sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Penggalan kisah pembelajaran kewarganegaraan ala homeschooling

Latar belakang nilai setiap keluarga, menentukan tujuan dan arah pendidikan yang dilangsungkan melalui metode homeschooling.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Selasa, 17 Des 2019 12:43 WIB
Penggalan kisah pembelajaran kewarganegaraan ala homeschooling

Praktik pendidikan berbasis keluarga yang lebih dikenal dengan homeschooling atau sekolah rumah diduga rentan menjadi tempat bertumbuhnya paham radikalisme dan sikap intoleransi.

Akhir November lalu, penelitian berjudul “Homeschooling dan Radikalisme: Menakar Ketahanan dan Kerentanan”, menganalisis kualitas kewarganegaraan anak dalam keluarga yang menerapkan metode pendidikan homeschooling.

Hasil penelitian tim periset dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut menyimpulkan praktik sekolah rumah dinilai cukup rentan terhadap bertumbuhnya paham radikalisme dan intoleransi.

Sebagaimana disampaikan oleh koordinator peneliti PPIM UIN Jakarta Arif Subhan, akhir November lalu, penelitian menghimpun data 56 sampel homeschooling yang tersebar di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Bandung, Solo, Surabaya, Makassar, dan Padang. Dari hasil wawancara dan observasi, diketahui sejumlah homeschooling terpapar ideologi keagamaan radikal.

Hal ini terindikasi dari sikap menolak memberi ucapan selamat hari besar agama lain, pembatasan interaksi sosial, dan menginginkan pemurnian melalui penerapan hukum agama dalam bingkai negara agama.

Homeschooling seperti ini umumnya memiliki tingkat interaksi sosial yang rendah dan tidak terdaftar di pemerintah,” kata Arif Subhan, di Jakarta, Kamis (28/11).

Sementara anggota tim peneliti PPIM UIN Didin Syafruddin menjelaskan, penelitian itu menganalisis 129 responden pelaku homeschooling untuk mendapatkan gambaran tingkat kewarganegaraan anak dalam keluarga yang menerapkan metode pendidikan homeschooling.

Tiga tolok ukur yang dipakai ialah pengetahuan tentang kewarganegaraan (civic knowledge), sikap kewarganegaraan (civic attitude), dan keterlibatan dalam hidup bermasyarakat (civic engagement).

“Bila tidak bekerja sama dengan kelompok lain, maka levelnya rentan terhadap radikalisme. Sebaliknya, jika menerima Pancasila, bergaul dengan pihak yang berbeda, keluarga itu menunjukkan ketahanan dari potensi radikalisme,” kata Didin, di Jakarta, Selasa (3/12).

Didin mengungkapkan, hasil penelitian itu sebagai masukan dan untuk mengingatkan lembaga pemerintah agar berupaya meningkatkan kewaspadaan atas potensi penumbuhan paham radikalisme melalui sekolah rumah. Dia mengatakan pula hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasi bagi semua keluarga praktisi sekolah rumah.

Dikenal dengan pola pendidikan yang menawarkan kebebasan dan keleluasaan bagi anak, homeschooling dinilai mengimbangi sistem pembelajaran di sekolah formal yang cenderung kaku dan normatif. Namun, nilai kebebasan itu ditengarai memberi celah potensi penyuburan paham radikalisme dan sikap intoleransi.

Pengamat pendidikan Darmaningtyas memandang aktivitas dan nilai yang ditanamkan melalui homeschooling bergantung pada pihak penyelenggaranya. Darmaningtyas mengatakan, kegiatan pendidikan berbasis sekolah rumah (homeschooling) yang minim dengan pengawasan membuat sekolah rumah berpeluang disusupi pemahaman radikal.

Homeschooling ini kan lebih longgar (aturan pembelajarannya) dibandingkan sekolah formal,” kata Darmaningtyas.

Terkait itu, menurut dia, pelaksanaan metode homeschooling juga dapat bermacam bentuk yang ditentukan berdasarkan masing-masing keluarga yang menjalankannya.

Latar belakang nilai setiap keluarga, menurut Darmaningtyas, menentukan tujuan dan arah pendidikan yang dilangsungkan melalui metode homeschooling. Lantaran hal itulah, Darmaningtyas menilai, paham radikalisme atau intoleransi dimungkinkan muncul melalui sekolah rumah.

“Mungkin saja pada pendiri homeschooling yang diteliti itu ditemukan memunculkan fenomena tersebut (radikalisme/intoleransi). Bisa jadi karena pemilik homeschooling itu berbasiskan ideologi tertentu,” katanya.

Terhadap penelitian PPIM MUI tersebut, Darmaningtyas menilai berlaku limitasi penelitian.

Menurut dia, dalam setiap penelitian, ada keterbatasan kelompok yang diteliti sehingga membuat generalisasi tidak bisa berlaku.

“Bisa juga penelitian itu mengandung kebenaran, tetapi masih terbatas pada lingkup kelompok yang menjadi subjek penelitiannya,” kata dia menegaskan.

Lebih jauh, Darmaningyas melihat homeschooling memiliki nilai positif yang menjadi alasan kemunculannya sebagai alternatif metode pendidikan. Beberapa di antaranya ialah memberikan keleluasan anak-anak dalam belajar, juga menjamin pilihan pengembangan minat dan bakat anak dengan lebih terbuka dan demokratis.

Namun, Darmaningtyas menimbang pula sisi lain yang cenderung menjadi kelemahan metode homeschooling. Hal ini terutama peluang anak bersosialisasi yang relatif lebih terbatas daripada dalam sekolah formal.

“Dalam konteks pergaulan, sekolah formal dengan murid yang banyak memberikan ruang perjumpaan lebih banyak dengan orang lain. Ini sangat berguna pada saat mereka sudah remaja karena memberikan kesempatan sosialisasi lebih luas,” katanya membandingkan.

Pembelajaran kewarganegaraan

Menanggapi hal itu, anggota Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI) Ellen Nugroho menegaskan pandangan dan sikap yang membaktikan kesetiaan mereka pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ellen justru menyanggah bahwa penyebaran radikalisme di Indonesia telah meluas melalui bermacam cara dan wahana, seperti dalam institusi keagamaan dan lembaga pendidikan.

“Tetapi kami yang tergabung di PHI tak perlu diragukan lagi, kami setia pada Pancasila dan NKRI,” kata Ellen.

Ellen menjelaskan, nilai keutamaan Pancasila biasa mereka terapkan dalam keluarga dan kegiatan keseharian di lingkungan sekitar tempat tinggal. Menurutnya, hal itu jauh lebih mengena pada anak dibandingkan disampaikan sebagai hapalan seperti diajarkan sekolah pada umumnya.

Dalam beberapa kali peringatan HUT Proklamasi RI, misalnya, Ellen dalam keluarga intinya mengajak anak-anak turut melaksanakan kerja bakti di kampung. Mereka juga terlibat menggelar upacara tujuh belasan secara internal di lingkungan perumahannya.

Sementara untuk melengkapi materi pembelajaran, homeschooler memilihkan bacaan biografi tokoh-tokoh sejarah, seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, juga Kartini, bagi anak-anak mereka.

“Jadi bukan buku teks pelajaran seperti di sekolah formal, kita juga berdiskusi dengan kritis. Pendidikan kewarganegaraan ini tidak dipraktikkan sebagai hapalan dan bukan formalitas, tetapi diterapkan secara langsung esensinya,” katanya.

Anggota PHI mencakup jejaring antarsesama keluarga pelaku sekolah rumah se-Indonesia. Hingga awal November 2019, anggota PHI mencakup 329 keluarga dengan 737 anak. Data ini meliputi pelaku homeschooling pada 86 simpul kota/kabupaten di 23 provinsi.

Sementara itu, pasangan orang tua Moi Kusman dan Ichsan Ruzuar punya cerita menarik seputar pengalamannya dalam menerapkan metode sekolah rumah. Homeschooling mereka terapkan pada ketiga anak mereka.

Moi dan Ichsan menerapkan pembelajaran homeschooling dipengaruhi layanan buku paket di sekolah putranya yang kurang berkualitas. Selain kurang lengkap, kala itu buku paket pelajaran yang dijual di sekolah putra pertama kurang sesuai dengan perkembangan materi pembelajaran anak.

Selain itu suatu kali anaknya mendapatkan nilai rapor kurang baik. Setelah diketahui, ternyata menurut guru sekolah, putranya pernah mendebat seorang guru bahasa Inggris terkait pelafalan kosakata tertentu yang berbeda dengan yang diajarkan gurunya.

“Misalkan, kata knife, anak saya menyebutkan ‘naiv’ yang berbeda dengan gurunya, ‘kenaif’,” ucap Moi.

Moi Kusman dan Ichsan Ruzuar yang tinggal di kota Bogor, Jawa Barat, melalui homeschooling mereka dapat lebih mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak.

“Jadi kami bisa mengembangkan kesepakatan kami sebagai orang tua dengan anak sebagai subjek pembelajar,” kata Ichsan yang diiyakan oleh Moi. Pengalaman menerapkan sekolah rumah dia lakukan secara berturut-turut pada ketiga anaknya sejak taman kanak-kanak hingga SMA.

Komunitas Silih Asah sebagai perkumpulan 20-an keluarga pelaku sekolah rumah secara rutin berkumpul dua minggu sekali. Moi menekankan semangat keberagaman yang mengacu pada falsafah dasar negara Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Praktiknya hal itu diterapkan dalam peringatan hari besar nasional, termasuk peringatan Hari Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober.

Moi menjelaskan, ada tiga kelompok anak anggota Silih Asah yang meniru dari kategori keanggotaaan dalam Pramuka. Komunitas ini terdiri atas Barudak (usia 5 tahun ke bawah), Siaga (enam tahun ke atas), dan Penggalang (13 tahun ke atas).

“Waktu Hari Sumpah Pemuda anak-anak Penggalang kami minta riset apa itu Sumpah Pemuda, mengapa ada peringatannya,” kata Moi.

Selain itu, para orang tua yang tergabung dalam Silih Asah menentukan tema berbeda setiap semester. Pada semester ini, misalnya, mereka mengambil tema rempah-rempah. Berangkat dari tema ini, anak-anak ingin diajarkan mengenai nilai keberagaman dalam kehidupan masyarakat sekaligus mengingatkan untuk merawat kekayaan Nusantara agar tidak dikuasai kembali oleh bangsa asing.

Dalam praktiknya, gagasan itu diterapkan dalam bentuk kegiatan yang sederhana. Misalnya, kelompok anak Barudak berkegiatan mewarnai bersama menggunakan kunyit. Hal ini, kata Moi, lalu dipakai sebagai cara memperkenalkan rempah sebagai bumbu dapur untuk memasak.

Menurut Moi, Gerakan Pramuka mereka pakai sebagai panduan dalam pembelajaran mengingat kegiatan Pramuka kental dengan nilai-nilai Pancasila, seperti tertuang dalam Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka.

“Prinsip-prinsip dalam Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka itu selalu dibacakan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” ucapnya.

Gaya hidup sehat dalam sekolah rumah

Pertumbuhan homeschooling di kota-kota besar diperkirakan tumbuh pada awal 2000-an.

Sebagai anggota pelaku sekolah rumah, Moi mengungkapkan kala itu banyak orang tertarik dengan pembelajaran homeschooling. Namun, di antara para peminat sekolah alternatif berbasis keluarga ini, masih banyak warga yang belum mengerti benar perihal homeschooling.

Moi mengatakan, pola pendidikan homeschooling sesungguhnya pendidikan yang dilangsungkan di rumah yang dilangsungkan di bawah kontrol orangtua.

“Kendali sepenuhnya ada pada orang tua. Misal menawarkan anak mengikuti kursus matematika, renang, atau keterampilan renang dan piano,” ujar Moi.

Di samping itu, Ichsan menuturkan, mereka juga menanamkan pola hidup ramah lingkungan di dalam kegiatan sekolah rumah. Beberapa di antaranya ialah gaya hidup zero waste atau menggunakan bahan yang mudah didaur ulang, pemilahan jenis sampah organik dan anorganik.

“Dalam setiap kali mengadakan pertemuan komunitas, kami selalu membiasakan anak-anak membawa perlengkapan makan-minum sendiri,” kata Ichsan.

Di samping itu, setiap kali pertemuan komunitas, anak-anak diingatkan untuk tidak menggunakan gawai atau ponsel pintar selama berkegiatan.

“Jadi hari itu jadi hari tanpa gawai. Juga kami terapkan rambu-rambu lain, misal Hari Berbahasa Indonesia, juga hari dengan membawa tumbler (botol minum sendiri) dan alat makan sendiri. Buat kami, ini menjadi pendidikan holistik yang tidak didapatkan di sekolah (formal),” ucap Ichsan.

Berita Lainnya
×
tekid