sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Siluman dan tengkorak: The Teng Chun merintis film horor Indonesia

Perusahaan film milik The Teng Chun selamat dari kebangkrutan usai sukses film tentang siluman ular berjudul Ouw Peh Tjoa.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Rabu, 01 Jun 2022 06:07 WIB
Siluman dan tengkorak: The Teng Chun merintis film horor Indonesia

Film horor KKN di Desa Penari sukses menyedot penonton. Hingga Selasa (31/5), menurut catatan filmindonesia.or.id, sebanyak 8.667.578 orang menonton film itu, sejak diputar perdana di bioskop pada 30 April 2022.

Setidaknya tahun ini, film itu mengalahkan rekor penonton Kukira Kau Rumah sebanyak 2.220.180 orang dan Kuntilanak 3 sebanyak 1.312.694 orang. Catatan jumlah penonton itu merupakan pencapaian terbesar dalam sejarah film horor Indonesia.

KKN di Desa Penari mengalahkan rekor jumlah penonton film horor sebelumnya, yakni Pengabdi Setan (2017) 4.206.103 dan Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018) 3.346.185.

Siluman penyelamat

Di Indonesia, genre film horor termasuk salah satu yang diminati penonton. Rintisannya, menurut Katinka van Heeren dalam buku Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts from the Past (2012) dimulai dengan film Ouw Peh Tjoa (Doea Siloeman Oeler Poeti en Item) pada 1934.

Film itu produksi Cino Motion Pictures, milik The Teng Chun. Hebatnya, ia mengerjakan sendiri pembuatan film itu: jadi produser, sutradara, penata kamera, dan penata suara.

Ketertarikan Teng Chun pada film dimulai ketika ia melanjutkan studi sekolah menengah di Amerika Serikat pada awal 1920-an. Buku Apa Siapa Orang Film Indonesia, 1926-1978 (1979) menulis, waktu itu Teng Chun mengambil kursus penulisan skenario di Palmer Theatre Play, Amerika Serikat.

The Teng Chun (berdiri, paling kiri) di lokasi pembuatan film Boenga Roos dari Tjikembang (1931) dengan kamera yang dibuat bisa merekam suara. Foto repro buku Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa (2009) karya Misbach Yusa Biran.

Sponsored

Lalu, pada 1925 hingga 1930, Teng Chun berada di Shanghai, China. Ia ditugaskan ayahnya menjadi pemilih film buatan Shanghai yang akan diimpor ke Hindia Belanda. Di kota yang masa itu dikenal sebagai pengimpor film dan sineas, Teng Chun eksperimen bikin film. Salah satu karyanya berupa film bisu berjudul Wheel of Destiny.

Teng Chun kembali ke Hindia Belanda pada 1930, dan merintis Cino Motion Pictures. Ia mendirikan perusahaan film tersebut, tanpa bantuan dana dari ayahnya yang kaya raya. Ayahnya menginginkan Teng Chun hanya mengimpor film. Namun, Teng Chun bersikeras ingin memproduksi sendiri.

Keunggulan Teng Chun, ia pandai melihat peluang. Ketika itu, ia menilai, kalangan Tionghoa tengah kehilangan tontonan.

“Perhatian mereka terhadap film asal Shanghai amat merosot karena hambatan bahasa,” tulis Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa (2009).

Sebagai catatan, pada 1930 dimulai era film bersuara. Teng Chun menangkap peluang tersebut, lantas membuat film Boenga Roos dari Tjikembang (1931), yang diangkat dari khazanah sastra Melayu-Tionghoa.

Di luar dugaan, film pertamanya itu gagal karena suara yang dihasilkan sangat buruk dan terkendala pemasaran. Tak menyerah, ia memperbaiki peralatannya, hingga diperoleh suara yang lebih baik.

Formula selanjutnya, Teng Chun mencoba mengadaptasi cerita-cerita klasik Tionghoa. Maka, lahirlah film Ouw Peh Tjoa tadi.

Menurut Misbach, film yang diadaptasi dari cerita Tionghoa terkenal itu menolong Teng Chun dari posisi merayap-rayap membuat film. Film itu juga berhasil menyelamatkan perusahaan sinema Teng Chun dari kebangkrutan.

“Melalui cerita Tiongkok, ia (The Teng Chun) bisa menggunakan trik fotografi yang kemampuannya mengagumkan, seperti benda bisa terbang, orang berubah jadi hewan, dan orang menghilang,” tulis Misbach.

Film itu digemari penonton dari kalangan Tionghoa peranakan karena bahasanya mudah dipahami. Di Hindia Belanda cerita Ouw Peh Tjoa sangat dikenal di kalangan Tionghoa peranakan karena penyalinannya ke dalam bahasa Melayu. Misbach menyebut, magnet film ini adalah soal manusia kawin dengan siluman.

Hingga 1936, Teng Chun fokus pada cerita-cerita klasik Tionghoa, yang menampilkan dongeng siluman. Kesuksesan film Ouw Peh Tjoa membuat Teng Chun mampu beli alat-alat pembuatan film dari Amerika Serikat dan menjalankan usahanya lebih serius. Pada 1935, Teng Chun mengubah nama perusahaannya menjadi Java Industrial Film (JIF).

Selain Ouw Peh Tjoa, kata Misbach, jenis film-film siluman yang dibuat Teng Chun, antara lain Ang Hai Djie (1935), Ti Pat Kai Kawin (1935), Pan Sie Tong (1935), Lima Siloeman Tikoes (1936), Pembakaran Bio Hong Lian Sie (1936), dan Anaknja Siloeman Oelar Poeti (1936).

Demi memajukan usahanya, Teng Chun merekrut pemain-pemain tonil (teater) terkenal masa itu, seperti Ratna Asmara, Astaman, Raden Ismail, Suska, dan Tan Tjeng Bok.

Berbeda dengan Katinka, penulis buku Sinema Horor Kontemporer Indonesia (2016) Anton Sutandio menyebut Tengkorak Hidoep sebagai film horor pertama Indonesia.

“Karena film ini menghadirkan tokoh supranatural. Mayoritas penonton Indonesia menganggap sebuah film sebagai film horor ketika film tersebut menampilkan tokoh supranatural,” tulis Anton.

Poster film Ouw Peh Tjoa. Foto repro buku Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa (2009) karya Misbach Yusa Biran.

Tengkorak Hidoep dan horor setelahnya

Tengkorak Hidoep juga dibikin perusahaan film milik Teng Chun. Pembuatan film itu tak mudah. Misbach mengatakan, Teng Chun mesti mencari seorang sutradara yang bisa menarik penonton dan mengenal selera penonton panggung.

Teng Chun menemukan calon sutradara itu di Prinsen Park—sekarang Lokasari, Mangga Besar, Jakarta Barat—pada 1940. Di masa kolonial, Prinsen Park dimanfaatkan sebagai tempat pentas tonil, opera, dan pertunjukan semacamnya. Orang itu adalah Tan Tjoei Hock.

Menariknya, Tjoei Hock bukan orang panggung. Sekolahnya saja cuma tamat di kelas I Algemeene Middelbare School (AMS)—setingkat SMA. Tjoei Hock pernah bekerja sebagai wartawan. Namun, Teng Chun melihat bakat Tjoe Hock karena ia gemar pada dunia panggung.

Bila ada pementasan tonil atau opera di Prinsen Park, Tjoei Hock nyaris kerap membantu dengan sukarela. Teng Chun kagum dengan semangat kerja Tjoei Hock.

Tjoei Hock pun belum pernah memegang kamera, apalagi terjun di dunia sinema. Tapi, Teng Chun berkata kepadanya modalnya hanya berani. Tanpa pikir panjang, Tjoei Hock diberi wadah sendiri, sebuah anak perusahaan JIF bernama Action Film.

Tengkorak Hidoep dirilis pada 1941, diperankan Tan Tjeng Bok, Moh Mochtar, Misnahati, dan Bissu. Dokumentasi film itu kini tersimpan di Sinematek, Jakarta. Sayangnya, film itu hanya tersisa adegan beberapa menit.

JB Kristanto dalam buku Katalog Film Indonesia 1926-2007 (2007) menulis, film tersebut menggambarkan petualangan Raden Darmadji dan beberapa kawannya di Pulau Mustika. Tak jauh dari tempat itu, 10 tahun sebelumnya ada kapal tenggelam, yang ditumpangi saudaranya.

Di pulau itu, 2000 tahun silam terkubur Maha Daru, usai berkelahi dengan Dewi Gumba. Saat masuk ke dalam gua, turun hujan lebat. Makam Maha Daru pun terbelah. Rumiati, anak perempuan Darmadji ditolong Maha Daru yang bangkit dari kubur, usai mereka dikejar orang-orang liar. Padahal, Maha Daru punya niat jahat terhadap Rumiati.

Kristanto menyebut, film itu laris di pasaran. Menurut Misbach, faktor yang menyebabkan film tersebut disukai penonton adalah trik kuburan disambar petir, keluar api, dan muncul tengkorak yang bisa bergerak.

“Dalam bentuk sederhana, trik ini juga sudah dimunculkan oleh juru kamera Cho’ Chin Hsin (kamerawan asal Shanghai, China) dalam produksi Star Film untuk efek lucu. Ia membuat sapu bisa menari dengan jongos dan semacamnya,” tulis Misbach.

Ekky Imanjaya dalam A to Z about Indonesian Film (2006) menyebut, film Tengkorak Hidoep mengadopsi drakula.

Jika menilik dari kacamata saat ini, film Ouw Peh Tjoa tak tergolong genre horor. Sebab, menurut M. Yoesoef dalam “Film Horor: Sebuah Definisi yang Berubah” di jurnal Wacana, volume 5, nomor 2, Oktober 2003, film horor adalah genre film yang menyuguhkan hal-hal menakutkan, menegangkan, dan mengerikan.

Singkat cerita, film Ouw Peh Tjoa mengisahkan seekor ular putih siluman yang berubah jadi perempuan cantik. Ada juga siluman ular hitam. Mereka bersaing merebut hati Khouw Han Boen. Kisahnya cenderung mengangkat romantisme. Namun, memang ada interaksi antara manusia dan siluman—yang tergolong makhluk supranatural.

Noel Carrol dalam buku Philosophy of Horror: Paradoxes of the Heart (1990) mengemukakan dua tipe film horor, yakni art-horror dan horror.

Art-horror merupakan semua jenis fiksi yang menampilkan unsur supranatural dalam narasinya. Sedangkan horror adalah film yang menampilkan monster, hantu, sesuatu yang aneh muncul tiba-tiba, dan alam kematian.

Akan tetapi, menurut Yoesoef, pada perkembangannya perumusan Carrol tak memuaskan karena cerita horor dari tahun ke tahun makin kompleks.

Adegan dalam film Tengkorak Hidoep (1941). Foto repro buku A Brief Cultural History of Indonesian Cinema (2012) karya Kemendikbud.

“Dari perjalanan waktu, apa yang menakutkan untuk penonton pada 50 tahun lalu atau 10 tahun lalu tidaklah sama,” kata Yoesoef.

“Hal itu disebabkan adanya perubahan konsep horor itu sendiri, yang muncul bersamaan dengan semakin beragamnya jenis film atau cerita horor.”

Bisa jadi, dahulu film Ouw Peh Tjoa menakutkan bagi orang pada zamannya. Meski begitu, Tengkorak Hidoep lebih masuk sebagai syarat film horor, seperti definisi yang dikemukakan Yoesoef, yakni menyuguhkan hal-hal menakutkan, menegangkan, dan mengerikan. Di film itu ada sosok tengkorak yang menakut-nakuti dan Maha Daru yang keluar dari kubur.

Terlepas dari itu, JIF yang dibangun Teng Chun ditutup paksa ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Setelah Indonesia merdeka, film horor tak lantas diproduksi kembali.

Katinka menulis, usai kemerdekaan film horor seakan terdesak ke belakang. Selama periode 1950-an dan 1960-an, marak produksi film-film tentang revolusi Indonesia dan perjuangan merebut kemerdekaan.

Baru pada 1970-an, film horor mulai diproduksi lagi. Katinka menyebut, sejak film Ratu Ular (1972), jumlah penonton film horor di bioskop mulai meningkat. Setahun sebelumnya, dirilis pula film horor berjudul Lisa.

“Sebuah film horor tipikal Indonesia dari tahun 1970-an, biasanya berlatar di sebuah desa dan berkisar pada pencarian ilmu gaib,” tulis Katinka.

“Bagian yang melekat dari supranatural seperti itu adalah kekuatan tersebut selalu memiliki kelemahan. Cara terbaik untuk mematahkannya adalah dengan membaca sebuah ayat Al-Quran.”

Berita Lainnya
×
tekid