sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Berlari menjauhi stres

Orang yang hidup di kota memiliki risiko sebesar 21% terkena gangguan kecemasan, 39% risiko mood swing, dan dua kali potensi schizophrenia.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Senin, 20 Agst 2018 09:04 WIB
Berlari menjauhi stres

Puluhan orang berlari mengelilingi lapangan sepak bola di Gelanggang Olah Raga Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (15/8). Beberapa di antaranya adalah pekerja yang berasal dari berbagai daerah di Jabodetabek.

Jika normalnya orang-orang berolahraga di pagi hari sebelum beraktivitas, para pekerja yang berlari di GOR Soemantri memilih berolahraga pada malam hari. Indra (27), pekerja sebuah bank swasta di wilayah Kuningan, memilih berlari saat malam agar badannya tetap bugar. “Kalau di kantor kan kerjanya cuma duduk saja, kurang gerak, makanya saya lari,” ucapnya.

Menurut Indra, dengan berolahraga ia bisa merasa senang setelah seharian suntuk bekerja di kantor. Senada dengan Indra, Kharis (31), lebih memilih berlari di malam hari. Ia sebelumnya pernah mencoba berlari pada pagi hari sebelum berangkat kerja ke kantornya di kawasan Kuningan. “Lari pagi itu repot. Saya mesti mandi lagi dan takut terlambat kalau ke kantor. Kalau malam kan, setelah berlari sudah enggak ada beban lagi,” ujar pegawai asuransi tersebut.

Sementara Maya mengaku sering berlari sepulang bekerja untuk menurunkan berat badan. “Ya, jujur aja sih aku lari buat nurunin berat badan sama ilangin stres pekerjaan,” katanya. Sama seperti Indra, dengan berlari Maya mengakui dirinya merasa lebih senang dan rileks.

Ilustrasi joging./ Pixabay

Novelis Jepang Haruki Murakami yang memiliki hobi berlari dan menerbitkan memoirnya berjudul "What I Talk About When I Talk About Running" dalam wawancaranya dengan Spiegel, mengatakan ketika berlari ia merasa damai. Laiknya Maya, awalnya Murakami juga berlari karena ingin mengurangi berat badan, hingga akhirnya menjadi rutinitasnya selama 36 tahun terakhir sejak 1982.

“Aku ingin mengurangi berat badanku. Selama tahun-tahun awal aku menjadi seorang penulis, aku merokok banyak sekali, sekitar 60 batang sehari agar bisa berkonsentrasi dengan baik. Aku memiliki gigi yang kuning, jari-jariku kuning. Ketika aku memutuskan untuk berhenti merokok, pada usia 33 tahun, lemak mulai bermunculan di pinggangku. Jadi aku berlari. Berlari menurutku adalah olahraga yang paling bisa aku lakukan,” jelas Murakami.

Selain itu, dari berlari Murakami juga belajar untuk mempercayai kemampuannya sebagai seorang penulis. “Aku belajar seberapa banyak aku bisa menuntut diriku sendiri, kapan aku membutuhkan istirahat, dan kapan istirahat itu menjadi terlalu lama. Aku jadi tahu seberapa keras aku bisa mendorong diriku sendiri,” katanya.

Sponsored

Semakin kuat ototnya, lanjut Murakami, semakin jernih pikirannya. “Aku percaya jika artis yang memiliki gaya hidup buruk akan cepat jatuh. Jimi Hendrix, Jim Morrison, Janis Joplin adalah pahlawanku ketika aku masih muda, mereka semua mati muda dan tak layak mendapatkannya. Hanya orang jenius seperti Mozart atau Pushkin yang layak mendapatkan mati muda. Jimi Hendrix bagus, tetapi ia tak terlalu pintar karena menggunakan narkoba. Bekerja secara artistik memang tidak sehat, mencari sebuah cerita adalah hal yang membahayakan bagi seorang penulis, tetapi, berlari membuatku menjauhi bahaya itu,” tutur Murakami.

Tinggal di kota rentan stres

Hidup di kota-kota besar seperti Jakarta memang rentan menimbulkan stres. Dari penelitian yang berjudul “The current status of urban-rural differences in psychiatric disorders” disebutkan, orang-orang yang hidup di kota memiliki risiko sebesar 21% terkena gangguan kecemasan dan 39% risiko gangguan mood. Selain itu, kemungkinan terkena penyakit schizophrenia juga dua kali lebih besar bagi mereka yang lahir dan tinggal di kota.

Dari penelitian yang dipimpin Dr. Andreas Mayer-Lindenberg, stres yang diakibatkan karena hidup di wilayah perkotaan bisa memengaruhi amigdala. Amigdala adalah bagian otak yang mengatur kondisi kejiwaan seperti panik dan khawatir. Amigdala adalah alasan mengapa kita ketakutan tentang sesuatu yang berada di luar kontrol kita.

Bagian otak lainnya yang disebut cingulate cortex juga ditemukan lebih aktif pada partisipan yang lahir di kota. “Kita tahu kalau cingulate cortex adalah bagian penting untuk mengontrol emosi dan berhadapan dengan lingkungan,” jelas Lindenberg.

“Kami berspekulasi jika stres bisa menyebabkan abnormalitas pada otak. Jika kamu mengandaikan stres seperti sebuah binatang, kamu akan menemukan abnormalitas pada struktur otak dan bisa membuat seekor binatang menjadi cemas. Stres bisa memicu naiknya risiko sakit mental,” jelas Lindenberg.

Pada 2050, kata Lindenberg, diperkirakan hampir 70% orang akan tinggal di area urban. Rata-rata penduduk kota lebih kaya dan kualitas sanitasi, nutrisi, kontrasepsi, serta layanan kesehatan akan lebih meningkat. Namun, kehidupan urban juga bisa menyebabkan naiknya risiko terkena gangguan penyakit kronis, karena lingkungan sosial yang juga akan semakin menuntut dan membuat stres.

Kawasan kota seperti Jakarta, rentan memicu stress bagi warganya./ Pixabay

Di masyarakat urban perkotaan yang dilanda stres, amigdala terlihat lebih aktif di scanner. Sementara amigdala milik orang-orang yang tinggal di kota kecil akan sedikit aktif, dan amigdala penduduk desa adalah yang paling kurang aktif.

Jadi, mengapa semakin besar pemukiman yang kita tinggali, semakin berisiko membuat kita sakit mental? Dr Mazda Adli, seorang peneliti Jerman meyakini, hal ini disebabkan oleh paradoks urban yang sering kita dengar: kesepian di tengah keramaian. Ia berujar jika otak kita tidak benar-benar disiapkan untuk tinggal di lingkungan urban.

“Dalam pandangan saya, jika kepadatan sosial dan isolasi sosial datang dalam waktu yang bersamaan dan menyerang seseorang yang rentan, maka stres perkotaan yang berkaitan dengan penyakit mental bisa menjadi akibatnya,” jelas Adli.

Sementara Neurosaintis John T. Cacioppo, dilansir dari The Guardian, mengatakan jika kesepian berasosiasi dengan tingginya risiko kematian yang lebih cepat sebesar 14%. Persentase tersebut dua kali lipat lebih banyak jika dibandingkan dengan kematian akibat obesitas.

Jika sudah demikian, walaupun bukan panasea, berlari bisa menjadi jawaban untuk meredakan stres perkotaan. Seperti dilansir dari Mayo Clinic, aktivitas olahraga, selain membuat tubuh menjadi sehat juga bisa mengurangi stres. Saat berolahraga, tubuh akan menghasilkan senyawa endorphin atau senyawa kimia yang akan membuat seseorang merasa senang dan menghilangkan stres.

Selain meningkatkan endorphin, berolahraga secara rutin dengan melibatkan gerakan-gerakan teratur seperti berenang atau berlari, juga akan membantu seseorang untuk tetap tenang dan fokus ketika melakukan sesuatu, seperti yang dituturkan Murakami. Sebabnya, ketika seseorang melakukan aktivitas olahraga seperti berlari, mereka akan fokus pada gerakan tubuhnya dan melupakan hal-hal menjengkelkan yang terjadi pada hari itu.

Berolahraga secara rutin juga bisa meningkatkan mood seseorang. Seperti yang dikatakan Indra dan Maya, berlari bisa membuat mereka rileks dan senang. Berolahraga bisa menurunkan gejala depresi dan kecemasan. Selain itu, berolahraga juga bisa meningkatkan kualitas tidur seseorang yang seringkali terganggu akibat stres, depresi, dan kecemasan.

Berita Lainnya
×
tekid