sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Oedipus complex: Kala cinta tak mengenal usia

Oedipus complex mirip laki-laki yang sudah punya istri, namun akan selalu meminta pertimbangan kepada ibunya.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Senin, 17 Des 2018 19:37 WIB
Oedipus complex: Kala cinta tak mengenal usia

Pernikahan aktris India Priyanka Chopra dan penyanyi asal Amerika Serikat Nicholas Jerry Jonas menjadi perbincangan akhir-akhir ini. Selain pernikahan ini memakai dua tradisi agama berbeda—Nasrani dan Hindu—usia Nick yang terpaut 10 tahun lebih muda dari Priyanka juga jadi pergunjingan. Di Indonesia, beberapa figur publik laki-laki pun memilih menikahi perempuan yang usianya lebih dewasa.

Misalnya, pasangan selebritas Andhika Pratama dan Ussy Sulistyawati, yang terpaut lima tahun. Ada pula aktris Atiqah Hasiholan dan aktor Rio Dewanto juga terpaut lima tahun. Selain itu, ada pembawa acara Darius Sinathrya dan Donna Agnesia, yang berbeda enam tahun.

Tak hanya dalam tayangan infotainment di layar kaca. Dalam kehidupan sehari-hari pun, barangkali kita menemukan pasangan yang usia suaminya jauh lebih muda dari sang istri.

Lebih nyaman

Saya mewawancarai Aryono, akrab disapa Ari, yang menikah dengan perempuan yang jauh lebih tua dari dirinya. Saat ini, Ari berusia 34 tahun. Sudah lima tahun dia menjalin biduk rumah tangga dengan istrinya, yang berusia 50 tahun.

Ari memiliki alasan yang terkesan basa-basi. Dia merasa nyaman dengan istrinya, yang jauh lebih dewasa.

“Saya juga seakan menemukan pasangan yang cocok dengan garis pemikiran saya,” kata Ari, ketika dihubungi, Senin (17/12).

Ari bertemu pertama kali dengan istrinya di Malang, Jawa Timur, saat tengah melakukan kegiatan karyawisata. Menurut pengakuannya, dia sudah mulai tertarik dengan perempuan yang usianya lebih tua sejak menginjak kelas 2 SMP. Ketika itu, dia memiliki seorang kekasih yang sudah duduk di bangku kelas 3 SMA.

“Pernah sih pacaran dengan yang seumuran, tapi mereka kurang aksi dan kurang bisa diajak mikir,” kata Ari.

Kurang aksi yang dimaksud Ari adalah, ketika dia mengajak kekasihnya untuk membuka usaha bersama, kekasihnya itu tidak bergerak dan hanya menunggu. Tidak ada aksi yang mendukung ide dia.

Alasan lainnya tak memadu kasih dengan perempuan yang lebih muda, menurut Ari, karena dirinya merasa perempuan muda kurang tangguh.

Ari membantah, bila pilihannya menikahi perempuan yang jauh lebih dewasa karena mencari pasangan yang mirip sosok ibunya. Dia mengatakan, sosok ibu tak tergantikan dan tak ada yang menyamainya.

“Kalau kita bicara ke seorang psikolog, pasti menduganya begitu. Tapi, buat saya nggak,” ujar Ari.

Namun, menikah dengan perempuan yang lebih dewasa bukan tanpa risiko. Ari sadar betul, kemungkinan dia tak akan memiliki anak, karena usia istrinya. Akan tetapi, dia tak pernah mempermasalahkan hal itu.

Drama Oedipus

Istilah oedipus complex acapkali disematkan kepada laki-laki yang memiliki hasrat mendapatkan kasih sayang dari perempuan berusia lebih tua dari dirinya. Meski dirinya tak peduli dengan anggapan orang lain, istilah tersebut pun dialamatkan kepada Ari.

Oedipus complex pertama kali diperkenalkan bapak psikoanalisis asal Austria Sigmund Freud. Freud menggunakan istilah ini untuk menggambarkan seorang anak yang berkompetisi dengan ayahnya, untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang ibunya. Dalam kasus perempuan, kecenderungan ini disebut dengan istilah electra complex.

Menurut Freud, seperti yang ditulis Humberto Nagera dalam bukunya Basic Psychoanalytic Concepts on the Libido Theory (1990), oedipus complex merupakan batu pijakan bagi psikoanalisis. Istilah ini pertama kali muncul dalam karya Freud, A Special Type of Choice of Object made by Men, yang terbit pada 1910. Meski demikian, Freud sendiri sudah akrab dengan istilah ini sejak 1897.

Nagera menulis, Freud dalam karyanya The Interpretation of Dreams mendiskusikan konsep oedipus dalam koneksi antara seksualitas masa kanak-kanak dan legenda Oedipus. Freud mengambil istilah ini dari drama karya penulis Yunani kuno Sophokles, berjudul “Oedipus Rex” (Oidipus Sang Raja). Drama tragedi ini pertama kali dipentaskan pada 429 SM.

“’Oedipus Rex’ mengacu pada legenda raja kuno yang membunuh ayahnya, kemudian menikahi ibunya sendiri, dan membutakan matanya sendiri sebagai bentuk hukuman,” tulis Nagera dalam Basic Psychoanalytic Concepts on the Libido Theory (1990).

Sigmund Freud. (Commons.wikimedia.org).

Bergantung pada ibu

Menurut psikolog Friska Asta dari Lembaga Klinik Hati Jakarta, awal munculnya istilah oedipus complex ini cukup menuai kontroversi. Terutama terkait masalah seksualitas. Akan tetapi, seiring perkembangannya, oedipus complex banyak dilihat dari masalah relasi antara orang tua dan anak.

“Tak sekadar masalah seksualitas,” kata Friska, yang juga merupakan konsultan pendidikan anak ini, saat dihubungi, Senin (17/12).

Lebih lanjut, Friska mengatakan, oedipus complex ini mirip laki-laki yang sudah punya istri, namun akan selalu meminta pertimbangan kepada ibunya, sebelum memutuskan sesuatu.

“Contohnya dalam membeli lemari. Si laki-laki akan meminta pertimbangan ibunya sebelum membeli, karena percaya keputusan ibunya selalu tepat,” ujar Friska.

Dalam masa kanak-kanak, menurut Friska, bentuk keterikatan tersebut belum terlihat. Bahkan, katanya, hingga usia 10 tahun kemandirian si anak belum bisa terlihat.

Friska menyarankan agar orang tua memberikan keputusan kepada anak sejak dini, supaya anak tidak terkena oedipus complex. Misalnya, saat usia anak masih lima tahun, kata Friska, biarkan si anak merasa lapar dan meminta makan.

“Jangan dikejar-kejar, disuruh makan,” kata dia.

Saat sudah tumbuh dewasa, lanjut Friska, si anak yang memiliki oedipus complex bisa saja akan mencari pasangan yang mirip dengan karakter ibunya. Sebab, cara kerja kompleks oedipus tidak akan disadari.

“Selain itu, perwujudannya juga bisa saja si anak laki-laki akan mencari pasangan yang usianya lebih tua dari dirinya, karena dia telah terbentuk menjadi orang yang dijaga selama hidupnya,” ujar Friska.

Berita Lainnya
×
tekid