sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rumah sakit jiwa rentan paparan Covid-19

Di Amerika rumah sakit jiwa dianggap rentan Covid 19 karena orang bisa keluar masuk tanpa tes.

Fitra Iskandar
Fitra Iskandar Rabu, 30 Jun 2021 14:02 WIB
Rumah sakit jiwa rentan paparan Covid-19

Candaan komika Mongol Stres soal 'orang gila tidak ada yang kena Covid-19', ternyata ditanggapi serius oleh seorang psikiater. Di sosial media, dia mencoba membantahnya. Di luar itu, sebenarnya pandemi Covid-19, memang membuat orang mudah depresi dan perlu pendampingan kejiwaan.

Mongol berseloroh soal 'Covid-19 dan orang gila' di podcast Youtube Deddy Corbuzier (24/6). Saat berbincang dia mengatakan kepada Deddy bahwa tidak ada satupun klaster Covid-19 di rumah sakit jiwa. Baik di Indonesia maupun di luar negeri. 'Nah Mongol teliti. Ternyata orang gila selalu jaga jarak,' Mongol menyimpulkan disambut gelak tawa lawan bicaranya. 

Dokter spesialis kejiwaan Vivi Syarif mengomentari konten tersebut. Dia merasa harus menyampaikan informasi tentang candaan 'orang gila tidak kena Covid' itu ke publik. Khawatir ada stigma katanya.

"Ada hal yang bisa mengarahkan kesalahpahaman di masyarakat," kata wanita dengan APD biru itu mengawali. 

Dia menjelaskan bahwa dunia psikiater di Indonesia sudah tidak pakai istilah orang gila, tetapi ODGJ (orang dengan gangguan jiwa). Menurut dia berdasarkan penelitian ODGJ juga rentan mengalami infeksi covid. Klaster rumah sakit jiwa juga sudah terjadi, kata dia.

"ODGJ sama seperti orang lainnya, yang bisa terkena stroke, hipertensi, diabetes termasuk bisa kena covid," kata dia. 

Kita pengen stay smart dan tidak stigma karena pada prinsipnya ODGJ sama seperti orang biasa bisa kena penyakit apa aja," ujarnya.

Gangguan jiwa dan Covid 19

Sponsored

Artikel di Healtline menyebut bahwa bangsal psikiatri menjadi sarang potensial untuk pandemi COVID-19. Menurutnya itu karena  di bangsal rumah sakit jiwa aturan jarak dekat kurang diterapkan dan pasien masuk dan keluar tanpa tes. 

Tantangan lain dalam pencegahan penyebaran Covid-19 di rumah sakit jiwa, adalah sulitnya memberi pemahaman tentang penyakit menular seperti Covid-19 tersebut. 

Tidak semua pasien pasti psikotik (gangguan jiwa), kadang mereka mengalami cedera otak, atau mereka mengalami radang otak. Tetapi mencoba membuat orang memahami apa yang dibutuhkan dari mereka dan memahami apa yang terjadi dan bagaimana menjaga diri mereka sendiri dan orang lain aman sangat sulit. 

Namun ada masalah lain selain sola klaster Covid-19, yang dikhwatirkan merebak di rumah sakit jiwa, fenomena lain tak kalah penting, yaitu selama Covid-19, jumlah rawat inap rumah sakit jiwa, meningkat. Ada kenaikan yang mencapai 2 ribu bersen. Itu di Amerika.

Meski belum ada data pasti yang menunjukan keterkaitan langsung antara Covid-19 dan jumlah orang yang depresi, namun sejumlah pihak di Indonesia mengakui bahwa ada kenaikan kasus gangguan mental atau kunjungan ke ahli atau profesional.

Centre of Applied Psychometrics, Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sempat melakukan penelitian pada Juli 2020, lima bulan setelah pandemi melanda Indonesia. Dari penelitian yang melibatkan 994 responden itu diketahui bahwa 74,9% responden mengalami stres, 21,5% gangguan kecemasan, dan 3,5% depresi. 

Pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun menyebut bahwa kasus seperti gangguan tidur menempati posisi paling tinggi yakni 24%, gangguan kecemasan 5%, dan depresi 8%. Ini artinya ada kenaikan jumlah kasus orang yang membutuhkan penanganan atas gangguan mental di masa pandemi.

Dengan semakin lamanya pandemi, masalah gangguan mental tentu bisa semakin buruk. Yang mulanya hanya cemas, karena tidak bisa berkompromi dengan keadaan, jadi meningkat ke dalam kategori gangguan mental.

Berita Lainnya
×
tekid