sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ilmu pengetahuan yang dibelenggu kolonialisme

Buku karya Andrew Goss ini dinilai gagal menggambarkan sejarah ilmuwan dan ilmu pengetahuan secara komprehensif.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 02 Mei 2019 20:00 WIB
Ilmu pengetahuan yang dibelenggu kolonialisme

Kapitalisme

Sebelum pemerintah kolonial mengakomodir ilmuwan dan ilmu pengetahuan dalam wadah kelembagaan, beberapa gubernur jenderal memegang peran sebagai donatur. Misalnya, Gubernur Jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Johannes Camphuys yang mempekerjakan ahli botani terkemuka Georg Eberhard Rumpf (Rumphius) pada abad ke-17. Rumphius menyusun mahakarya Herbarium Amboinense, yang menunjukkan keselarasan antara keilmuan di Hindia Belanda dan di Eropa.

Selain Camphuys, Gubernur Jenderal Jacob Cornelis Matthieu Radermarcher juga memendam gairah intelektual pencerahan Eropa. Ia pun mendirikan kelompok Bataviaasch Genootschap der Konsten en Wetenschappen (Kelompok Seni dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Batavia) pada 1778.

Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles juga ikut mengukir namanya dalam khazanah keilmuan Hindia Belanda, dengan menyusun karya kondang The History of Java. Di sisi lain, perkembangan keilmuan di Hindia Belanda terbantu pula dengan peran dari donatur swasta.

Mahakarya Alfred Russel Wallace The Malay Archipelago takkan tersusun jika masyarakat Eropa, terutama Inggris, belum masuk abad pencerahan (aufklarung). Sebab, selain memperoleh spesimen sejarah alam, dengan membawa pulang lebih dari 125.000 spesimen mamalia, reptil, burung, kupu-kupu, kumbang, dan berbagai jenis serangga lainnya, Wallace menyalin mahakaryanya untuk membiayai petualangan ilmiahnya. Terkait kapitalisme yang menggerakkan roda kerja keilmuan, memang kerap luput dari perhatian.

Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid pun membenarkannya sebagai kritik atas karya Andrew Goss.

"Yang hilang dari buku ini adalah penjelasan tentang kapitalisme," tutur Hilmar dalam bedah buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan; dari Hindia Belanda sampai Orde Baru di Museum Nasional, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Bila menilik sejarah Eropa, kata Hilmar, perkembangan kapitalisme atau sistem ekonomi yang perdagangan, industri, dan alat-alat produksinya dikendalikan pemilik swasta, dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar. Hal ini merupakan akar persoalan yang menjawab perbedaan mencolok sejarah ilmuwan dan ilmu pengetahuan di Eropa dan Indonesia.

Sponsored

Menurut Hilmar, bentuk kapitalisme di Hindia Belanda cenderung berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Sehingga, kata dia, ilmuwan dan ilmu pengetahuan cenderung terbelenggu kepentingan pemerintah kolonial. Sebaliknya, menurut Hilmar, di Eropa kapitalisme terhindar dari bayang-bayang pemerintah. Imbasnya, perkumpulan pegiat keilmuan yang tidak berafiliasi dengan pemerintah turut bermunculan.

"Kapitalisme di Hindia Belanda di bawah kekuasaan kolonial. Itu sebabnya, yang ada di Hindia Belanda berbeda dengan yang ada di Eropa, yang mana muncul banyak organisasi-organisasi independen. Waktu membaca buku itu, terpikirkan mengapa sains dan ilmu botani tidak bisa berkembang. Dan salah satu alasannya karena tidak muncul lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang independen," ujar Hilmar.

Jika melihat dinamika ilmu pengetahuan sosial saat ini, kata Hilmar, kita bisa menengok Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) , sebagai sebuah lembaga independen yang punya sumbangsih dalam memproduksi pengetahuan.

“Meskipun ilmu pengetahuan era kolonial sangat sentralistik, tetapi kita tidak boleh menihilkan produksi pengetahuan di luar lembaga pengetahuan bentukan pemerintah kolonial,” kata Hilmar.

Buku karya Andrew Goss ini dinilai gagal menggambarkan sejarah ilmuwan dan ilmu pengetahuan secara komprehensif. Sebab, dialektika yang dihadirkan terbatas pada kekuasaan yang membelenggu ilmuwan dan produksi pengetahuannya.

"Buku ini bertolak dari asumsi bahwa modernitas ini hanya mungkin dicapai melalui sains, jadi sains ini sebetulnya yang melahirkan modernitas. Itu asumsinya. Jadi ceritanya tentang kegagalan, sains yang tidak berhasil menghadirkan modernitas," kata Hilmar.

Berita Lainnya
×
tekid