sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Green Book: Potret satire diskriminasi ras di Amerika

Kita belajar dari film ini, kebencian tak melulu datang dari diri, melainkan keterikatan kolektif di sekitarmu.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Jumat, 18 Jan 2019 13:57 WIB
Green Book: Potret satire diskriminasi ras di Amerika

Tiga kemenangan di Golden Globe Awards

Film besutan sutradara spesialis komedi Peter Farrely ini sendiri memboyong penghargaan terbanyak di Golden Globe Awards 2019.

Dari lima nominasi, tiga tiket kemenangan diboyong, dalam kategori Best Motion Picture-Musical or Comedy; Best Performance by an Actor in a Supporting Role in any Motion Picture untuk Mahershala Ali; serta Best Screenplay-Motion Picture untuk Nick Vallelonga, Brian Currie, dan Peter Farrelly.

Mengapa film ini begitu spesial, sehingga memenangkan banyak piala?

Beberapa orang melihat film ini sebagai road trip jadul, di mana Google Maps belum ditemukan, yang jenaka dan sudah pasti bertabur musik piano klasik nan indah. Namun, bagi saya, film ini adalah satire yang memperlihatkan masalah serius intoleransi terhadap orang kulit hitam di Amerika.

Kejeniusan Peter Farrely menjungkirbalikkan norma dan peran jamak antara kulit hitam dan putih saat itu memikat saya. Tony “Lip” yang lama bermukim di Bronx, sebagai tokoh utama mewakili kulit putih, tak dicitrakan berkelas seperti stereotipe kebanyakan.

Mahershala Ali, Dimiter D. Marinov, dan Mike Hatton dalam film Green Book. (Imdb.com).

Dia justru menjadi mesin humor sepanjang film, yang gemar bicara semaunya, bertingkah kasar, dan gemar memaki. Dia melipat pizza satu loyang dan menelannya bulat-bulat, mengajari Don yang kikuk, mengganyang ayam goreng dalam mobil, lalu membuang tulangnya ke jalan. Dia juga memukul orang jika diperlukan, serta selalu mengantongi pistol di saku bajunya.

Sponsored

Sebaliknya, Don adalah representasi pria berkelas yang lihai bermain musik, pemegang gelar doktoral, dalam keseharian dia dipanggil "Doc", selalu mengenakan jas dan dasi, kaya raya, serta berbicara terstruktur khas kelas terpelajar di Amerika.

Don berhasil menghentak kesadaran kita, soal peliknya konflik minoritas yang terjadi di Negeri Paman Sam—berbarengan dengan perjuangan Martin Luther King Jr. Menghapuskan kebijakan pemisahan rasial kala itu.

Sebagai film yang diangkat dari kisah nyata. Film ini lantas menjadi terasa sangat pas memotret intoleransi di Amerika. Ada sebuah pesan penting yang juga relevan di masa sekarang, yakni pandangan bisa saja lahir bukan dari diri, tapi dari konstruksi dan keyakinan umum masyarakat.

“Ada terlalu banyak kesepian di dunia, karena mereka tidak berani untuk memulai duluan,” pesan punch line yang jadi inti film berdurasi 2 jam 10 menit ini.

Saya pribadi segera tiba pada keyakinan, sikap rasis yang sebelumnya dimiliki Tony tak turun dari langit dan melekat begitu saja, tapi terbentuk karena pengalaman kolektif di sekitarnya. Sialnya, meski terkadang hati kecil kita melawan kebencian atau anggapan publik yang keliru, selalu terbentur pada ketakutan untuk memulai.

Satu-satunya kekurangan, film ini sedikit sekali membahas soal Green Book, mengingat judul besar yang ditawarkan adalah buku penting dalam sejarah anti-ras.

Agak disayangkan memang. Publik yang lapar informasi sejarah Green Book tentu ingin tahu sejak kapan buku itu ada, asal muasal, bukan sekadar fokus pada drama batin tokoh Don atau perjuangan Tony untuk memulai langkah pertama: menghapus kebencian yang telah lama mengakar kuat dalam dirinya.

4

Komedi segar dalam format film perjalanan. Andai sutradara memberi pendalaman lebih pada muasal Green Book, film ini layak dapat nilai 5 sempurna.

 

Berita Lainnya
×
tekid