sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pelacuran di Indonesia dari masa ke masa

Ragam jasa prostitusi yang marak sekarang ini hanyalah modifikasi dari yang sudah ada. Prostitusi artis, online, kopi pangku, hingga gay.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Selasa, 12 Feb 2019 05:36 WIB
Pelacuran di Indonesia dari masa ke masa

Jasa prostitusi daring kini ramai diperbincangkan. Kasus prostitusi daring yang menimpa artis FTV berinisial VA disinyalir menjadi penyebab utamanya. 

Akan tetapi, kasus prostitusi yang menjerat artis Tanah Air sesungguhnya bukanlah kali pertama. Sebelum VA, sederet nama artis Tanah Air sudah berulangkali menghebohkan publik.

Jasa prostitusi daring hadir seiring sejalan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Jika ditinjau lebih lanjut, dalam sejarah Indonesia, prostitusi artis termasuk bukanlah kasus baru. 

Titien Sumarni yang kebetulan lahir pada bulan yang sama dengan VA, adalah bintang film yang kondang pada 1950-an yang juga terlibat skandal dengan pejabat dan pengusaha.

Meskipun terjadi perubahan seiring sejalan dengan perkembangan zaman, namun ragam jasa prostusi antara masa lalu dengan masa kini tetap sama saja. 

Beberapa bulan yang lalu, empat atlet basket dari timnas Jepang yang berlaga di Asia Games terpaksa dipulangkan setelah terbukti menyewa jasa pekerja seks komersil. 

Takuya Hashimoto, Yuya Nagayoshi, Keita Imamura dan Takuma Sato masih mengenakan jersey timnas Jepang saat mengunjungi tempat prostitusi di Jakarta.

Kejadian bermula sehabis pertandingan melawan timnas basket Qatar. Takuya Hashimoto, Yuya Nagayoshi, Keita Imamura dan Takuma Sato yang sedang menyantap hidangan makan malam dihampiri seseorang yang menawarkan jasa prostitusi. 

Sponsored

Empat atlet basket dari timnas Jepang itu menerima tawarannya, kemudian langsung beranjak menuju hotel dekat Blok M, Jakarta Selatan. Skandal seks atlet basket dari timnas Jepang tersebut membuktikan kelenturan dari peluang usaha protitusi. 

Praktik prostitusi seolah senantiasa mampu beradaptasi dengan keadaan. Tanpa ragu, penyedia jasa pekerja seks komersil menggunakan jasa calo sebagai perantara.

Menurut pengamatan ahli Dermatologi R.D.G.Ph. Simons yang dikutip John Ingelson dalam bukunya Perkotaan, Masalah Sosial dan Perbudakan di Jawa Masa Kolonial, selain prostitusi jalanan yang menimpa empat atlet dari timnas Jepang, terdapat tujuh kelas prostitusi lainnya.

Ketujuh kelas prostitusi meliputi warung-warung kopi kecil di dekat pelabuhan dan kota pelabuhan tua; rumah-rumah bordil orang Jepang dan China, rumah bordil di kampung pinggiran kota, pelayanan berbeda dari pelayanan wanita pribumi, pelayanan lebih beragam dari pelayanan wanita Belanda yang mengincar pelanggan dari bujang Belanda, prostitusi terorganisir serta prostitusi homoseksual dan waria.

Pada masa revolusi fisik, prostitusi jalanan adalah pantangan bagi serdadu Belanda. Bahkan, polisi militer, pastor, dan dokter berupaya menjauhkan serdadu Belanda dari kampung-kampung pribumi yang dianggap sarang prostitusi jalanan. 

Dalam buku Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950; Kesaksian Perang pada Sisi yang Salah, Gert Oostinde berhasil mengumpukan pelbagai anjuran pantangan seks bagi serdadu Belanda. Pihak polisi militer mengadakan sosialisasi melalui pertunjukan film yang mempertontonkan kengerian penyakit kelamin.

Sementara pastor memanfaatkan selebaran dan brosur yang berisikan peringatan. Misalnya, yang bertuliskan, jika kau terjerat oleh seorang wanita, bersihkan dirimu dengan segera. Karena syphilis mengantarkanmu ke neraka

Lain profesi, lain anjuran. Dokter Sirach justru menyarankan apabila kebelet lebih baik melakukan masturbasi saja.

Adapun prostitusi warung-warung kopi kecil di dekat pelabuhan dan kota pelabuhan tua yang masih bisa dijumpai sekarang dalam wujud warung kopi pangku. Gadis-gadis muda yang bekerja di warung kopi pangku biasanya dapat dicium, dicolek, dipangku, dan juga bisa disewa untuk ditiduri. 

Warung kopi pangku yang menjamur di beberapa daerah, dulunya hanya beroperasi di dekat pelabuhan karena sangat digemari pelaut-pelaut muda (pikbroeken) dan marinir Belanda.

Bahkan, muncul adagium, bagi pikbroeken yang selalu berada dalam suasana penuh ketegangan, tiada obat yang lebih mujarab, selain sesekali melampiaskan kepada kemaluan perempuan!

Tarif pelacur

Selanjutnya, prostitusi rumah bordil yang terbagi berdasarkan harganya dibarderol menyesuaikan kelas sosialnya. 

Rumah bordil Timur Asing, yang menyediakan pelacur impor dari Jepang maupun China tentunya berbeda harganya lebih mahal ketimbang rumah bordil pribumi di pinggiran kota. Rumah bordil yang mengimpor pelacur asing ternyata sampai sekarang pun masih dapat dijumpai.

Kehadiran pelacur-pelacur impor seperti karayuki-san memang menjadi favorit para lelaki hidung belang (di masa itu disebut pria hidung putih). Seiring kedatangan para karayuki-san, palacur, dan escort lady asal dataran Tiongkok juga berdantangan. 

Pada masa itu pria Jepang sangat bergantung pada wanita, baik secara langsung mengeksploitasi pelacur sebagai germo atau pemilik rumah bordil ataupun melayani kebutuhan sehari-hari mereka sebagai penari Rickshaw (jinrikisha-fu), tukang cukur, tukang cuci, tukang foto, tukang gigi, tukang pijat, tukang tekstil (gofuku-sho), pemilik toko perhiasan (khususnya kulit kerang).

"Warung restoran, pemilik bar, dokter umum, dan sebagainya”, tulis F.X Domini B. B Hera dalam Jurnal Pendidikan Sejarah AGSI; Edisi ke 4/Juli-September 2011, hlm.10-11 (Menjual Tubuh di Negeri Jajahan: Prostitusi Jepang di Hindia Belanda, 1885-1912).

Tentang tempat pelayanan yang menawarkan jasa prostitusi terselubung, seperti panti pijat plus-plus juga hanyalah modifikasi untuk menyesuaikan zamannya. 

Pada masa kolonial, prostitusi dalam panti pelayanan dari pelacur Belanda, Jepang maupun pribumi tarifnya ditetapkan berdasarkan pelayanan yang ditawarkan. Meskipun hanya menawarkan kencan ataupun dansa, pelayanan dari pelacur Belanda masih terbilang mahal.

Pelayanan dari pelacur Jepang agak berbeda, disebabkan terdapat dua kategori pelacur Jepang, yakni geisha dan karayuki-san. Tarif pelayanan dari geisha setara dengan pelacur Belanda, sedangkan karayuki-san berada di level lebih bawah, tetapi tetap jauh lebih mahal ketimbang pelacur pribumi.

Yang terakhir, prostitusi homoseksual dan waria yang terorganisir. Karena praktik homoseksual dilarang, maka prostitusi homoseksual dan waria dianggap ilegal. 

Dilansir dari historia.id, pelarangan praktik homoseksual di Hindia Belanda terbukti dari penangkapan bendahara Kementerian Keuangan Belanda, Abraham Ries yang menjalin hubungan dengan laki-laki remaja bernama Henk Vermeulen.

Sampai sekarang pun, keberadaan prostitusi homoseksual dan waria masih terselubung. Sepanjang 2017-2018 saja, silih berganti publik dihebohkan dengan terungkapnya prostitusi homoseksual berbasis daring, spa khusus gay, pesta kaum gay, dan grup gay pelajar.

Berita Lainnya
×
tekid