sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengais nafkah dari kopi keliling

Pedagang kopi keliling biasa menjajakan kopi saset menggunakan sepeda di sekitaran Jakarta Pusat.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Kamis, 03 Jan 2019 19:04 WIB
Mengais nafkah dari kopi keliling

Sepeda penuh dengan kopi saset dan termos yang dikayuh hilir-mudik, tak asing ditemui di sekitar Taman Menteng, Jakarta Pusat.

“Kopinya, mbak?”

Salah seorang penjual kopi keliling, yang kerap disebut dengan istilah starling alias Starbuck keliling, menawarkan dagangannya kepada saya. Dia kayuh sepedanya pelan-pelan, lantas berhenti.

Namanya Ahmad. Sudah tujuh tahun dia menjajakan kopi keliling. Setiap hari, dia biasa beroperasi pukul 10.00 di sekitar Taman Menteng.

“Saya dari Madura,” kata Ahmad, Rabu (2/1) sore.

Merantau ke Jakarta, Ahmad memboyong istrinya. Namun, dia meninggalkan anaknya di sana, karena masih bersekolah. Ahmad mengaku, hijrah ke Jakarta karena diajak kakaknya.

Di ibu kota, Ahmad dan istrinya tinggal di daerah Kwitang, Jakarta Pusat. Di tempatnya tinggal sekarang, seluruhnya berprofesi sama sebagai penjaja kopi keliling. Rekan-rekan Ahmad pun sebagian besar berasal dari Madura.

Ahmad mengatakan, pendapatan dari berjualan kopi tak menentu. Dia punya keinginan untuk membuka usaha sendiri, seperti minimarket.

“Jual starling gini capek. Enak kalau punya minimarket,” katanya.

Berbeda dengan Ahmad, rekan seprofesinya, Bakir, tak punya cita-cita bikin usaha sendiri. Alasannya, modal nihil. Lebih lama dari Ahmad, Bakir punya pengalaman mengayuh sepeda penuh kopi saset sudah 10 tahun.

“Sehari biasanya saya dapat untung Rp100.000,” kata Bakir, yang ditemui di kampung kopi Kwitang, Jakarta Pusat, Kamis (3/1).

Tak hanya kopi. Minuman saset yang dijual bermacam-macam, mulai dari susu saset hingga minuman rasa buah. Harganya juga variatif. Mulai dari Rp3.000 hingga Rp5.000.

Lokasi tempat Bakir berkeliling adalah Bundaran HI, Jakarta Pusat. Dia mengayuh sepedanya, menawarkan kopi, dan mangkal dari siang hingga malam.

Repotnya kena razia

Tukang kopi keliling di sekitar Taman Menteng, Jakarta Pusat. (Alinea.id/Annisa Saumi).

Selama 10 tahun berjualan kopi, setidaknya telah empat kali Bakir terjaring razia Satpol PP di Bundaran HI.

“Tapi mau gimana lagi ya, saya harus cari nafkah,” kata Bakir.

Hasan, juragan di kampung kopi mengatakan, para penjaja kopi keliling hampir setiap hari terjaring razia. Biasanya, para pedagang akan melapor ke dirinya pada sore hari, bila terkena razia.

“Kemarin (2/1), ada dua (pedagang) yang tertangkap razia,” kata Hasan.

Dia sudah kenyang mengurus razia. Hasan pun sebenarnya sadar, usaha kopi keliling melanggar aturan Perda.

“Berjualan di Taman Menteng juga sebenarnya tidak boleh. Tapi ada toleransi lah, asal sampahnya dibuang, tamannya dijaga kebersihannya,” ujar Hasan.

Menurut Hasan, yang paling merepotkan bila pedagang terjaring razia di daerah Istana Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara. Biasanya, mereka langsung diamankan ke markas Satpol PP, Cakung, Jakarta Timur.

“Kalau sudah begitu bisa sidang, dibawa ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Yang urus ya saya, biar jualannya enggak disita,” ujarnya.

Hasan mengatakan, jika tertangkap satu kali, dia harus membayar denda Rp100.000. Dua kali Rp200.000. Bila sudah tiga kali, dia harus meminta rekomendasi dari lurah, untuk berjanji tak akan berjualan di sekitar Istana Presiden lagi.

“Kalau tertangkap lagi, ya udah, enggak bisa jualan,” katanya.

Pemulung jadi juragan

Kampung kopi yang letaknya bersebelahan dengan gedung Bank Indonesia Institute, Kwitang, Jakarta Pusat tersebut, terlihat lengang pada siang hari. Gerobak-gerobak penjual makanan terlihat berjejer, saat saya memasuki kampung ini. Para penjual kopi keliling kebanyakan memasok barang dagangannya dari sini.

Hasan, merupakan seorang juragan kopi di sini. Dia mengatakan, sudah merantau ke Jakarta sejak 1985. Saat itu, usia Hasan masih 12 tahun.

“Saya diajak merantau ke Jakarta, awalnya jadi pemulung,” kata pria asal Sampang, Madura itu.

Pria berusia 45 tahun tersebut masih ingat, kala merantau hanya mengeluarkan uang Rp1.500 untuk tiket kereta api dari Surabaya ke Jakarta. Saat itu, dia masih tinggal di Pejambon, Jakarta Pusat.

Setelah bergonta-ganti profesi, akhirnya dia mencoba berjualan keliling pada awal 1990. Mulanya, dia mengadu nasib berjualan teh botol menggunakan gerobak. Beberapa kali dia terjaring razia. Lalu, dia tak lagi menggunakan gerobak, tapi memikul barang dagangannya.

“Dulu jualnya ke Pasar Tanah Abang, ke kantor-kantor. Tapi lama-lama pegal dan capek juga. Bahu jadi sakit,” kata Hasan.

Lantas, bersama seorang temannya, dia memiliki ide berjualan minuman menggunakan sepeda. Dengan mengayuh sepeda, dia bisa menjangkau lebih banyak pelanggan. Seiring waktu, bisnis berjualan minuman keliling menggunakan sepeda ini makin berkembang.

Hasan, juragan kopi di kampung kopi Kwitang, Jakarta Pusat. (Alinea.id/Annisa Saumi).

Hasan kemudian mengajak teman-temannya untuk berjualan keliling juga menggunakan sepeda. Sejak saat itu, dia tak lagi menjadi seorang penjual kopi keliling, tapi juragan yang memasok kebutuhan barang dagangan untuk para penjaja kopi.

Berkat kopi-kopi yang dijajakan dari para penjual bersepeda itu dia bisa menunaikan ibadah haji dan umrah. Di tokonya, dia memiliki hunian empat lantai, yang disewakannya kepada para pedagang kopi keliling.

Hasan mengatakan, dia hanya membantu memfasilitasi orang-orang yang memang ingin bekerja. “Karena peluang kerja bagi kita yang putus sekolah ke Jakarta enggak ada ijazah, ya starling ini,” kata Hasan.

Mayoritas penjual kopi keliling di bawah Hasan, tak punya modal dari kampung halamannya. Mereka hanya modal nekat, membawa badan saja. Hasan kemudian akan memberikan modal orang-orang itu, seperti sepeda, termos, dan barang-barang dagangan senilai Rp3 juta.

“Cara bayarnya (mengembalikan modal) ada dua, yang pertama dicicil atau bayar di belakang. Nanti kalau sudah lunas, sepedanya bisa jadi milik mereka,” ujar Hasan.

Saat ini, Hasan mengatakan, dirinya membawahi sekitar 370-an pedagang kopi keliling. “Tadinya sekitar 700, cuma mecah-mecah (pindah juragan), akhirnya sisa 300-an pedagang,” ujarnya.

Hasan memperoleh barang-barang dagangannya langsung dari distributor. Maka, dia bisa menjual barang-barang tersebut dengan harga lebih murah ke pedagang kopi keliling, daripada ketika dia mengambil dari agen.

Penjual kopi keliling di bawah Hasan banyak yang berjualan di daerah Jakarta Selatan. Sebab, banyak kantor dan proyek pembangunan jalan yang dikerjakan di Jakarta Selatan. Sementara itu, Maret dan Oktober akan menjadi bulan terlaris, karena sedikitnya hari libur kerja.

“Kalau sepi itu paling tanggal merah, karena kantor libur. Bulan puasa juga begitu, satu bulan saya akan tutup, pedagang juga pada mudik ke kampung,” kata Hasan.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid