sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pesona mobil-mobil tua

Hauwke’s Auto Gallery didirikan Hartawan Setjodiningrat, yang menjadi kolektor mobil klasik sejak 1979.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Jumat, 11 Jan 2019 18:33 WIB
Pesona mobil-mobil tua

Halaman sebuah rumah di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan itu tampak sepi. Hanya ada seorang tukang kebun yang sibuk menyapu sisa-sisa guguran daun dari pohon mangga yang ada di samping pagar.

Di pekarangannya yang asri, berderet dua mobil jip dan beberapa city car. Rumah ini merupakan Hauwke’s Auto Gallery. Sang pemilik Hartawan Setjodiningrat adalah kolektor mobil klasik, yang sudah malang melintang sejak 1979.

Nama Hauwke’s diambil dari sapaan akrab Hartawan di kalangan pecinta mobil klasik. Saat ini, galeri dan seluruh koleksi mobil yang ada di dalamnya dikelola oleh anak bungsu Hartawan, yakni Laurent Setjodiningrat.

Dari luar, tak tampak di mana barang-barang antik dan koleksi mobil kuno itu disimpan. Suasana berbeda terlihat, ketika melintasi lorong di samping bangunan utama rumah. Sederet mobil antik berjejer rapi. Ada mobil buatan Eropa dan Amerika keluaran awal 1900-an hingga 1920-an.

Peninggalan Sukarno

“Ini mobil paling tua yang dikoleksi di sini,” kata Laurent, ketika ditemui reporter Alinea.id di kediamannya, Kamis (10/1), sembari menunjuk mobil made in Prancis Lorraine-Dietrich produksi 1908.

Laurent mengatakan, dia dan ayahnya sama-sama memiliki kecintaan terhadap mobil klasik. Bagi Laurent, menjaga benda klasik agar tetap ada sangat penting. Dengan begitu, semua orang bisa mengambil nilai sejarah yang terkandung di dalamnya.

Laurent berkisah, pernah ayahnya menyelamatkan salah satu mobil yang sarat sejarah, peninggalan Presiden Sukarno. Mobil tersebut sempat akan dijual oleh Sekretariat Negara ke luar negeri pada 1988, melalui proses lelang. Ayahnya yang mendengar berita tersebut, buru-buru membeli mobil itu.

“Kan sayang peninggalan sepenting itu harus berpindah ke luar negeri,” ujarnya.

Laurent Setjodiningrat yang mengelola Hauwke's Auto Gallery. (Alinea.id/Nanda Aria).

Laurent mengatakan, saat ini Hawke’s Auto Gallery memiliki 130 koleksi mobil antik. Jumlah ini sebenarnya berkurang dibandingkan saat ayahnya memulai mengoleksi pada 1980-an. Saat itu, ada sekitar 200-an mobil.

Dari banyak koleksi mobil tersebut, terdapat lima mobil peninggalan Presiden Sukarno, di antaranya Chrysler Imperial, Lincoln Continental, Chrysler Windsor, Cadillac Series 70, dan Zavod Imeni Likhacheva.

Masing-masing mobil memiliki kisah yang menarik. Chrysler Imperial misalnya. Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia disebutkan, mobil merek ini merupakan hadiah dari Raja Arab Saudi Saud bin Abdulaziz Al Saud ketika Sukarno menunaikan ibadah haji pada 1955.

Pada 30 November 1957, mobil ini menjadi korban serangan granat sejumlah orang yang ingin mencoba membunuh Bung Karno. Menurut Mangil Martowidjojo, mantan ajudan Bung Karno, dalam bukunya Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967, peristiwa pelemparan granat itu terjadi di sekolah Perguruan Cikini, Jakarta.

Waktu itu, Sukarno tengah menghadiri perayaan ulang tahun sekolah tempat putra-putrinya menimba ilmu. Bung Karno dan putra-putrinya selamat. Namun, mobil itu rusak dan berlubang terkena pecahan granat.

Lincoln Continental merupakan mobil produksi Ford, Amerika Serikat. Tipe mobil ini serupa dengan mobil yang digunakan Presiden Amerika Serikat ke-35 John Fitzgerald Kennedy saat ditembak di Dallas, Texas, pada 22 November 1963. Sedangkan mobil Chrysler Windsor merupakan produksi Amerika Serikat, yang pernah dipakai Bung Karno ketika Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 di Bandung.

Restorasi

Semua mobil yang dikoleksi, kata Laurent, lengkap dengan surat-surat kendaraan yang aktif. Bahkan, mobil-mobil itu bukan cuma dipajang. Kondisi mesinnya masih baik, dan masih bisa jalan. Maklum, beberapa dimanfaatkan untuk disewa keluar.

“Kami memang lebih memfokuskan pada restorasi mobil-mobil ini agar siap untuk digunakan kembali. Tentu saja dengan mempertahankan keaslian bentuk dari mobil itu sendiri,” katanya.

Dalam setahun, ada tiga mobil yang ditargetkan direstorasi. Meski terkadang tak terpenuhi, karena sulitnya mencari onderdil untuk mobil-mobil tua koleksinya.

“Restorasi juga memakan waktu yang tidak sebentar,” kata Laurent.

Salah satu mobil peninggalan Presiden Sukarno, merek Chrysler Windsor. (Alinea.id/Nanda Aria).

Menurutnya, sekarang ini galeri mobilnya fokus pada kualitas mobil koleksinya, bukan kuantitas. Laurent menuturkan, masih ada beberapa mobil yang belum sempat direstorasi.

“Jadi, untuk saat ini kami tidak mengambil mobil dulu, kecuali yang benar-benar oke,” kata dia.

Satu mobil membutuhkan waktu sekitar empat hingga lima tahun untuk bisa direstorasi. Ketika mendapatkan mobil, kata Laurent, tidak bisa langsung melakukan restorasi. Harus menunggu giliran dahulu.

“Yang penting kita punya barangnya dulu, biar enggak rebutan sama kolektor lainnya,” ujar Laurent.

Dalam proses restorasi sendiri, Laurent mengatakan, harus merogoh kocek sekitar Rp50 hingga Rp150 juta untuk satu mobil, tergantung mereknya. Biaya paling mahal biasanya mobil-mobil produksi Eropa dan Amerika.

Halaman belakang rumah yang luas dimanfaatkan sebagai bengkel untuk restorasi dengan reparasi ringan. Sementara untuk reparasi besar, Laurent punya bengkel lain di daerah Bekasi. Seluruh proses restorasi dilakukan sendiri bersama tim montir yang dimilikinya.

Berburu mobil

Laurent kemudian mengisahkan perburuan mendapatkan beberapa mobil koleksi galeri. Baginya, yang paling menarik, ketika ayahnya mendapatkan mobil Cevrolet BLR merah marun, yang kini tersimpan di belakang rumah utama.

Pada 1990-an, mobil tersebut ada di Padang, Sumatra Barat. Ayah Laurent mengetahui keberadaan mobil itu dari beberapa kenalan. Ketika sampai di lokasi, mobil tersebut berada dalam ruangan yang dikelilingi dinding.

“Ayah saya harus menjebol tembok itu dulu untuk bisa mengeluarkan mobilnya dengan aman,” ujar Laurent.

Hartawan, ayah Laurent, punya strategi khusus dalam berburu mobil-mobil tua. Ketika memulai perburuan, Hartawan bekerja sama dengan beberapa makelar di sejumlah daerah.

Para makelar ini dibekali kamera saku untuk mengambil gambar mobil-mobil tua yang tersebar di sejumlah daerah. Gambar-gambar itu kemudian disetor kepada Hartawan. Bila tertarik, baru Hartawan mengunjungi lokasi untuk membeli atau barter.

Deretan mobil antik dari berbagai daerah, produksi Eropa dan Amerika. (Alinea.id/Nanda Aria).

Laurent kemudian berkisah hal lainnya. Suatu ketika, ayahnya mendapatkan mobil yang dia inginkan, dan sudah memohon-mohon kepada pemiliknya. Namun, si pemilik bergeming. Si pemilik mobil memberikan syarat yang mesti dipenuhi.

“Jadi, dia punya mobil lansiran 18 Agustus tahun berapa, gitu. Tapi, mobil ini harus ditebus dengan angka delapan ratus delapan puluh delapan ribu delapan ratus delapan puluh delapan rupiah. Dan harus pas,” kata Laurent, diiringi tawa.

Berburu mobil-mobil tua, bagi Laurent masalah jodoh-jodohan. Dikejar seperti apapun, bila tak jodoh tak akan dapat. Tapi kalau jodoh, mudah datangnya.

Pernah suatu hari, ketika tengah menikmati sate di daerah Radio Dalam, Jakarta Selatan, Laurent tiba-tiba didatangi seseorang untuk membeli mobilnya, karena sedang membutuhkan uang. Lantas, menurut ayahnya mobil itu bagus, dan langsung dibeli.

Selain menyimpan koleksi mobil-mobil antik, area luas di belakang rumah juga disewakan untuk keperluan pre-wedding. Area di belakang rumah ini didesain ala retro Amerika, dengan ornamen vintage. Ada stasiun pengisian bahan bakar kuno, drum-drum, sepeda angin, lantai keramik bermotif papan catur, berpadu sederet mobil tua.

Sayangnya, galeri mobil antik ini bukan museum, yang siapa saja bisa berkunjung untuk menikmati koleksi yang ada.

Berita Lainnya
×
tekid