sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

De-Soekarnoisasi Orde Baru bikin nama Stadion Gelora Bung Karno lenyap

Nama Stadion Gelora Bung Karno seakan tenggelam kala rezim Orde Baru berkuasa.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Sabtu, 21 Mei 2022 13:05 WIB
De-Soekarnoisasi Orde Baru bikin nama Stadion Gelora Bung Karno lenyap

Beberapa waktu lalu, nama Jakarta International Stadium (JIS), stadion megah yang berdiri di Tanjung Priok, Jakarta Utara menuai kontroversi lantaran memakai bahasa Inggris. Anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Gerindra, Syarif mengatakan, penggunaan bahasa Inggris itu potensial melanggar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.

Dalam Pasal 33 ayat 1 Perpres 63/2019 disebut, bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama bangungan atau gedung, apartemen, permukiman, perkantoran, dan kompleks perdagangan yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Sedangkan dalam Pasal 33 ayat 2 disebut, kompleks dan stadion olahraga merupakan salah satu bangunan atau gedung yang wajib menggunakan bahasa Indonesia.

Syarif menyarankan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menambahkan penamaan bahasa Indonesia, yakni Stadion Internasional Jakarta. Stadion Utama Gelora Bung Karno dahulu pun sempat bersalin nama, usai rezim berganti.

Pusat Olahraga ke Gelora Bung Karno

Sketsa stadion utama di Senayan, Jakarta, yang kelak bernama Stadion Utama Gelora Bung Karno, dalam proses pembangunan pada 1961. Foto Varia, 20 September 1961.

Demi kesuksesan Asian Games ke-IV pada 1962, Presiden Sukarno memerintahkan membangun kompleks olahraga dan stadion untuk tempat penyelenggaraan. Stadion bertaraf internasional dan stadion-stadion pendukung lain di sekitarnya untuk pertandingan olahraga se-Asia itu mulai dibangun pada awal Februari 1960 di kawasan Senayan.

Pembangunannya rampung pada pertengahan 1962. Bung Karno sangat bangga dengan stadion itu. Ia menyampaikannya dalam pidato resmi pembukaan stadion berkapasitas 110.000 orang—kala itu terbesar di Asia—pada 21 Juli 1962.

“Ini merupakan stadion terhebat di seluruh dunia milik bangsa Indonesia,” kata Bung, dikutip dari buku Julius Pour dan Yori Antar, Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno (2004).

Sponsored

“Saya sudah berkeliling dunia, sudah melihat stadion di Rio de Janeiro, sudah melihat stadion di Warsawa, sudah melihat stadion di Meksiko, sudah melihat stadion di negeri-negeri lain. Stadion Utama Jakarta adalah stadion terhebat di seluruh dunia.”

Sukarno menyinggung keunikan stadion megah itu, yang tak dimiliki stadion lain di seluruh dunia.

“Tidak ada satu stadion di dunia ini yang atapnya temu gelang, tidak ada,” kata Sukarno, dikutip dari buku yang sama.

Menurut Hikmat Budiman dalam buku Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan Ruang Ibu Kota (2020), pembangunan stadion itu menampilkan ambisi Sukarno menjadi pemimpin dunia yang distingtif. Ngototnya Bung Karno memilih bentuk temu gelang untuk atap stadion itu, tulis Hikmat, menampilkan cara Sukarno menghadirkan dirinya sebagai pemimpin dengan visi membawa Indonesia mendapat posisi terhormat di dunia.

Arsitek stadion megah itu adalah Friedrich Silaban. Varia edisi 25 April 1962 melaporkan, pemasangan rangka atap terakhir rampung pada 12 April 1962. Untuk membangun stadion itu, dikerahkan ahli teknik dan pekerja dari Rusia, dipimpin kepala ahli teknik Tjatenko.

“Semua rangka atap stadion utama terbuat dari besi baja yang didatangkan dari Uni Soviet berupa potongan-potongan. Pemasangan seluruh konstruksi atap dipekerjakan kurang lebih 600 orang pekerja,” tulis Varia.

Asian Games ke-IV sukses digelar dari 24 Agustus hingga 4 September 1962. Namun, pada kenyataannya, stadion itu belum punya nama resmi. Hanya disebut Stadion Utama Senayan. Begitu pula dengan kompleks olahraganya.

Kompleks olahraga di Senayan itu baru mendapatkan nama resmi, yang ditandai dengan upacara sederhana pada 17 September 1962, 13 hari usai penutupan Asian Games ke-IV. Menurut Varia edisi 26 September 1962, diputuskan, namanya adalah Pusat Olahraga Bung Karno—berdasarkan surat keputusan Menteri Pertama Djuanda dan kesepakatan DPR-GR Jakarta Raya.

Setelah itu, beberapa orang menteri diskusi santai dengan Sukarno, sembari minum kopi pagi di serambi Istana Merdeka, Jakarta. Kala itu, Menteri Agama Saifuddin Zuhri menyatakan tak setuju kompleks dan stadion dinamakan Pusat Olahraga Bung Karno.

Upacara peresmian nama Pusat Olahraga Bung Karno, Senayan, Jakarta. Foto Varia, 26 September 1962.

“Kata ‘pusat’ pada kalimat ‘pusat olahraga’ itu kedengarannya kok statis, tidak dinamis seperti tujuan kita menggerakkan olahraga,” kata Saifuddin, dikisahkan kembali dalam buku autobiografinya Berangkat dari Pesantren (2013).

Bung Karno lantas menantang Saifuddin mencari nama gantinya. Ia lalu menyebut, Gelanggang Olahraga Bung Karno.

“Nama Gelanggang Olahraga Bung Karno kalau disingkat menjadi Gelora Bung Karno. Kan mencerminkan dinamika sesuai dengan tujuan olahraga,” ujar ayah dari mantan Menteri Agama (2014-2019) Lukman Hakim Saifuddin tersebut.

Sukarno langsung sepakat. “Wah, itu nama hebat. Saya setuju!” kata Bung Karno.

Lalu, Sukarno memerintahkan Menteri Olahraga Maladi untuk mengganti nama Pusat Olahraga Bung Karno menjadi Gelanggang Olahraga Bung Karno. Nama itu disematkan pula untuk nama stadion.

De-Soekarnoisasi nama stadion

Pergantian rezim dari Sukarno ke Soeharto, membuat nama Stadion Gelora Bung Karno lambat laun tenggelam. Orde Baru lebih menyukai menyebut Stadiun Utama Senayan, meski tak ada ketetapan resmi soal penggantian nama itu.

Pada 1984, negara “mengambil” seluruh hak atas stadion tersebut, dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 1984 tentang Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan, yang diteken Presiden Soeharto pada 15 Januari 1984.

Menurut Kompas edisi 3 Februari 1984, keppres itu mencabut Keppres Nomor 318 Tahun 1962 tentang Pembentukan Yayasan Gelanggang Olahraga Bung Karno, Keppres Nomor 25 Tahun 1965 tentang Pedoman Penggunaan Gelora Loka Yayasan Bung Karno, dan Keppres Nomor 84 Tahun 1966 serta memberhentikan dengan hormat para pejabat yang diangkat keppres ini.

“Kemudian ditetapkan, tanah yang diperuntukkan dalam Asian Games IV 1962 dan bangunan yang didirikan di atasnya, menjadi milik negara,” tulis Kompas.

“Penguasaan, pengelolaan, dan administrasi dari tanah dan bangunan dilakukan Sekretariat Negara.”

Terbitnya Keppres 318/1984 seakan menganulir nama Stadion Gelora Bung Karno dan nama kompleks olahraganya. Demi kuasa di kompleks olahraga Senayan, termasuk stadion utamanya, Orde Baru membentuk Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan. Tugasnya, mengurus dan memelihara seluruh tanah dan bangunan, serta mengelola dan memanfaatkannya untuk kegiatan olahraga nasional.

Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Foto gbk.id

Badan itu dikepalai Menteri Sekretaris Negara Sudharmono—yang pada 1988 naik jabatan jadi wakil presiden. Sementara direksi pelaksana diketuai oleh Brigjen TNI (Purn) Suhartono, yang ditunjuk Soeharto melalui Keppres Nomor 21/M Tahun 1984.

Meski lamat-lamat, kritik tetap ada. Salah satunya datang dari pembaca Kompas bernama RJ Hartono. Ia mengirimkan surat pembaca, yang diterbitkan Kompas edisi 1 Agustus 1985. Judulnya cukup tegas: “Kembalikan Nama Asli Gelora Bung Karno.”

Di dalam surat itu, Hartono menegaskan, nama stadion tersebut ditasbihkan Bung Karno sendiri sewaktu Asian Games, disaksikan ratusan ribu hadirin, duta olahraga dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin, serta perwakilan negara sahabat. Ia pun dengan berani menyindir Soeharto.

“Pak Harto sendiri telah mencanangkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya,” kata Hartono.

Apa yang dilakukan rezim Orde Baru itu merupakan contoh usaha de-Soekarnoisasi. Menurut Agus Sudibyo di tulisannya, “De-Soekarnoisasi dalam Wacana Resmi Orde Baru: Kilas Balik Praktik-praktik Rekayasa Kebenaran dan Wacana Sejarah oleh Rejim Orde Baru”, yang terbit di Jurnal Imu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) volume 2, nomor 1, Juli 1998, de-Soekarnoisasi adalah usaha rezim Orde Baru untuk menetralisir, menegasikan, dan menghapus peran sejarah, pengaruh, mitos, dan simbol-simbol tentang Bung Karno.

“De-Soekarnoisasi tak hanya dilakukan dengan praktik-praktik yang manifes, misalnya dengan memangkas pengaruh Bung Karno dalam tubuh birokrasi dan menyingkirkan perwira Soekarnois dari tubuh militer,” tulis Agus.

Infografik stadion. Alinea.id/Aisya Kurnia

“Tetapi juga pada ranah simbolik-laten, yakni dengan menegasikan ajaran-ajaran Bung Karno, mengingkari kontribusi-kontribusi ideologisnya, serta dengan menciptakan gambaran yang palsu dan tak menguntungkan dalam setiap wacana tentang Bung Karno.”

Mengganti nama Sukarno yang pernah disematkan pada berbagai tempat dan bangunan menjadi salah satu usaha de-Soekarnoisasi tersebut. Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan (2009) menyebut, selain mengubah nama stadion, Kota Sukarnopura (sebelumnya bernama Hollandia) diubah jadi Jayapura dan Puncak Sukarno diganti jadi Puncak Jaya.

Mundurnya Soeharto dan tumbangnya rezim Orde Baru karena gelombang demonstrasi yang menyuarakan reformasi pada 1998, kembali membuat nama stadion megah itu bersalin.

Menurut Julius Pour dan Yori Antar, pada 19 Februari 2001, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memutuskan mengembalikan pemakaian kembali nama Gelora Bung Karno. Keputusan itu diperkuat dalam Keppres Nomor 7 Tahun 2001 tentang Perubahan Nama Gelanggang Olahraga Senayan menjadi Gelanggang Olahraga Bung Karno—diikuti pula nama stadion.

“Memperhatikan aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat untuk menghormati dan mengabadikan nama Presiden pertama RI sebagai penggagas dibangunnya Gelanggang Olahraga Senayan di kawasan Senayan, Jakarta, maka dipandang perlu untuk mengubah nama Gelanggang Olahraga Senayan menjadi Gelanggang Olahraga Bung Karno,” tulis Keppres 7/2001.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid