close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi cip di otak manusia./Foto geralt/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi cip di otak manusia./Foto geralt/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 07 Maret 2024 06:35

Sisi kelam di balik tujuan mulia cip otak-komputer Neuralink

Neuralink, perusahaan Elon Musk, menciptakan teknologi otak-komputer yang diimplan ke dalam otak manusia.
swipe

Teknologi futuristis yang biasanya hanya kita tonton di film-film fiksi ilmiah, tampaknya bakal terwujud di dunia nyata. Sinyal itu terbaca kala miliarder teknologi Elon Musk mengumumkan lewat media sosial X pada Selasa (30/1) bahwa perusahaan neuroteknologi miliknya, Neuralink, berhasil melakukan implan cip ke otak pertama kepada manusia.

Menurut Musk, penerimanya pulih dengan baik. Neuralink yang berdiri pada 2016 punya visi mengembangkan teknologi antarmuka otak-komputer terimplantasi atau brain-computer interface (BCI). Uji coba itu dilakukan, setelah Neuralink mendapat lampu hijau dari Food and Drug Administration (FDA) pada akhir Mei 2023.

Dilansir dari TRT World, tujuan utama uji coba tadi adalah untuk menilai keamanan dan fungsionalitas alat revolusioner Neuralink, yang dirancang untuk memberdayakan seseorang dalam mengontrol perangkat eksternal menggunakan pikiran.

“Tujuan utama Musk adalah menciptakan ‘alat’ untuk publik yang dapat secara langsung menghubungkan pikiran manusia dengan superkomputer, sehingga bisa menjembatani kesenjangan dengan kecerdasan buatan,” tulis TRT World.

Produk Neuralink, yang disebut sebagai Link, merupakan sebuah cip komputer yang bisa ditanamkan lewat pembedahan ke permukaan otak, dan menghubungkannya ke perangkat elektronik eksternal. Neuralink pun telah mengembangkan perangkat implantasi robot untuk cip ini.

“Musk membayangkan banyak aplikasi terapeutik untuk perangkat Neuralink, termasuk untuk pengobatan terhadap kebutaan, kelumpuhan, dan depresi,” tulis TRT World.

“Namun, tujuan utamanya lebih dari sekadar tujuan medis, yakni menciptakan perangkat yang dapat menghubungkan pikiran manusia dengan perangkat teknologi eksternal.”

Scientific American menyebut, setiap perangkat Neuralink nirkabel berisi rangkaian cip dan elektroda yang terdiri dari 1.000 konduktor super tipis dan fleksibel, yang dijalin robot bedah ke dalam korteks serebral. Elektroda lantas dirancang untuk mencatat pikiran yang terkait dengan gerakan.

Dalam visi Musk, sebuah aplikasi bakal menerjemahkan sinyal-sinyal ini untuk menggerakkan kursor atau menghasilkan teks. Singkatnya, aplikasi ini akan memungkinkan pengendalian komputer dengan berpikir.

Sebenarnya, eksperimen dengan perangkat antarmuka otak sudah ada sejak 1960-an. Menurut Direktur Pusat Ilmu Pengetahuan Kesadaran di University of Sussex dan penulis Being You (Faber), Anil Seth dalam The Guardian pernah ada uji klinis pada manusia pada 1990-an. Saat itu, seorang peneliti di Georgia Tech, Phil Kennedy, menanamkan sistem pada pasien yang lumpuh parah. Usai pelatihan ekstensif, pasien itu mampu mengendalikan kursor komputer melalui pemikiran terfokus. Akan tetapi, disebut TRT World, belum pernah ada produk komersial yang muncul.

“Pendekatan Elon Musk terhadap BCI membedakan Neuralink dari perusahaan lain yang bekerja di bidang yang sama, yang fokus utamanya adalah menggunakan perangkat mereka untuk mengatasi kondisi medis tertentu, seperti kejang, tremor parkinson, atau kelumpuhan,” tulis TRT World.

Meski begitu, di balik tujuan mulia Musk, terdapat potensi berbahaya. Sebelumnya, uji coba pada hewan juga menuai kontroversi. Reuters melaporkan Neuralink dianggap melakukan pelanggaran terhadap kesejahteraan hewan dalam pengujian yang tergesa-gesa, menyebabkan kematian banyak hewan yang gagal dalam eksperimen.

“Secara keseluruhan, perusahaan tersebut telah membunuh sekitar 1.500 hewan, termasuk lebih dair 280 domba, babi, dan monyet, setelah melakukan percobaan sejak tahun 2018,” tulis Reuters.

Seth mengingatkan, sebaiknya penelitian medis harus dilakukan perlahan untuk meminimalkan penderitaan hewan yang dilibatkan dan menjamin keselamatan manusia. Hal lain yang perlu diperhatikan, menurut Seth, adalah soal kekhawatiran peningkatan perbedaan akses dan menciptakan kelompok elite yang unggul secara kognitif.

Kekhawatiran lain adalah bias algoritmik. Seth menjelaskan, jika BCI dilatih berdasarkan data dari sebagian masyarakat saja, maka agar BCI berfungsi dengan baik, mungkin mengharuskan kita berpikir dengan cara yang sesuai karakter bagian tersebut.

“Hal ini akan menanamkan bias sosial secara langsung ke dalam pikiran kita, sehingga berpotensi menumbuhkan semacam mental monokultur,” kata Seth dalam The Guardian.

Terakhir, menurut Seth, jika kita mengizinkan perusahaan dan organisasi mengakses data saraf kita—yang mungkin merupakan bentuk informasi pribadi paling intim—maka sebagian besar dari kita telah menukar privasi demi kenyamanan.

Pakar antarmuka otak-komputer di Brown University, John Donoghue kepada Scientific American mengatakan, semua sifat pemulihan masukan sensorik, seperti penglihatan, melibatkan rangsangan listrik di otak. Hal itu bukan rekaman dari sel tunggal, tetapi stimulasi.

“Sejauh yang saya tahu, tidak ada satupun bukti yang menunjukkan penggunaan perangkat tersebut untuk menciptakan sistem sensorik dengan cara apa pun,” kata Donoghue.

TRT World menyebut, uji coba Neuralink kepada manusia menimbulkan keprihatinan etis yang mendalam. Sebab, dampak jangka panjang dari teknologi antarmuka otak-komputer pada tubuh manusia masih belum pasti.

“Tanpa pedoman etika, kita akan bereaksi terhadap masalah dibandingkan mencegahnya. Dan dalam prosesnya, mungkin akan merugikan banak orang, yang sebenarnya bisa kita hindari,” ujar seorang profesor di Fakultas Kedokteran Washington University kepada TRT World.

Pelanggaran terhadap privasi data peserta uji klinis—dan jika nanti di pasarkan ke publik—adalah dilema lainnya. TRT World menulis, dengan teknologi BCI yang bisa mengakses langsung ke otak manusia, maka implikasinya terhadap privasi dan kebebasan individu harus dipertimbangkan.

“Kekhawatiran ini meluas ke kebebasan kognitif, yang terkait erat dengan organ yang membentuk identitas manusia,” tulis TRT World.

“Selain itu, terdapat ketidakpastian mengenai bagaimana perusahaan Musk, yang memiliki tujuan lebih dari sekadar aplikasi medis, akan mengatasi permasalahan penting soal pengamanan data sensitif pasien.”

Di luar itu, BCI seperti Neuralink punya potensi bagi aplikasi penggunaan ganda, termasuk tujuan militer dan pengawasan. “Visi berani Elon Musk dalam teknologi antarmuka otak-komputer mendorong kita untuk mempertimbangkan tidak hanya kemungkinan teknis, tetapi juga etika dari teknologi,” tulis TRT World.

“Neuralink dan organisasi lain di bidang ini harus menjunjung tinggi komitmen terhadap transparansi, keselamatan, dan standar etika.”

img
Fery Darmawan
Reporter
img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan