sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pengembangan wisata di Pulau Komodo rusak ekosistem

Satwa, flora dan manusia di Pulau Komodo merupakan suatu kesatuan ekosistem.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Selasa, 10 Sep 2019 16:49 WIB
Pengembangan wisata di Pulau Komodo rusak ekosistem

‘Loh Liang’ dalam bahasa Labuan Bajo berarti teluk yang menjadi tempat sarang komodo. Berdasar peta geografis, Loh Liang memang terletak di lekuk laut yang menjorok ke bagian timur daratan Pulau Komodo.

Sebagai seorang naturalist guide yang memandu pengunjung di TNK, Yoman pun menjelaskan satwa, flora, dan manusia di Pulau Komodo merupakan suatu kesatuan ekosistem.

Yoman bilang, sebagai satwa liar, komodo lahir dan berkembang dalam ancaman induk jantannya. Setelah telur komodo menetas, bayi komodo yang berukuran sekitar 30 sentimeter memiliki insting untuk segera melindungi dirinya dengan menaiki batang pohon sagu (Metroxylon sagu) terdekat dari tempatnya menetas. Ini dilakukan sebagai pertahanan dari peluang dimangsa oleh induk jantannya.

“Induk komodo ini kanibal. Ia hanya menjaga telurnya, tetapi tidak menjaga anaknya,” katanya.

Begitu pun induk betina yang tidak aktif melindungi anaknya. Sebagai satu famili palmae, pohon sagu disebut juga oleh warga setempat sebagai pohon palam, lontar, atau gebang. 

Yoman bilang, pohon sagu dahulu menjadi sumber makanan pokok warga Pulau Komodo. Namun, setelah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber makanan beralih ke beras atau nasi yang dipasok dari pusat kota di Labuan Bajo. Di atas pohon-pohon sagu itulah bayi komodo tinggal dan mencari makan sejak umur 0 hingga 3 tahun. 

“Ketika sudah berumur empat tahun dengan panjang tubuh sekitar 1 meter, anak komodo turun dari pohon,” kata Yoman.

Dengan kondisi siklus hidup seperti itu, jumlah populasi komodo ditengarai makin menurun jumlahnya. Selain itu, banyak ancaman yang muncul baik dari luar maupun dalam kawanan komodo sendiri. Yoman menyebutkan, tak sedikit antarkomodo jantan bertarung berebut komodo betina.

“Bisa sampai bunuh-bunuhan, sampai mati,” katanya sedikit melebih-lebihkan.

Yoman menambahkan, rusa dan kerbau yang menjadi mangsa komodo kerap dapat membunuh komodo ketika tanduk-tanduk mereka menusuk bagian dalam tubuh komodo.

Sementara itu, dalam survei yang dihimpun oleh penelitian Harold Goodwin pada 1997, diketahui bahwa pada tahun 1972 dan 1991, populasi komodo diperkirakan mencapai 5.700 ekor. Namun dalam survei selanjutnya hingga sekarang, komodo di TNK berkisar 3.000 ekor saja. 

Kemudian pada 2017, jumlah komodo tercatat sekitar 3.012 ekor, lalu menjadi sekitar 2.800 ekor pada 2018.

Populasi komodo di TNK itu tersebar di beberapa pulau. Jumlah terbanyak terbanyak ada di Pulau Rinca (sekitar 1.533 komodo), Pulau Komodo (sekitar 1.377 ekor), Pulau Gili Montang (59 ekor), Pulau Nusa Kode (44 ekor), dan Pulau Padar sebanyak tiga ekor komodo.

Masyarakat lebih paham

Menilik alasan Pemprov NTT ingin menutup Pulau Komodo untuk melakukan konservasi dan demi menjaga jumlah populasi komodo, Tasrif, naturalist guide lain di TNK justru mengingatkan ihwal konservasi sebagai proses yang alamiah.

Dia menentang tegas rencana penutupan Pulau Komodo. Tasrif pun menduga ada “niat jahat” investasi yang berkedok konservasi. Dia mengatakan, sebagaimana telah berlangsung, pengembangan usaha penunjang bisnis wisata di kawasan TNK yang kian gencar malah akan merusak ekosistem di situ.

“Sudah sejak lama penutupan Pulau Komodo ini direncanakan. Niat itu harus dicabut karena sudah sangat tidak sejalan dan tidak konsisten dengan prinsip-prinsip konservasi,” ujar Tasrif, ditemui di kafetaria “The Oase @ Komodo” yang ada dalam TNK.

Tasrif yang sudah puluhan bekerja sebagai naturalist guide ini menilai, konservasi semestinya berlangsung tanpa ada penambahan dan pengurangan unsur tertentu di dalam ekosistem. Ketimbang menjalankan usaha investasi dengan selubung “konservasi”, kata dia, pemerintah semestinya melibatkan partisipasi aktif warga lokal untuk mengusahakan pengembangan populasi komodo.

Dia mengungkapkan, penduduk asli justru lebih paham cara untuk mengembangkan populasi komodo. Dia mencontohkan cara perawatan komodo kecil agar dapat tumbuh dengan baik.

“Di saat seperti ini (berkurangnya jumlah komodo) kita bisa lakukan penangkaran. Di mana ada anak komodo yang aktif, kita pagari, kita jauhkan dari induknya,” tuturnya. Dia juga menampik pemikiran sebagian pihak yang menyebut satwa lain sebagai mangsa alami bagi komodo sudah berkurang drastis.

“Masalah ini bukan karena faktor ketersediaan makanan bagi komodo. Rusa-rusa di sini masih banyak, kok,” ucapnya.

Yoman menekankan pendapat itu. 

“Tidak ada kerusakan signifikan seperti banyak diucapkan. Ide penutupan Pulau Komodo sangat tidak sejalan dengan tujuan konservasi,” kata dia.

Dia menyanggah maksud penutupan Pulau Komodo yang bertujuan relokasi penduduk. Baginya, hal itu sungguh keberadaan Ata Modo sebagai kesatuan penduduk dengan tanah lahir mereka di Pulau Komodo.

“Seakan-akan relokasi itu bisa memindahkan penduduk. Padahal sebelum hewan komodo ini ada, masyarakat sudah ada. Sebelum negara ini merdeka pun, masyarakat sudah hidup di sini,” ujarnya.

Lebih jauh Tasrif dan Yoman mengungkapkan, warga Kampung Komodo semakin resah dengan sejumlah kebijakan Pemprov NTT terkait pengaturan kawasan Taman Nasional Komodo.

Kebijakan-kebijakan itu menurut mereka cenderung lebih menguntungkan sejumlah pengusaha pariwisata yang ingin berinvestasi di TNK. Begitu pun penutupan Pulau Komodo yang santer diwacanakan akan mulai dilakukan pada Januari 2020.

Keprihatinan penduduk Kampung Komodo pun memuncak pada Kamis (15/8) saat menahan kedatangan Tim Terpadu Pengkajian Pengelolaan Taman Nasional Komodo sebagai Kawasan Wisata Alam Eksklusif ke permukiman mereka. Tim Terpadu ini dibentuk sesuai arahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Tim dipimpin oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian LHK.

“Kita bersikeras menolak kedatangan Tim Terpadu. Mereka cuma sampai di jembatan dermaga,” kata Yoman menceritakan kejadian hari itu.

Gregorius Afioma, Direktur Sunspirit Indonesia yang aktif mendukung gerakan warga Kampung Komodo, mengatakan, sejak Kamis pagi warga berkumpul di muka dermaga.

Para warga, mencakup antara lain kaum ibu, anak-anak dan pelajar, serta pemuda bersatu menolak ide penutupan Pulau Komodo dan pemindahan permukiman mereka. Perwakilan pemuda menyuarakan secara langsung enam tuntutan warga, para pelajar menulis surat
kepada Presiden Joko Widodo.

Menurut Afioma, pernyataan tuntutan warga berlangsung damai dari pukul 10.00 hingga 12.00 WITA. Anak-anak sempat berkerumun membubuhi tanda tangan pada lembaran surat untuk Presiden. Aksi warga yang langsung bertemu dengan Tim Terpadu ini, kata dia, bermaksud agar suara warga dapat disampaikan secara terbuka. 

Melalui inisiatif warga pula, mereka kompak mengenakan kaus kaus hitam bertulisan “Tolak Penutupan Pulau Komodo”.

“Selama ini rapat dengan Tim Terpadu menyertakan 20 perwakilan masyarakat dalam rapat tertutup. Tak ada yang dapat memastikan aspirasi warga benar-benar didengar. Maka orang (warga Komodo) maunya ngomong di tempat terbuka,” ujar Afioma menjelaskan.

Akbar, seorang penduduk Kampung Komodo lantas membacakan enam tuntutan di hadapan Tim Terpadu.

“Kami warga Komodo, sebagai warga negara dan pemilik kedaulatan tanah Komodo dengan ini menolak rencana pemerintah untuk memindahkan kami keluar dari tanah leluhur kami,” kata dia di hadapan rombongan Tim Terpadu.

Ada enam tuntutan warga Kampung Komodo (Baca: “Risalah Enam Tuntutan Warga Komodo”). Terutama ada tiga permintaan yang urgen untuk dapat dipenuhi oleh pemerintah.

Pertama, warga mendesak Kementerian LHK dan Pariwisata untuk mengakui dan memfasilitasi peran aktif mereka selaku penduduk setempat dalam usaha konservasi dan pariwisata. Hal ini dicapai dengan pengakuan dan pemberian kewenangan kepada lembaga adat untuk menjalankan fungsi pertimbangan dan dewan pengarah dalam struktur pengelolaan Taman Nasional Komodo.

Kedua, meminta pemerintah tidak memberikan izin apapun kepada perusahaan-perusahaan yang ingin membangun bangunan fisik di kawasan Taman Nasional Komodo. Menurut Akbar, pembangunan fisik mengancam ruang hidup alami komodo dan habitatnya.

“Bukan berarti kami tidak paham konservasi. Kami lebih paham konservasi,” kata Akbar tegas.

Tak hanya itu, mereka menuntut pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak paten atas produk-produk kreatif yang memakai label komodo, baik dalam bentuk nama, modal, dan bahasa.

Bagi kebanyakan warga Komodo, perkataan dan ide Gubernur Laiskodat telah meresahkan dan menyinggung perasaan mereka. Mereka menuntut Gubernur Laiskodat untuk menarik kembali dan meminta maaf atas ucapannya yang menyebut warga Komodo sebagai penduduk liar.

“Kami juga menuntut KLHK untuk meminta maaf atas kelambanan dalam menyikapi pernyataan-pernyataan Gubernur,” kata Akbar menambahkan.

Para investor yang ingin mengembangkan usaha dan prasarana fisik di TNK justru dikecam pula oleh Tasrif. Ketimbang berusaha mengembangkan prasarana fisik, Tasrif justru mendukung perkembangan habitat komodo secara alamiah.

“Apa yang mau diubah? Yang tidak mencintai konservasi itu mereka (para investor) sendiri,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid