sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Museum, objek wisata pendidikan yang mesti berbenah

Indikator keberhasilan sebuah museum bisa dilihat dari segi jumlah pengunjung yang terukur.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Sabtu, 09 Feb 2019 08:00 WIB
Museum, objek wisata pendidikan yang mesti berbenah

Ada banyak pilihan museum yang bisa dikunjungi di Kota Jakarta, mulai dari museum yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, hingga swasta. Saat musim liburan tiba, biasanya beberapa museum itu menjadi pilihan wisatawan.

Mengunjungi museum

Museum Wayang dan Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah) merupakan dua museum yang banyak diminati wisatawan kala liburan tiba. Misalnya saja, sewaktu libur Hari Raya Imlek, 5 Januari 2019 lalu, pengunjung membanjiri dua museum di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat itu. Kedua museum tersebut dikelola Pemprov DKI Jakarta.

Berbagai jenis dan bentuk wayang, dari aneka bahan bisa dilihat di Museum Wayang. Selain wayang yang berasal dari dalam negeri, terdapat pula wayang-wayang yang didatangkan dari mancanegara, seperti dari China dan Kamboja.

Koleksi di Museum Wayang, Jakarta. (Alinea.id/Annisa Saumi).

Di sini, pengunjung bisa menikmati koleksi wayang golek, wayang rumput, wayang beber, hingga wayang kardus di dalam etalase pamer yang dilapisi kaca. Selain itu, ada pula boneka-boneka dari negara-negara Eropa, Asia, dan Amerika.

Puas menikmati Museum Wayang, saya beranjak dan berjalan kaki sedikit ke Museum Sejarah Jakarta. Dahulu, bangunan ini adalah balai kota Batavia, yang dibangun pada 1707 hingga 1712.

Bangunan Museum Sejarah Jakarta yang diresmikan pada 30 Maret 1974 ini memiliki bangunan utama dengan dua sayap barat dan timur, serta bangunan sanding yang dahulu dimanfaatkan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang bawah tanah untuk penjara.

Di sini, pengunjung bisa melihat replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, mebel antik, lukisan, juga keramik, prasasti, dan gerabah. Di taman bagian belakang, ada patung Dewa Hermes, yang menurut mitologi Yunani adalah dewa keberuntungan. Jangan lupa melihat meriam legendaris Si Jagur, yang dkonon punya daya magis.

Seorang pengunjung tengah melihat koleksi Museum Sejarah Jakarta (Alinea.id/Annisa Saumi).

Museum yang dikelola Pemprov DKI Jakarta lainnya, yang saya kunjungi adalah Museum MH Thamrin. Terletak di Jalan Kenari II, Jakarta Pusat, pengunjung harus rela berjalan kaki sekitar 500 meter dari jalan utama. Sama seperti dua museum yang saya kunjungi sebelumnya, tiket masuk ke museum ini Rp5.000.

Dahulu, museum ini merupakan bekas tempat kumpul organisasi Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 1920-an. Bangunan ini mulanya gedung yang didirikan pada abad ke-19. Kemudian, seorang tokoh Betawi yang menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Hindia Belanda, yakni Mohammad Husni Thamrin membelinya. Kemudian, dia menghibahkan kepada PPPKI.

Tak seperti dua museum yang saya kunjungi sebelumnya, di sini tak sesak pengunjung. Hanya ada tiga pengunjung saat saya datang pada Jumat (8/2).

Koleksi pribadi milik MH Thamrin tak banyak dipamerkan di sini. Hanya ada meja, kursi, blangkon, radio, kereta kuda, kereta jenazah, dan piring. Seorang penjaga museum yang saya temui mengatakan, memang tak semua koleksi MH Thamrin ada di sini. Sebagian ditaruh di Museum Joang 45.

Dari Museum MH Thamrin, saya menuju Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok) di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat. Museum yang dahulunya, masa pendudukan Jepang (1942-1945), kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda ini mengatur koleksi sesuai deskripsi yang dituturkan saksi mata saat perumusan naskah proklamasi.

Museum MH Thamrin salah satu museum yang dikelola Pemprov DKI Jakarta (Alinea.id/Fandy Hutari).

Menurut kurator Munasprok Jaka Perbawa, pengelola museum sebelumnya memang berkonsultasi terlebih dahulu dengan saksi mata, seperti Burhanuddin Mohammad Diah dan asisten Maeda bagian rumah tangga, Satsuki Mishima, untuk mengatur letak koleksi di lantai satu.

“Jadi memang lantai satu ini tidak boleh diubah tata letaknya. Kalau yang di lantai dua, itu masih bisa diubah,” kata Jaka saat ditemui di Munasprok, Jakarta Pusat, Jumat (8/2).

Jaka mengatakan, pengelola museum sebelum dirinya bertugas di sini memang banyak bersandar pada penjelasan Mishima mengenai tata letak perabotan, karena dia lama tinggal di rumah Maeda.

Sementara, anggota perumus naskah hanya menempati rumah Maeda sejak jam 10 malam hingga jam 4 pagi. Para perumus naskah yang masih hidup saat diwawancara pihak museum pada 1980-an, seperti BM Diah, Sayuti Melik, dan Teuku Moh, Hasan, kata Jaka, tidak terlalu memerhatikan tata letak rumah Maeda.

Selama 11 tahun menjadi kurator di museum ini, Jaka sering mendapati pertanyaan tentang naskah proklamasi asli yang tidak ada di museum ini.

“Saya akan jawab, ini Museum Perumusan Naskah Proklamasi, bukan Museum Naskah Proklamasi,” kata Jaka.

Perlu berbenah

Jaka menuturkan, indikator keberhasilan sebuah museum bisa dilihat dari segi jumlah pengunjung yang terukur. Namun, ada pula yang tak bisa diukur, seperti pemahaman sejarah.

“Apakah setelah berkunjung, pemahaman pengunjung bertambah atau tidak?” ujar magister Museologi, Universitas Indonesia ini.

Namun, sayangnya kata Jaka, pengelola museum di Indonesia belum sampai ke arah melakukan kajian pengunjung. Bicara tentang museum yang dikelola pemerintah daerah, Jaka mengatakan, masih butuh keseriusan dalam mengelolanya.

Kurator Museum Perumusan Naskah Proklamasi Jaka Perbawa (Alinea.id/Annisa Saumi).

Sejarawan Andi Achdian yang mendirikan Museum Omah Munir di Kota Baru, Jawa Timur mengatakan hal serupa. Menurutnya, sudah ada perubahan pola pikir dalam pengelolaan museum di daerah.

“Jadi, museum tak sebatas untuk pendidikan, tapi juga untuk wisata,” kata Andi saat dihubungi, Jumat (8/2).

Andi mengatakan, di beberapa kota yang dia kunjungi, dia melihat pengelolaan museum sudah baik. Tapi, yang menjadi masalah adalah anggaran untuk museum.

“Anggaran museum selalu kalah dengan anggaran lain. Misalnya, anggaran museum Rp100 miliar, tapi kalau ada hal lain yang lebih penting, anggaran museum itulah yang akan diambil,” ujarnya.

Sementara itu, kata Jaka Perbawa, masih banyak hal yang harus dibenahi museum-museum yang dikelola pemerintah daerah. Dia memberikan contoh Museum Sejarah Jakarta.

“Saya melihat deskripsinya kurang lengkap. Hanya sebatas meja, punya gubernur jenderal anu. Harusnya deskripsi yang baik ada tahun perolehan, didapat di mana,” ujar Jaka.

Patung pengetik naskah proklamasi Sayuti Melik di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta (Alinea.id/Annisa Saumi).

Lebih lanjut, Jaka mengatakan, bila dia menempatkan dirinya sebagai pengunjung, sebuah kursi tak bisa berkisah apapun. Untuk mengatasinya, dia memberikan pendapat, sebaiknya data ditambahkan.

“Misalnya, gubernur jenderal anu di kursi kerjanya ini, telah membuat kebijakan yang menyiksa rakyat. Kan itu lebih bercerita, lebih menarik,” ujar kurator yang menyelesaikan studi sarjananya dari Jurusan Sejarah, Universitas Padjadjaran ini.

Jaka melihat, pengelolaan museum di tingkat daerah kembali pada otonomi daerah masing-masing. Namun, museum-museum provinsi yang sebelumnya dikelola secara terpusat di Jakarta di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, saat dikembalikan ke daerah, seorang kehilangan arah.

“Karena masing-masing daerah punya visi dan misi masing-masing,” kata Jaka.

Setiap provinsi, setelah otonomi daerah, kata Jaka, punya skala prioritas yang berbeda dan dinilai belum mampu menggenjot pendapatan asli daerah (PAD). Semua akhirnya kembali ke bagaimana menggenjot pendapatan daerah.

“Museum dengan tiket yang di bawah Rp1000, dengan biaya perawatannya, gaji pegawainya, enggak akan ketutup. Bagaimana mau menambah PAD?” kata Jaka.

Museum di daerah punya masalah dalam hal regenerasi.

Sedangkan bicara tentang kualitas sumber daya manusia di museum, baik Jaka maupun Andi sepakat masih kurang mumpuni. Kompetensi sumber daya manusia di museum, menurut Andi, hanya didasarkan secara umum saja.

“Jadi, misalnya mereka datang dari Jurusan Sejarah, hanya tahu sejarah, tapi tidak tahu pengelolaan museum,” ujar Andi, yang merupakan doktor Sejarah dari Universitas Indonesia tersebut.

Sementara Jaka, yang pernah berkunjung ke museum-museum di daerah, menemukan proses regenerasi pegawai museum terhambat. Pihak museum, sebagian besar mengeluhkan tidak ada regenerasi sumber daya manusia.

Berita Lainnya
×
tekid