sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Simpang siur pemindahan warga setempat dari Pulau Komodo

Warga setempat khawatir pemindahan ke pulau lain menghilangkan mata pencaharian mereka.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Senin, 09 Sep 2019 07:20 WIB
Simpang siur pemindahan warga setempat dari Pulau Komodo

Selain usaha jual-beli cenderamata, sebagian penduduk Kampung Komodo juga bermatapencaharian sebagai pemandu wisata di kawasan TNK. Data dari Badan Pusat Statistik Manggarai Barat tahun 2017 mencatat di Kampung Komodo, Desa Komodo terdapat 1.764 penduduk dari 462 kepala keluarga.

Saat ini, penduduk Kampung Komodo sudah mencapai sekitar 2.000 orang. Dari jumlah itu, sedikitnya ada 30 orang bekerja sebagai naturalist guide atau pemandu wisata alam di TNK.

Saat ditemui di Loh Liang, Yoman, seorang naturalist guide dan warga asli Kampung Komodo mengungkapkan, sebelum sektor pariwisata berkembang pesat, mereka sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Alam satwa dan flora di Pulau Komodo pun mereka olah dan manfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

“Dulu itu sebelum ada Taman Nasional (Komodo), kami bisa manfaatkan kayu di sini. Dengan masuknya pariwisata, akhirnya kami mengubah profesi dari nelayan menjadi penjual suvenir atau pemandu wisata. Setelah itu yang menjadi nelayan drop (jumlahnya berkurang),” kata Yoman.

Dia menaksir kira-kira belakangan ini hanya sekitar 30–40% dari warga Kampung Komodo yang berprofesi nelayan. Sementara sebagian besar warga banting setir menjadi penjual suvenir atau pemandu wisata. Bagi Yoman, menjadi naturalist guide di TNK mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Dia mengatakan sistem kerja naturalist guide dibagi dalam dua kelompok. Setiap pemandu wisata bekerja dua puluh hari dalam sebulan.

“Kami kerja dibagi dua kelompok, setiap kelompok 15 orang. Sepuluh hari kerja, lalu bergantian sepuluh hari off, kelompok lain yang on (masuk),” kata Yoman.

Dalam 20 hari kerja itu, Yoman dapat mencapai pendapatan bersih Rp2 juta, terutama saat puncak kunjungan wisata (high season).

Sponsored

“Pas high season begini bisa Rp2 juta per bulan. Itu kalau dalam hitungan sehari lima kali jalan (memandu kelompok pengunjung berbeda),” ucapnya.

Nominal itu belum termasuk tip dari wisatawan yang dia dampingi di lokasi. Meski begitu, Yoman enggan menyebut tip sebagai sumber utama pemasukan.

“Kalau tip ya alhamdullilah, tergantung dari rezeki (pemberian) saja,” kata dia.

Dengan peningkatan fungsi TNK sebagai obyek pariwisata, ada sejumlah pembagian zona yang diatur sesuai peruntukannya. Di dalam Pulau Komodo terbagi empat zona, yaitu Zona Inti, Zona Pemanfaatan Wisata Daratan, Zona Pemanfaatan Wisata Bahari, dan Zona Pemanfaatan Tradisional.

“Dalam zona inti kami tak bisa mengambil sesuatu di dalamnya, dan tidak boleh ada perusakan. Burung-burung di sini juga nggak boleh diambil. Hanya bisa diambil pakai gambar (dipotret),” ujar Yoman berseloroh.

Selain di Loh Liang, tiga lokasi utama kunjungan wisatawan di Taman Nasional Komodo adalah Loh Buaya, Labuan Bajo, dan Pulau Padar. Selain tiga lokasi itu, perairan Taka Makassar di sebelah timur Pulau Komodo juga termasuk zona inti yang terbebas dari eksploitasi terhadap eksosistem di darat, laut, bawah laut, dan udara di sekitarnya.

Taka Makassar juga menjadi salah satu lokasi yang ditawarkan dalam paket perjalanan oleh para pebisnis wisata di Labuan Bajo kepada wisatawan lokal dan mancanegara. 

Dalam pengamatan Alinea.id di lokasi, belum ada pengawasan terhadap kunjungan publik di lokasi ini. Lambat laun tingginya tingkat kedatangan orang ke daerah ini dapat berisiko mengganggu kelestarian ekosistem. Pada Kamis sore (22/8), misalnya, perairan Taka Makassar dikunjungi sekelompok wisatawan lokal.

“Sebenarnya kami nggak boleh nih, Mas, nerbangin drone di sini. Bisa ganggu burung-burung di sini. Kami curi-curi kesempatan aja nih,” kata Nico, seorang pelayan jasa pandu wisata yang membersama sekelompok wisatawan hendak mendokumentasikan gambar di situ.

Pada sisi lain tepian Taka Makassar, sepasang turis asing menyandarkan tubuh mereka pada bantal dan kasur kecil yang digelar di situ. Mereka memandang arah langit, menunggu matahari tenggelam. Tiang-tiang dengan pelindung serupa payung kecil melingkar tegak berdiri menjadi atapnya. 

Dari Nico diketahui, fasilitas wisata seperti itu bisa menarik ongkos hingga ratusan juta rupiah untuk semalam. Petang menjemput. Namun pesona laut seolah tak pernah surut meski matahari memasuki peraduannya di Labuan Bajo. 

 

                                                                                                                   Bersambung

Berita Lainnya
×
tekid