sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Industri K-Pop dan penghakiman saat mereka terkenal

Kesalahan sekecil apapun yang dilakukan artis K-Pop akan jadi bulan-bulanan para fans.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Kamis, 28 Nov 2019 09:10 WIB
Industri K-Pop dan penghakiman saat mereka terkenal

Belum usai duka perginya artis Korea Sulli, secara mengejutkan Goo Hara yang merupakan sahabat alamarhum, pergi menyusul Sulli. Goo Hara tutup usia dengan cara yang menyedihkan seperti Sulli, pergi dengan memilih bunuh diri. 

Fenomena bunuh diri artis Korean-Pop Goo Hara dan Sulli mendapat perhatian cukup serius dari Komisioner Komnas Perempuan, Magdalena Sitorus. 

Menurut Magdalena, karakter media sosial yang memungkinkan penyebaran suatu materi informasi memunculkan dampak negatif yang fatal. Tak terkecuali penyebaran ujaran kebencian atau komentar negatif dari sekelompok masyarakat yang tak menyukai satu artis tertentu.

“Betapa teknologi media membuat perundungan via media sosial dapat berlangsung dengan cepat. Materi ujaran dan komentar yang dibagi lalu menyebar cepat via media sosial bisa menjatuhkan rasa percaya diri orang,” kata Magdalena kemarin (27/11).

Dia menilai, efek buruk viralnya komentar negatif dapat menimpa siapa saja. Namun, khusus pada perempuan, selentingan dan ejekan yang ditujukan cenderung menjurus perihal penampilan dan ketubuhan.

“Bajunya kurang inilah-itulah, juga bagian tubuh tertentu dikomentari,” kata Magdalena mencontohkan.

Magdalena menengarai rendahnya pemahaman publik terkait penghormatan pada aspek ketubuhan. Akibatnya, kata dia, sindiran atau celaan yang menyinggung perempuan dapat membuat pihak perempuan merasa tidak nyaman.

Seperti dialami artis perempuan Korean-Pop, cibiran dari sebagian penggemar yang kecewa dikabarkan telah melukai perasaan mereka.

“Itu tidak etis, terlebih kalau tujuannya jelas untuk menjatuhkan pribadi orang, itu sudah jahat. Teknologi memungkinkan materi pelecehan itu menjadi viral,” ucap Magdalena.

Seperti diungkapkan pengamat budaya Korean-Pop Ratna Puspita, fenomena tekanan mental yang dirasakan para artis tersebut menjadi pola yang terbentuk sejak kelahiran generasi pertama K-Pop sekitar tahun 1997.

“Ada tekanan mental yang dialami oleh para musisi Korea. Umumnya semacam penghakiman bahwa ketika mereka terkenal mereka tidak boleh menunjukkan sisi lemahnya,” tutur Ratna kepada Alinea.id.

Ratna yang mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini menambahkan, kesalahan sekecil apapun yang dilakukan artis K-Pop akan jadi bulan-bulanan para fans. Misalnya, bila si artis dianggap tidak berpakaian yang pantas atau kurang modis.

“Langsung bisa dikatain cari perhatian. Bahkan sampai dibilang ‘Udah, mati aja, lu’,” ucapnya mencontohkan.

Pada kasus bunuh diri Goo Hara, Ratna menekankan komentar miring fans turut memperbesar tekanan mental yang berujung frustrasi. Kesedihan semakin mendalam dirasakan Goo Hara selain tekanan yang dialaminya dalam persidangan kasus video mesumnya bersama mantan kekasihnya, Choi Jong Bum.

Dilansir dari Allkpop (Minggu, 24/11), dalam kasus revenge porn itu, Choi Jong Bum melakukan balas dendam dengan menyebarkan video dan foto hubungan mereka setelah ia putus dari Goo Hara. Namun, komentar-komentar publik justru banyak yang menyudutkan Goo Hara.

Hate comment ini menyumbang banget terhadap tekanan mental Goo Hara, di samping persidangan dengan mantan pacarnya itu,” kata Ratna.

Artis Korea Sulli memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Sulli mengalami depresi dan stress karena sering kali menjadi sasaran perundungan di media sosialnya./Instagram Sulli

Rasa Minder Akibat Media Sosial

O’Keffe dan Clarke-Pearson dalam jurnal The American Academy of Pediatrics (volume 127, April 2011) menulis, dampak media sosial yang merangsang kesedihan menjadi semakin dalam dirasakan oleh penggunanya.

Menurut mereka, kontak antarpribadi secara daring melalui media sosial adalah “interaksi yang merusak kesejahteraan hidup kalangan dewasa muda, sesuatu yang berkebalikan dengan pertemuan sosial secara langsung (offline).”

Dalam artikel berjudul “The Impact of Social Media on Children, Adolescents, and Families” itu, O’Keffe dan Clarke-Pearson menambahkan akses media sosial yang menekan ketenteraman jiwa banyak orang. Alih-alih komunikasi di dunia maya, interaksi sosial yang nyata dalam lingkungan positif dan suportif justru jauh lebih kuat untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.

Psikolog Ayoe Sutomo menilai, pandangan tersebut selaras dengan pengamatannya atas tekanan mental yang dihadapi artis Korean-Pop akibat komentar negatif fansnya.

Ayoe berpendapat, pengguna media sosial yang intens umumnya didominasi orang dewasa muda. Efek buruk utama dari penggunaan media sosial ialah mengubah dan merusak cara pandang individu terhadap dirinya sendiri.

“Penggunaan media sosial memberikan tendensi perasaan tidak bahagia dalam diri orang yang melihatnya. Orang jadi cenderung untuk membandingkan dirinya dengan orang lain,” kata Ayoe, dalam pesan pendeknya, Senin (25/11).

Sikap membanding-bandingkan itu, lanjut Ayoe, berpengaruh terhadap cara pandang seseorang atas kebahagiaan. Padahal, apa yang tampak dari unggahan di media sosial hanyalah sebatas tangkapan gambar dari sedikit aspek kehidupan seseorang.

Sesungguhnya kehidupan utuh atau keseluruhan seseorang jelas tak berimbang dengan sekelumit kebahagiaan yang ditampilkan orang lain pada media sosialnya.

Ayoe menekankan, semakin tinggi intensitas mengakses media sosial atau terus-menerus, akan menjebloskan orang pada rasa minder atau merasa orang lain lebih baik dan berhasil daripada dirinya.

“Ketika dia lalu hanya membanding-bandingkan diri dengan sisi-sisi kebahagiaan orang lain, maka dia bisa merasa tak memiliki pencapaian apa-apa dibandingkan pencapaian orang lain (yang terlihat) di media sosial,” kata dia. 

Karakter media sosial yang memungkinkan penyebaran suatu materi informasi memunculkan dampak negatif yang fatal. Tak terkecuali penyebaran ujaran kebencian atau komentar negatif dari sekelompok masyarakat yang tak menyukai satu artis tertentu.Alinea/Dwi
 

Pendidikan Etika Bermedia Sosial

Ayoe mengingatkan, sisi mudarat media sosial itu perlu diantisipasi agar tidak turut merusak hubungan sosial dalam kehidupan nyata. Dia mencontohkan, pengaruh citra dari unggahan di media sosial berpeluang membuat relasi antarpasangan menjadi tidak sehat.

Ketidakpuasan seseorang atas relasi-relasi yang dimilikinya dapat terjadi akibat kekecewaan Ayoe mengatakan, setelah melihat unggahan orang atau pasangan lain, seseorang akan menjadi merasa tidak puas dengan relasi-relasi yang dimilikinya. Kekecewaan itu, kata dia, berakar dari konflik-konflik batin dalam diri yang muncul karena membandingkan diri dengan citra pasangan lain dalam media sosial.

“Orang jadi membandingkan diri dan pasangannya dengan relasi orang lain bersama pasangannya. Dia lalu menuntut pasangan melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh pasangan lain yang dilihat di media sosial,” ujarnya.

Adapun psikolog klinis Kristi Poerwandari menyarankan peningkatan edukasi tentang etika bermedia sosial, khususnya bagi kaum muda. Menurut dia, unggahan yang menjelekkan pihak lain di media sosial sulit sekali dibendung. Padahal hal itu sangat rentan melukai perasaan orang lain, terlebih figur publik.

Dia juga mencermati pertemuan langsung atau tatap muka sebagai hal yang semakin langka.

“Anak muda perlu banyak dilatih menguatkan kembali relasi sosial yang nyata dan langsung,” kata Kristi.

Perjumpaan langsung dinilai efektif untuk menangkal dampak fatal akibat interaksi di dunia maya. Cara itu juga dapat mendorong masyarakat untuk lebih berempati, mengembangkan keterampilan sosial, dan meminimalkan rasa kesepian. 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid