarik memproduksi film yang menawarkan kebaruan cerita.

“Film horor bukan lagi yang esek-esek murahan, tapi diadaptasi dari karya laris,” ucapnya.

Film bertema kriminalitas, diperkirakan juga akan tayang pada 2020. Tahun lalu, film semacam ini hadir lewat Darah Daging (2019). Meskipun, Ekky menduga, film genre ini tak akan menarik banyak penonton sebanyak film genre lainnya.

Di sisi lain, dia memperkirakan film-film dengan embel-embel “reborn” akan berkurang penontonnya. Salah satunya terbukti dari film Nagabonar Reborn asuhan sutradara Dedi Setiadi yang tidak laris di pasaran. Begitu pula Warkop DKI Reborn 3.

“Tidak semua film dengan formula sama bakal laku. Reborn satu, dua, dan tiga, lalu sudah selesai. Mungkin gagasan ceritanya perlu diperbarui, tak hanya aktor-aktor pemerannya,” kata dia mengusulkan.

Selain itu, film superhero diprediksi akan turut mewarnai layar lebar tahun ini. Deretan tokoh pahlawan super dalam jagad Bumilangit Cinematic Universe (BCU) adalah salah satu yang akan tayang pada 2020. Setelah Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot (2019), tahun depan publik akan disuguhi Sri Asih.

Penokohan dan ide cerita

Dalam setiap karya sinema, Ekky menyebut aspek penokohan dan ide cerita menjadi tulang punggung bagi kualitas dan daya tarik film bagi penonton.

Aktor berkelas dan tenar dinilai akan memberi jaminan sebuah film dapat menarik perhatian penonton. Sementara sumber ide cerita, kini sudah berkembang dengan ketersediaan cerita dari beragam sumber, dengan pola kerja sama izin penggunaan hak cipta.

“Sekarang kan musimnya IP (Intellectual Product). Karya-karya film diproduksi mencoba mengadaptasi keberhasilan karya-karya yang laris sebelumnya, entah itu dari novel, cerpen, serial TV, komik, atau webtoon (komik digital),” kata Ekky.

Karena itulah, dia memperkirakan varian film-film Indonesia pada 2020 akan diisi sejumlah karya sinema hasil adaptasi. Pada 2019, film yang mengadaptasi karya film negara lain ialah Bebas (produksi Miles Films) dan Sweet 20 (Starvision Plus dan CJ Entertainment). Bebas merupakan adaptasi dari film Korea berjudul Sunny, sedangkan Sweet 20 diadaptasi dari film Thailand Miss Granny. Ada pula Eggnoid dan Terlalu Tampan, produksi Visinema Pictures, yang diangkat dari komik digital LINE webtoon.

Menurut Ekky, berkembangnya pola produksi film adaptasi lantaran adanya jaminan keuntungan komersial. Ekky memperkirakan, ada film-film lain yang akan diproduksi dengan mengembangkan gagasan cerita bersumber dari karya lain yang sudah diterima positif publik, baik secara engagement yang tinggi pada ranah digital, maupun hasil penjualan yang menguntungkan.

Sebagaimana terjadi juga dalam film Imperfect, Ekky melihat kecermatan Ernest Prakasa selaku sutradara. Film yang tengah diputar di bioskop itu mengolah gagasan dari buku yang ditulis oleh Meira Anastasia, istri Ernest, berjudul Imperfect: A Journey to Self Acceptance (Gramedia Pustaka Utama, 2018).

(Infografis: Alinea.id//Dwi Setiawan)

“Imperfect selain karena ide ceritanya bagus, temanya seputar kondisi keluarga yang ‘disfungsi’. Selain ada masalah yang dihadapi keluarga, anggota di keluarga itu juga orang-orang dengan kepribadian yang unik,” ucap Ekky.

Ekky menekankan, film bertema keluarga semacam Imperfect diperkirakan akan punya daya tarik kuat bagi calon penonton, karena mengetengahkan isu aktual yang dekat dan riil dalam kehidupan masyarakat. Hingga 1 Januari 2020, Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan telah menarik 1.940.506 penonton. Film yang diproduksi dengan alih wahana semacam Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan dan berpotensi menarik banyak penonton adalah Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI).

Film yang rilis 2 Januari 2020 itu diolah dari kisah dan kutipan berisi kalimat-kalimat sederhana yang terangkum di buku Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (Kepustakaan Populer Gramedia, 2018) karangan Marchella FP. Sejak buku itu terbit dan beredar di toko buku, sutradara Angga Dwimas Sasongko kesengsem dengan cerita-cerita warganet yang terwadahi melalui akun Instagram NKCTHI (@nkcthi). Kisah film ini digubah dengan mengolah cerita-cerita yang terhimpun dari tanggapan para followers Marchella FP via Direct Message akunnya.

Bagi Angga, ribuan kisah publik terhadap ungkapan pribadi Marchella itu sebagai ladang emas bahan berkisah lewat film. Angga yang menekuni penyutradaraan sejak 15 tahun lalu itu pun mengangkat kisah-kisah tersebut ke dalam media gambar bergerak.

Di sini (NKCTHI) kami bikin tabulasi dari ribuan cerita itu, lalu muncul banyak insight yang kemudian kita gabungkan satu-sama lain, kata Angga dalam konferensi pers Gala Premiere film NKCTHI, di XXI Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2019).

Dalam pemutaran istimewa sebagai roadshow terakhir film NKCTHI, Senin sore (30/12/2019), jurnalis Alinea.id melihat potensi film ini dalam menarik massa penonton dalam jumlah besar. Kebanyakan penonton yang ditemui saat itu ialah dari kalangan mahasiswa dan pelajar. Film berlatar keluarga semacam NKCTHI mengingatkan kita pada film berlatar serupa, salah satunya Dua Garis Biru (2019).

Ekky memandang, tidak saja dari segi penggambaran kisah keluarga, film yang akan menggamit perhatian penonton selalu mengangkat kisah yang memiliki keterhubungan dengan yang kondisi sosial yang nyata. Kisah film Dua Garis Biru, menurut Ekky, menawarkan cermin perenungan bagaimana seandaianya setiap keluarga mengalami hal serupa, dengan kondisi anak-anak mereka menghadapi risiko akibat berhubungan seks yang tidak aman di luar nikah.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid