sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kegembiraan hidup Ria Irawan hingga napas terakhir

Ria menjalani beragam pengobatan dan kemoterapi, termasuk untuk menyembuhkan kanker dinding rahim atau endometrium sejak 2014.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Selasa, 07 Jan 2020 13:24 WIB
Kegembiraan hidup Ria Irawan hingga napas terakhir

Kendati aktris Ria Irawan telah meninggal dunia pada Senin (6/1) dinihari, tetapi masih menyisakan kesan mendalam bagi kerabat dekatnya. Ria mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, pukul 04.00 WIB. Jenazah Ria dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Senin siang pukul 13.00.

Mayky Wongkar, suami Ria, mengatakan Ria dirawat intensif di Instalasi Gawat Darurat RSCM sejak Jumat malam, (3/1). Istrinya menjalani rawat inap untuk ketiga kalinya setelah penyakit kanker tumor ganas diketahui menyerang bagian otak dan paru-parunya, akhir Juli 2019.

“Itu pas 24 Juli. Menjelang ulang tahun yang ke-50, ketahuan kondisinya makin melemah,” kata Mayky, ditemui di halaman rumah Ade Irawan, ibunda Ria, di Jalan Anggrek Lestari Blok N/ 11, Perumahan Lebak Lestari, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin petang (6/1).

Mayky yang menikahi Ria pada 2016 itu, menceritakan, Ria menjalani beragam pengobatan dan kemoterapi, termasuk untuk menyembuhkan kanker dinding rahim atau endometrium sejak 2014.

Namun, sejak Juli 2019, Ria didiagnosis terkena kanker kelenjar getah bening yang membuat kondisinya melemah. Hal itu, ditandai dengan respons racauan Ria yang tak dapat ditangkap jelas oleh orang-orang di sekitarnya.

Pengobatan di IGD RSCM mengharuskan Ria menjalani perawatan intensif. Atas kesepakatan keluarga Ria dan tim dokter, pengobatan terlebih dahulu dilakukan untuk memulihkan kondisi otak.

“Dokter sudah memperingatkan, kanker di paru-paru ini berbahaya. Tetapi Ria meminta untuk mengobati bagian otak lebih dulu, supaya bisa mudah berbicara dengan keluarga,” ujar Mayky.

Ria dan Mayky telah saling mengenal 15 tahun. Mayky sebelumnya ialah asisten pribadi Ria. Pernikahan Ria dengan suami pertamanya, Yuma Wiranatakusumah, bertahan hanya dua tahun, 1997–1999. Mayky yang telah mengenal Ria sejak sekitar 2005, lantas menikahi Ria pada 2016.

Pribadi Ria yang bebas dan selalu ceria terkenang di benak Mayky dan kerabatnya. Bahkan semasa dirawat di rumah sakit, Ria setiap pagi memberi salam kepada pasien-pasien lain yang seruangan dengannya.

Dalam kondisi terbaring lemah, Ria hampir selalu tersenyum dan mencandai orang di sekitarnya. Ria meninggal dengan tenang saat terbaring di tempat tidur rumah sakit, Senin dinihari lalu.

“Bercanda mulu orangnya (Ria). Sewaktu meninggal pada Senin subuh, dia terlihat tersenyum,” ucap Mayky.

Kendati begitu Ria sangat serius dalam setiap berlatih akting. Totalitasnya dalam berperan tampak dari keseriusan menjalani proses keaktoran, antara lain riset dan observasi tokoh, hingga memerankan tokoh dan menghapal dialog sesuai isi skenario.

“Dia selalu serius, ceria tetapi juga sangat fokus dalam berakting. Totalitasnya dalam berperan itu yang paling dia tekankan. ‘Bukan kita yang tampil bermain di film, tetapi peran apa yang kita mainkan’, itu pesannya,” tutur Mayky.

Keluarga seniman

Chandra Ariati Dewi Irawan dilahirkan di Jakarta, 24 Juli 1969. Kemudian lebih dikenal sebagai Ria Irawan, masa kanak-kanak Ria bertumbuh dalam keluarga seni film. Kedua orang tuanya, Bambang Irawan dan Ade Irawan, adalah aktor senior film layar lebar. Kakak Ria, Dewi Irawan, turut produktif membintangi sejumlah film layar lebar hingga kini.

Ria pertama kali bermain film sebagai figuran dalam Sopir Taksi (1973) yang juga disutradarai oleh ayahnya. Di tahun yang sama, Ria kembali berperan di film Belas Kasih juga dengan arahan sutradara ayahnya sendiri. Dia juga berperan dalam film Chicha (1976) dan Bila Saatnya Tiba (1985).

Berkat perannya di film Bila Saatnya Tiba, Ria meraih nomine dalam Festival Film Indonesia 1986 sebagai Aktris Pendukung Terbaik.

“Gemblengan tetap ada, tetapi perlu dicatat, saya selalu berusaha bermain baik pada setiap film-film yang saya bintangi,” kata Ria, suatu kali.

Aktor kawakan Slamet Rahardjo Djarot yang kala 1984 menyutradarai film Kembang Kertas mengenang Ria sebagai aktris muda yang punya talenta cukup menjanjikan. Dalam film ini, Ria berperan sebagai anak-anak yang harus pindah tempat tinggal dari rumah mewah ke sebuah rumah susun.

“Dia (Ria) pribadi yang bebas, tak punya prasangka macam-macam. Dengan keterbukaan pikiran hati dan pikirannya, dia menjalankan akting sebagai cerminan kemanusiaan, bahwa hidup itu kebahagiaan, bukan penderitaan,” ucap Slamet, dihubungi Senin sore (6/1).

Sementara itu, Ria juga sempat berperan dalam film Ibunda (1986) bersama aktris Niniek L. Karim. Kala itu, Niniek mengagumi permainan akting Ria. Dalam film itu, mereka digembleng oleh sutradara Teguh Karya. Mereka juga sama-sama tercatat menjadi nomine Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Namun kala itu, Niniek yang dinobatkan sebagai Pemeran Pendukung Wanita Terbaik pada FFI 1986.

“Saya saat itu sangat terkesan, dia (Ria) amat berbakat. Saya bilang ke dia, pelihara bakatmu. Itu karunia Tuhan,” kata Niniek, dihubungi Senin sore (6/1).

Dua tahun berselang, giliran Ria yang berhasil memenangkan Piala Citra sebagai Pemeran Pendukung Wanita Terbaik di FFI 1988 lewat perannya dalam film Selamat Tinggal Jeanette (1987). Film ini turut melambungkan nama Mathias Muchus dan Meriam Bellina.

Beberapa sinetron kemudian juga dibintangi Ria, antara lain Cintailah Daku, Debu Tertiup Angin, Melompati Angin, Bidadari yang Terluka, dan Canting. Ria kembali bermain dalam layar lebar dengan berperan sebagai Renjani di film Biola Tak Berdawai (2003). Berkat pemeranannya, Ria diganjar penghargaan The Best Actress dalam Festival Film Asia Pasific 2003 yang diadakan di Iran.

Di Festival Film Indonesia 2006, Ria kembali menjadi nomine Pemeran Pendukung Wanita Terbaik berkat aktingnya di film Berbagi Suami (2006). Meskipun dalam kondisi mengidap kanker, Ria masih bermain dalam sejumlah film layar lebar pada 2019, seperti Mantan Manten dan Koboy Kampus.

Aktif hingga menjelang tutup usia

Aktor teater dan film Yayu W Unru menegaskan kepribadian Ria selaku pekerja seni yang energik, ceria, dan sangat peduli dengan beragam persoalan. Sebagai sesama seniman yang bergelut di bidang seni peran, Yayu mengenal Ria semasa aktif berkegiatan bersama di Taman Ismail Marzuki, sekitar 1983.

“Dia ikut gabung berteater dan pantomim. Pada era break dance di ‘85, Ria juga termasuk pelaku aktif yang terus melibatkan diri,” ujar Yayu, Senin (6/1).

Adapun setahun belakangan, menurut Slamet, Ria turut aktif dalam proses penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang perfilman bersama tim Pusbang Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai upaya menerapkan standar kelayakan profesi aktor film, kata Slamet, Ria menekuni kompetensi keaktoran untuk kebutuhan industri film.

“Dalam menyusun SKKNI bidang perfilman itu, dia selalu hadir dan memperjuangkan peranan para pemain (aktor) di situ. Karena bagaimanapun bahasa teknis sangat dipakai dalam membuat film,” kata Slamet.

Sebagai pengajar Jurusan Film di Institut Kesenian Jakarta, Slamet mengibaratkan Ria sebagai gambaran imaji dalam menjalani hidup dengan kegembiraan. Menurut Slamet, sebuah film yang bagus mampu menyampaikan gambaran imajinasi.

“Film bagus itu bukan hanya berupa rentetan gambar, melainkan memvisualisasikan cerita. Ria adalah salah satu aktor potensial yang dengan kegembiraan dan keterbukaan jiwanya menggambarkan bahwa hidup adalah kegembiraan, bukan penderitaan. Kenyataan penyakit cancer dia hadapi dengan kegembiraan. Sampai meninggalnya dia pun tetap tersenyum,” katanya.

Ria Irawan kini sudah kembali ke pangkuan Ilahi. Dia meninggalkan gambaran kebahagiaan menjalani hidup beserta puluhan film yang dia bintangi, dan karya lain semasa hidupnya.

Berita Lainnya
×
tekid