sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Simpang siur pemindahan warga setempat dari Pulau Komodo

Warga setempat khawatir pemindahan ke pulau lain menghilangkan mata pencaharian mereka.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Senin, 09 Sep 2019 07:20 WIB
Simpang siur pemindahan warga setempat dari Pulau Komodo

Di pesisir pantai yang dikenal sebagai Pantai Merah atau Pink Beach di sebelah tenggara Pulau Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, bersandar sebuah perahu kecil. Di satu sisi biduk kapal itu tertera tulisan “Tolak Penutupan Pulau Komodo”. 

Tulisan yang terlihat dibuat dari goresan cat itu tampak timbul-tenggelam oleh riak-riak kecil gelombang laut. Tak terlihat seorang pun di perahu kecil itu.

Pemandangan itu menyambut kedatangan Alinea.id di Pink Beach akhir Agustus lalu. Meski matahari bersinar cukup terik, air laut yang tenang membuat suasana tetap nyaman.

Setelah sekoci yang kami tumpangi tiba di tepi pantai, saya memilih memisahkan diri sejenak dari teman-teman serombongan.

Sekira sejauh sepelemparan batu dari perahu kecil tadi, di tepi pantai, saya menjumpai Ismail (33) duduk berteduh di bawah pohon. Lelaki warga Kampung Komodo itulah pemilik perahu itu. Bersama Erwin seorang warga lainnya, mereka tengah menggelar dagangan cenderamata khas Komodo. 

Ada patung-patung kayu menyerupai hewan komodo (Varanus komodoensis), guci dan piring kecil dari mutiara, hingga gelang dan kalung dari batu laut.

“Saya dulu nelayan. Terakhir melaut sepuluh tahun lalu saat saya berusia 23 tahun. Pemasukan dari tangkapan ikan sekarang tidak menentu, tidak sebesar dulu,” kata Ismail. Dia sesekali menyapa beberapa orang wisatawan yang berjalan di depan lapaknya.

Sementara Erwin, menggunakan gergaji kecil, tengah mencukil kayu lumpang yang telah dipahat berbentuk badan komodo. Tangannya perlahan mengukir pahatan kayu hingga terbentuk keratan garis-garis seperti tekstur kulit badan komodo yang kasar.

Erwin merincikan, untuk membuat peralatan menangkap ikan dibutuhkan modal biaya tak sedikit. Untuk membikin satu badan kapal saja, kata dia, membutuhkan ongkos mencapai Rp30juta. 

“Itu belum termasuk bikin tangan kapal, jaring, juga untuk listriknya,” ucap Erwin.

“Kita perlu bikin ritual lagi. Ya, minimal Rp50–60 juta untuk satu kapal, baru kita bisa melaut,” tutur Ismail menambahkan.

Dibandingkan dengan usaha jual-beli suvenir, kata Ismail, melaut membutuhkan modal hingga sepuluh kali lipat. Untuk dapat memproduksi dan menjajakan kerajinan tangan wisata khas Komodo itu, dia cukup membutuhkan modal Rp 5-6 juta.

“Kalau suvenir ini simpel. Modal Rp5-6 juta sudah bisa, Rp1-2 juta juga sudah bisa,” ucapnya.

Dengan berbagai ukuran dan rupa, patung komodo dijual dengan harga bervariasi, rentang Rp300–700 ribu, bahkan hingga Rp1 juta untuk ukuran setinggi satu meter. Tidak keliru bila hal ini menjadi pilihan mata pencaharian utama warga di kawasan Taman Nasional Komodo, termasuk warga di Kampung Komodo, Pulau Komodo.

Untuk dapat memproduksi dan menjajakan kerajinan tangan wisata khas Komodo itu, cukup membutuhkan modal Rp 5-6 juta.Alinea/Robertus Rony

Perkembangan pariwisata yang makin pesat di NTT, termasuk di kawasan kota Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT secara perlahan menggeser pilihan mata pencaharian warga. Erwin dan Ismail adalah contoh segelintir warga yang bergantung pada sektor pariwisata di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).

Selain Pulau Komodo, TNK mencakup sekitar 30 pulau lain yang berfungsi sebagai kawasan lindung bagi habitat komodo.Tiga pulau lain yang juga menjadi tempat bermukim penduduk adalah Pulau Padar, Pulau Rinca, dan Pulau Papagaran.

Erwin dan Ismail menceritakan rencana penutupan Pulau Komodo pada Januari 2020 yang disusul kabar simpang-siur pemindahan warga setempat ke Pulau Kera, di Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang. Rencana yang bersumber dari ucapan Gubernur NTT Viktor Laiskodat pada awal Mei lalu itu membuat gelisah warga Pulau Komodo.

“Ada rancangan agar semua komunitas warga di Komodo keluar dari desa ini. Yang paling kami takutkan sumber pemasukan kita akan berkurang,” ucap Ismail.

Erwin tak membayangkan pemindahan sekitar 2.000 penduduk dari Kampung Komodo itu mungkin dilakukan. Karena itu, Ismail menolak ide penutupan Pulau Komodo. Terlebih mereka khawatir bila harus meninggalkan Kampung Komodo yang menjadi tempat tinggal mereka sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Erwin juga khawatir hal itu tak menjamin mereka mampu bertahan hidup di tempat yang baru.

“Kalau kami sudah sampai di sana (Pulau Kera), mau kerja apa kami, Pak? Kalau di sini kami masih bisa paling jadi nelayan, itu juga kalau bisa…,” kata Erwin.
 

Selain usaha jual-beli cenderamata, sebagian penduduk Kampung Komodo juga bermatapencaharian sebagai pemandu wisata di kawasan TNK. Data dari Badan Pusat Statistik Manggarai Barat tahun 2017 mencatat di Kampung Komodo, Desa Komodo terdapat 1.764 penduduk dari 462 kepala keluarga.

Saat ini, penduduk Kampung Komodo sudah mencapai sekitar 2.000 orang. Dari jumlah itu, sedikitnya ada 30 orang bekerja sebagai naturalist guide atau pemandu wisata alam di TNK.

Saat ditemui di Loh Liang, Yoman, seorang naturalist guide dan warga asli Kampung Komodo mengungkapkan, sebelum sektor pariwisata berkembang pesat, mereka sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Alam satwa dan flora di Pulau Komodo pun mereka olah dan manfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

“Dulu itu sebelum ada Taman Nasional (Komodo), kami bisa manfaatkan kayu di sini. Dengan masuknya pariwisata, akhirnya kami mengubah profesi dari nelayan menjadi penjual suvenir atau pemandu wisata. Setelah itu yang menjadi nelayan drop (jumlahnya berkurang),” kata Yoman.

Dia menaksir kira-kira belakangan ini hanya sekitar 30–40% dari warga Kampung Komodo yang berprofesi nelayan. Sementara sebagian besar warga banting setir menjadi penjual suvenir atau pemandu wisata. Bagi Yoman, menjadi naturalist guide di TNK mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Dia mengatakan sistem kerja naturalist guide dibagi dalam dua kelompok. Setiap pemandu wisata bekerja dua puluh hari dalam sebulan.

“Kami kerja dibagi dua kelompok, setiap kelompok 15 orang. Sepuluh hari kerja, lalu bergantian sepuluh hari off, kelompok lain yang on (masuk),” kata Yoman.

Dalam 20 hari kerja itu, Yoman dapat mencapai pendapatan bersih Rp2 juta, terutama saat puncak kunjungan wisata (high season).

“Pas high season begini bisa Rp2 juta per bulan. Itu kalau dalam hitungan sehari lima kali jalan (memandu kelompok pengunjung berbeda),” ucapnya.

Nominal itu belum termasuk tip dari wisatawan yang dia dampingi di lokasi. Meski begitu, Yoman enggan menyebut tip sebagai sumber utama pemasukan.

“Kalau tip ya alhamdullilah, tergantung dari rezeki (pemberian) saja,” kata dia.

Dengan peningkatan fungsi TNK sebagai obyek pariwisata, ada sejumlah pembagian zona yang diatur sesuai peruntukannya. Di dalam Pulau Komodo terbagi empat zona, yaitu Zona Inti, Zona Pemanfaatan Wisata Daratan, Zona Pemanfaatan Wisata Bahari, dan Zona Pemanfaatan Tradisional.

“Dalam zona inti kami tak bisa mengambil sesuatu di dalamnya, dan tidak boleh ada perusakan. Burung-burung di sini juga nggak boleh diambil. Hanya bisa diambil pakai gambar (dipotret),” ujar Yoman berseloroh.

Selain di Loh Liang, tiga lokasi utama kunjungan wisatawan di Taman Nasional Komodo adalah Loh Buaya, Labuan Bajo, dan Pulau Padar. Selain tiga lokasi itu, perairan Taka Makassar di sebelah timur Pulau Komodo juga termasuk zona inti yang terbebas dari eksploitasi terhadap eksosistem di darat, laut, bawah laut, dan udara di sekitarnya.

Taka Makassar juga menjadi salah satu lokasi yang ditawarkan dalam paket perjalanan oleh para pebisnis wisata di Labuan Bajo kepada wisatawan lokal dan mancanegara. 

Dalam pengamatan Alinea.id di lokasi, belum ada pengawasan terhadap kunjungan publik di lokasi ini. Lambat laun tingginya tingkat kedatangan orang ke daerah ini dapat berisiko mengganggu kelestarian ekosistem. Pada Kamis sore (22/8), misalnya, perairan Taka Makassar dikunjungi sekelompok wisatawan lokal.

“Sebenarnya kami nggak boleh nih, Mas, nerbangin drone di sini. Bisa ganggu burung-burung di sini. Kami curi-curi kesempatan aja nih,” kata Nico, seorang pelayan jasa pandu wisata yang membersama sekelompok wisatawan hendak mendokumentasikan gambar di situ.

Pada sisi lain tepian Taka Makassar, sepasang turis asing menyandarkan tubuh mereka pada bantal dan kasur kecil yang digelar di situ. Mereka memandang arah langit, menunggu matahari tenggelam. Tiang-tiang dengan pelindung serupa payung kecil melingkar tegak berdiri menjadi atapnya. 

Dari Nico diketahui, fasilitas wisata seperti itu bisa menarik ongkos hingga ratusan juta rupiah untuk semalam. Petang menjemput. Namun pesona laut seolah tak pernah surut meski matahari memasuki peraduannya di Labuan Bajo. 

 

                                                                                                                   Bersambung

Berita Lainnya
×
tekid