sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Terasing gara-gara media sosial

Masyarakat berusia antara 16 hingga 36 tahun mayoritas membunuh waktu untuk mengakses internet dan media sosial selama 6 jam.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Jumat, 08 Feb 2019 18:31 WIB
Terasing gara-gara media sosial

Kemajuan teknologi membuat perilaku berkomunikasi seseorang beralih, dari bertatap muka langsung ke komunikasi dunia maya. Media sosial macam Facebook, Twitter, dan Instagram memangkas jarak dan biaya, ketimbang bersua langsung. Kini, manusia bisa berkomunikasi, hanya dengan gawai dalam genggaman.

Saat ini, memiliki media sosial, tentu bukan hal yang aneh. Bahkan, seorang pengguna media sosial, ada yang memiliki lebih dari satu jenis media sosial dan banyak akun.

Seorang karyawan perusahaan penerbitan Firdaus Solihin merupakan salah seorang pengguna media sosial. Dia memanfaatkan media sosial untuk pekerjaannya. Sebagian jadwal acara dan produk kantornya, dia promosikan melalui Instagram.

“Biasanya kalau ada diskusi buku, atau promo acara lomba menulis yang kita adakan, kita share lewat Instagram,” kata Firdaus saat dijumpai reporter Alinea.id di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Jumat (8/2).

Lain halnya dengan Aziz. Pria 24 tahun ini aktif memakai beragam media sosial. Dia memiliki akun Instagram, Facebook, dan Line.

Bukan tanpa alasan mahasiswa Universitas Mercu Buana, Jakarta ini memiliki aneka media sosial. Dia mengaku, cukup sering meluapkan ekspresinya lewat media sosial. Dia kerap membagikan status, bila tengah menghadapi masalah.

“Kadang kalau kita curhat ke teman, belum tentu teman ngertiin. Tapi kalau kita ungkapkan dan dijadikan hal yang lebih positif, biasanya jadi lebih kerasa efeknya,” kata Aziz saat ditemui, Jumat (8/2).

Selain dalam bentuk tulisan, Aziz pun kerap membagikan video berisi motivasi ke media sosial. Ketika ada teman yang menanggapi positif unggahannya, Aziz merasa senang. Misalnya, komentar seorang temannya di media sosial, yang merasakan hal serupa dengan apa yang tengah dia alami.

“Jadi, apa yang kita rasa, mereka juga ngerasain,” kata dia. Dengan media sosial, Aziz merasa tidak sendirian.

Kesepian dan depresi

Ada beberapa efek negatif bila terlalu berlebihan menggunakan media sosial. (Pixabay.com)

Dari riset yang dipublikasikan Crowdtap, Ipsos MediaCT, dan The Wall Street Journal pada 2014 terungkap, masyarakat berusia antara 16 hingga 36 tahun mayoritas membunuh waktu untuk mengakses internet dan media sosial selama 6 jam 46 menit per hari.

Penelitian tersebut pun menyimpulkan, ada kecenderungan konsumsi masyarakat yang semakin berkurang mengakses media tradisional, seperti surat kabar, radio, dan televisi. Sementara, kebutuhan untuk menjalin hubungan komunikasi melalui media sosial meningkat.

Tingginya durasi mengakses media sosial merupakan ciri dari Revolusi Industri 4.0. Istilah itu mengacu adanya perubahan besar-besaran yang terjadi, dan punya dampak terhadap cara kita hidup, bekerja, dan berkomunikasi.

Sedangkan Koentjoro Soeparno dan Lidia Sandra dalam tulisannya “Sosial psychology: The passion of psychology” yang terbit di Buletin Psikologi Vol. 19, No. 1, 2011 menulis, kemajuan teknologi membentuk relasi pertemanan versi baru melalui medium digital.

“Realitas menjadi bersifat augmented dan maya, menggunakan media baru (internet) yang dioperasikan melalui situs-situs jejaring sosial,” tulis Koentjoro dan Lidia.

Meski begitu, komunikasi melalui media sosial ikut mengubah kedalaman dan keleluasaannya. Dari yang sebelumnya tiga dimensi di dunia nyata—seperti sentuhan fisik dan pesan yang lebih lengkap—beralih ke efek gambar dan bentuk dua dimensi, dengan pesan yang jauh lebih terbatas.

Hal itu disampaikan psikolog pendidikan Elisabeth Santosa. Menurutnya, media sosial tak mampu menggantikan keutuhan kontak secara riil.

“Khususnya komunikasi verbal dan nonverbal. Itu tidak bisa terwadahi oleh media sosial,” kata dia ketika dihubungi, Jumat (8/2).

Senada dengan Elisabeth, psikolog Ayoe Sutomo mengatakan, komunikasi melalui media sosial sangat terbatas dan tak efektif dalam menyampaikan maksud antarpihak.

Sebaliknya, menurut Ayoe, beberapa penelitian ilmu sosial menunjukkan, mengakses media sosial yang terlalu sering bisa berdampak meningkatkan potensi stres. Selain itu, pengguna media sosial juga bisa mengalami penurunan pemahaman tentang konsep diri, dan akan lebih merasa kesepian.

“Jangan sampai karena sekadar iseng atau kesepian, lalu menggunakan media sosial. Itu bukan cara yang tepat, malah bisa berpotensi memicu depresi,” kata Ayoe.

Citra diri semu

Tak bisa ditampik, membagikan pengalaman atau citra diri melalui media sosial memang mengasyikan. Namun, Ayoe mengingatkan, ada citra diri yang tak utuh dan jujur dari foto-foto atau tulisan yang diunggah.

“Sebetulnya apa yang ditampilkan di dalam media sosial kerap kali tidak menunjukkan gambaran diri yang sebetul-betulnya. Itu belum tentu sama dengan yang dialami oleh orang yang menampilkannya,” ujarnya.

Di sisi lain, pengamat media sosial Ismail Fahmi memandang, efek penggunaan media sosial berlebih mengalienasi penggunanya. Dia mengatakan, umumnya Facebook dan Twitter dipakai sebagai saluran bagi publik untuk mengakses berita dan menghubungkan dengan sesama kelompok.

Kemajuan teknologi membentuk relasi pertemanan versi baru melalui medium digital. (Pixabay.com)

Namun, kata dia, penggunaan media sosial berlebih membuat masyarakat akan mengalami “kehausan emosi.”

“Kebutuhan untuk menyalurkan emosi makin tak terpenuhi. Kebutuhan menjalin relasi dan perjumpaan riil dalam keseharian menjadi berkurang,” kata dia.

Media sosial semakin menjauhkan seseorang dari kehidupan riil.

Maka dari itu, dia pun mewanti-wanti pengaruh media sosial yang dapat mengganggu perkembangan keharmonisan dalam keluarga. Perjumpaan anggota di dalam keluarga, seperti anak dengan orang tua, telah digerus oleh keaktifan anak menggunakan media sosial.

“Orang tua sekarang ini kalau mau tahu perkembangan anaknya harus dengan mem-follow IG (Instagram) anaknya, Twitter-nya, dan semua update yang dilakukan anaknya. Meskipun bertemu langsung di rumah, orang tua juga malah lebih mengenal anaknya dari teman-temannya,” ujar Fahmi.

Dia pun menekankan, keterbatasan manfaat yang ditawarkan media sosial. Kata Fahmi, yang disentuh oleh media sosial hanya sisi kognitif dan pendapat kita terhadap hal tertentu.

“Itu pun malah membuat kita teralienasi,” kata Fahmi.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid