sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Option B: Penghiburan untuk mereka yang berduka

Hidup tak selalu indah. Kesedihan bisa datang kapan saja. Bagaimana cara kita seharusnya menghadapinya?

Insaf Albert Tarigan
Insaf Albert Tarigan Jumat, 13 Jul 2018 14:37 WIB
Option B: Penghiburan untuk mereka yang berduka

Saya sedang memegang handuk dan siap-siap mandi ketika muncul notifikasi WhatsApp di ponsel saya, 21 Mei lalu.

“Beristirahat dalam damai,” demikian awal pesan tak biasa tersebut. Jantung saya berdegub kencang.

“Anak kami,...,telah meninggalkan kita untuk bersama Sang Pencipta pada pukul 21.00. Mohon maafkan atas kesalahan selama hidupnya. Dan doa untuk ketenangan jiwanya.”

Saya tersentak. Enggak percaya. Dan akhirnya kembali duduk di atas kasur, diam selama setengah jam. Lalu, membalas sang pengirim pesan, teman baik saya, dengan mengatakan “Can’t believe it. Ini beneran?”

Sesudahnya, dada saya terasa sesak menahan emosi. Mata berkaca-kaca. Enggak kebayang. Bagaimana rasanya kalau itu terjadi pada saya?

Dengan cepat pesan itu sampai ke lingkaran pertemanan kami. Reaksi semua orang hampir sama: “Ini beneran” “Ya ampun” “Kenapa” “Enggak kebayang”.

Kita semua pasti menghadapi kesedihan. Entah karena penolakan, perceraian, kematian, menjadi korban pemerkosaan atau yang lain. Saat hal itu terjadi pada teman atau anggota keluarga, kita seringkali gamang atau bingung bagaimana harus bersikap. Dan akhirnya, kita hanya diam sembari berharap dia akan segera pulih dari kedukaannya. Kita mengabaikan atau menghindari topik pembicaraan yang menurut kita akan membuat orang tersebut sedih.

Itu pula yang saya lakukan ketika teman baik kehilangan anak semata wayangnya yang sudah beranjak remaja. Saya mendiamkannya selama hampir dua bulan, walau seringkali mengingat dan bertanya-tanya dalam hati, bagaimana dia menjalani hidupnya sekarang. “Hatinya pasti sangat hancur. Dia mungkin kehilangan arah hidup,” demikian kata saya dalam hati jika mengingatnya. Tanpa saya -dan mungkin teman-teman lainnya- sadari adalah, mendiamkan teman yang sedang berduka sama sekali tak membantu menolongnya bangkit. Akan tetapi, justru membuatnya makin terpuruk.

Sponsored

Itulah yang dialami Sheryl Sandberg, Chief Operating Officer (COO) Facebook, ketika suaminya, Dave Goldberg, meninggal karena serangan jantung di pusat kebugaran ketika mereka sedang berlibur di Meksiko, Mei 2015.

Dua tahun kemudian, Sheryl menuangkan pengalaman tersebut melalui buku “Option B: Facing Adversity, Building Resilience, and Finding Joy” yang ditulisnya bersama psikolog Adam Grant.

Buku ini adalah pencapaian luar biasa Sheryl di luar karir cemerlangnya hingga menjadi salah satu perempuan paling berpengaruh di dunia. Narasinya bergema ke relung hati seluruh orang karena tiap orang pasti mengalami tragedi dalam hidupnya. Dan karena itu pula, Option B jadi terasa lebih universal ketimbang karya Sheryl sebelumnya, “Lean In”, yang mengupas dinamika perempuan dalam dunia kerja. Bagi sebagian orang, Lean In adalah manifesto perjuangan kesetaraan gender di lingkungan kerja, sementara bagi yang lain ia terlalu elitis.

Option B ditulis dengan sangat jujur, terbuka, dan membuka mata kita bahwa pada dasarnya semua manusia itu rapuh, tak peduli apa pun status sosial mereka. Sheryl, misalnya, bercerita bagaimana dia menangis tiap hari selama berbulan-bulan. Bayangan tentang Dave bisa muncul kapan saja: saat mendengarkan musik, sesaat sebelum rapat di kantor, saat bercengkerama dengan teman, dan terutama saat akan tidur di ranjang yang sudah mereka tempati selama bertahun-tahun.

Pada saat yang sama, ia juga memberi kekuatan kepada pembacanya untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan ketika seorang teman atau kerabat sedang berduka. Andai saya membaca buku ini jauh sebelum teman saya kehilangan anaknya, saya pasti tak akan mendiamkannya selama dua bulan!

Memang, dari kacamata rakyat biasa, Sheryl cukup beruntung karena terlindungi dari kesulitan keuangan sebagaimana banyak dialami oleh mereka yang baru menjadi janda. Tetapi, dia tak bisa menghindari kepiluan yang dalam. Dia juga khawatir putra dan putrinya tak akan pernah bahagia lagi sesudah ayah mereka tiada.

Di titik inilah, Adam Grant, mengintervensi Sheryl dengan data. “Dia menunjukkan data: sesudah kehilangan orangtua, banyak anak yang secara mengejutkan tabah. Mereka tumbuh menjadi anak dengan masa kecil bahagia dan menjadi orang dewasa yang baik.”

Selain penuturan Sheryl, Option B juga berisi sejumlah riset Adam terhadap orang-orang yang mengalami tragedi hidup, dan bagaimana mereka mengatasinya, termasuk korban pemerkosaan oleh rekan sejawat. Namun, kisah Sheryl benar-benar membekas karena dituturkan dengan detail menakjubkan.

“Ini adalah momen terburuk kedua dalam hidup kita,” katanya kepada kedua anaknya yang tersedu sedan di pemakaman. “Kita berhasil melewati yang pertama dan kita akan melewati yang ini. Semuanya akan semakin baik mulai sekarang.” (hlm.12)

Kematian memberi reaksi yang berbeda-beda pada tiap orang. Tapi pada umumnya, seperti Sheryl mengutip psikolog Martin Seligman, orang akan mengalami 3P, yakni Personalization atau menyalahkan diri sendiri, Pervasiveness atau keyakinan bahwa semua aspek kehidupan sudah berubah, dan Permanence, keyakinan bahwa masa depan sudah hancur alias semua hal enggak akan membaik lagi.

Khusus mengenai teman dekat yang kehilangan putri semata wayangnya, hal yang paling saya khawatirkan adalah P yang pertama. Saya takut dia akan menyalahkan diri sendiri. Sheryl sendiri sempat menyalahkan diri sendiri dengan berandai-andai kalau dia datang lebih cepat, mungkin nyawa Dave akan tertolong.

Dalam kasus Sheryl, dia sangat terbantu oleh teman-teman dan keluarganya. Ibunya, misalnya, selalu menemani Sheryl tidur tiap malam selama sebulan. Sementara kakak laki-lakinya selalu menelepon tiap hari selama 6 bulan. Saat ibunya kembali ke rumahnya, tugas mendampingi Sheryl beralih ke saudara perempuannya dan saat saudara perempuannya berhalangan, tugas itu beralih ke teman Sheryl yang lain.

Selain itu, Sheryl terbantu dengan saling berbagi cerita dan menangis bersama orang lain yang mengalami kasus serupa. Misalnya, Kevin Krim, salah seorang eksekutif di CNBC, yang putrinya dibunuh oleh pengasuhnya sendiri.

Buku ini tak bermaksud menawarkan solusi sempurna untuk mereka yang sedang bersedih karena memang enggak ada solusi yang sempurna. Ia juga tak berasumsi bahwa harapan akan selalu menang atas kesedihan setiap hari. Namun setidaknya, seperti kata Sheryl, belajar dari kisah orang lain akan mengubah cara pikir kita tentang ketabahan.

Usai membaca buku ini, saya akhirnya memberanikan diri menghubungi teman saya melalui WhatsApp.

"Pagi..."

"Gimana kabar...hari ini?"

Penambahan "hari ini" adalah pengakuan terbuka bahwa saya tahu dia sedang dan masih berduka atas kepergian putrinya.

Berita Lainnya
×
tekid