sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menekan penularan Covid-19 dengan menata perilaku

Kondisi psikologis bisa menjadi kendala dalam upaya penanganan Covid-19.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Minggu, 10 Mei 2020 12:12 WIB
Menekan penularan Covid-19 dengan menata perilaku

Pandemi coronavirus baru (Covid-19) bukan hanya gejala medis belaka, tetapi gejala multidimensional. Dampak pandemi Covid-19 turut memengaruhi segi ekonomi, sosial-budaya, spiritualitas, hingga psikologis.

Psikolog Politik dari Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengatakan, kondisi psikologis bisa menjadi kendala dalam upaya penanganan Covid-19. Pasalnya, galau, gundah, ketakutan, depresi, stres, hingga paranoid berpotensi melahirkan perilaku yang tidak mendukung imbauan pemerintah.

“Pemerintah perlu dukungan perilaku masyarakat. Jadi, kebijakan penanganan Covid-19 objeknya manusia, subjeknya manusia, dan yang berperilaku manusia. Setiap orang perlu disiapkan untuk memiliki penataan diri sebagus mungkin. Penataan hati, penataan pikiran, penataan emosi, hingga penataan perilaku,” ujar Hamdi, dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Minggu (10/5).

Penataan diri tersebut dalam konsep psikologis disebut risilien. Setiap individu harus tangguh secara fisik, ekonomi, spiritual, hingga aspek psikologisnya. Sebab, kata dia, penanganan Covid-19 titik tumpunya pada manusia.

Untuk mencapai resilient, setiap individu harus sejahtera secara psikologisnya. Masalahnya, pandemi Covid-19 telah sekonyong-konyongnya mendisrupsi berbagai lini kehidupan. Kehidupan setelah Covid-19 mereda diramalkan akan mengadopsi kondisi normal yang baru. Hal ini sangat memengaruhi aspek psikologis manusia karena dianggap sebagai ancaman.

Kesejahteraan psikologis semakin terancam digerogoti karena pandemi Covid-19 berimbas pula pada sektor ekonomi. Kesejahteraan psikologis memengaruhi imunitas yang bisa menangkal paparan Covid-19. Bahkan, kata dia, dampak dahsyat pandemi Covid-19 dapat diminimalisir dengan ketahanan dan ketangguhan setiap individu.

“Penting untuk membicarakan kesejahteraan psikologis. Ini mendukung imunitas. Makanya, harus ditata betul bagaimana setiap orang memiliki kesejahteraan psikologis yang excellent,”ucapnya.

Komunikasi risiko, kata dia, penting karena informasi bisa memengaruhi perilaku. Jika seseorang bias terpapar informasi buruk, maka kecenderungan paranoid, gelisah, hingga stres berlebihan. Misalnya, terlalu takut hingga mengajak warga menolak jenazah pasien Covid-19. “Setiap orang harus mendukung kondisi kondusif dengan tidak menyebarkan hoax, mengajar orang tidak patuh pemerintah, melanggar protokol kesehatan, menebar teori konspirasi, hingga menstigmatisasi tetangga yang terpapar Covid-19,” tutur Hamdi.

Sponsored

Di sisi lain, kata dia, terlampau banyak terpapar informasi baik justru akan membuat orang menganggap enteng penularan Covid-19. Ia pun mengajak masyarakat menata diri masing-masing secara konsisten, resilient, dan berkelanjutan agar kurva pandemi Covid-19 melandai.

“Setiap orang harus disiapkan mentalnya tangguh. Kedua, disiplin, kita perlu tidak egois saat ini. Setiap orang punya tanggung jawab, memperbesar empati dan solidaritas. Tetapi, ada variavel waktu, ini tidak bisa dicepet-cepetin, nanti akan landai. Ini perlu kesabaran,”ucapnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid