close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi biaya pendidikan tinggi./Foto Mohamed_hassan/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi biaya pendidikan tinggi./Foto Mohamed_hassan/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 19 Mei 2024 06:01

Tercekik biaya UKT di tengah cita-cita menjadi sarjana

Uang kuliah tunggal (UKT) yang tinggi di perguruan tinggi negeri (PTN) menuai protes.
swipe

Sebentar lagi, Dendri Firmansyah bakal mewujudkan mimpi orang tuanya yang ingin punya anak sarjana. Mahasiswa tingkat akhir di Jurusan Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud), Bali itu merantau dari Tasikmalaya, Jawa Barat sejak 2020 untuk menempuh studi.

“Orang tua saya bekerja sebagai buruh pabrik,” ujar Dendri kepada Alinea.id, Jumat (17/5).

Demi membantu orang tuanya dalam urusan biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari, Dendri melakukan pekerjaan sampingan menjadi copywriter dan menulis artikel. Ia pun mesti meluangkan waktu karena menjaga toko pakan, milik keluarga kawannya.

“Syukur masih bisa membantu pemasukan,” kata dia.

Menurut Dendri, walau berkuliah di kampus negeri, tetapi biayanya cukup mahal untuk kalangan menengah ke bawah. “Jujur, saya pribadi merasa prihatin. Apa lagi ini kan kampus negeri, bukan swasta,” tutur Dendri.

Padahal, selain uang untuk biaya kuliah, Dendri harus mengeluarkan uang buat indekos Rp1,8 juta per bulan, belum termasuk biaya listrik. Beruntungnya, Dendri terbantu bantuan dari program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.

Ia juga mendapat bantuan dari kampusnya berupa keringanan uang kuliah tunggal (UKT). Bantuan itu, kata dia, diambil mahasiswa yang masuk kategori yatim-piatu dan kekurangan biaya finansial keluarga. Dendri sendiri masuk dalam UKT kelompok dua, dengan biaya Rp2,4 juta per semester.

Aturan soal biaya UKT

UKT tengah menjadi sorotan belakangan ini. Sebab, dinilai tak adil karena ada mahasiswa dengan ekonomi lemah, tetapi UKT-nya besar, juga sebaliknya.

UKT berbeda dari biaya kuliah tunggal (BKT). BKT adalah keseluruhan biaya operasional per tahun, yang terkait langsung dengan proses pembelajaran mahasiswa pada program studi di perguruan tinggi negeri (PTN). Sedangkan UKT merupakan komponen biaya kuliah yang dibayarkan mahasiswa setiap semester untuk digunakan dalam proses pembelajaran.

Kebijakan mengenai BKT dan UKT tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Aturan ini telah mengalami beberapa kali revisi.

UKT merupakan sistem pembayaran pendidikan, yang fungsinya memberi subsidi silang. Berdasarkan beleid Permendikbud Ristek 2/2024, besaran UKT ditetapkan pimpinan PTN setiap jalur penerimaan mahasiswa. Tarif UKT lebih besar dari besaran BKT bagi mahasiswa yang masuk dari semua jalur penerimaan.

Besaran UKT terbagi dalam beberapa kelompok. UKT juga menyasar mahasiswa yang kurang mampu. Dalam pasal 12 aturan itu disebut, PTN mengenakan tarif UKT bagi mahasiswa penerima beasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi. Pasal 6 ayat (2) beleid itu menyebut, mahasiswa penerima beasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi berjumlah paling sedikit 20% dari seluruh mahasiswa baru setiap tahun.

Tampaknya, dalam aturan tersebut, tak ada pembebasan biaya UKT, tetapi hanya penurunan tarif, perubahan kelompok UKT, pembayaran secara mengangsur, dan pembebasan sementara. Pengurangan pembayaran UKT diberikan paling banyak 50% dari besaran UKT. Lalu, dalam pasal 17 disebut, pimpinan PTN dapat meninjau kembali biaya UKT jika ada perubahan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai mahasiswa dan/atau ada ketidaksesuaian data dengan fakta terkait ekonomi mahasiswa.

Menilik Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor 538/UN14/HK/2024 tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) Mahasiswa Program Diploma dan Sarjana Universitas Udayana, besaran BKT per semester program studi ilmu politik yang diambil Dandri sebesar Rp7.557.000. Sedangkan UKT per semester untuk kelompok 1 sebesar Rp500.000, kelompok 2 Rp1.000.000, kelompok 3 Rp3.000.000, kelompok 4 Rp4.000.000, dan kelompok 5 Rp5.000.000.

Di Unud, biaya BKT paling tinggi ada pada program studi kedokteran dan kedokteran hewan sebesar Rp33.740.000. Sedangkan UKT paling tinggi ada pada UKT kelompok 5 program studi kedokteran sebesar Rp23.240.000.

Sementara itu, Ilham—nama samaran—yang berkuliah di Universitas Padjadjaran (Unpad) Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat mengemukakan, UKT yang harus dibayar per semester sebesar Rp7.000.000.

Di Unpad, Ilham mengambil program studi administrasi publik. Ia sudah berkuliah selama enam semester. Ilham merantau dari Kabupaten Kudus, Jawa Tengah demi mewujudkan impian orang tuanya agar ia meraih gelar sarjana.

“Keluarga besar ayah saya itu sebagian besar cuma sampai SMA aja (pendidikannya), terus langsung masuk (bekerja) di pabrik rokok lokal,” ujar Ilham, Sabtu (18/5).

Sebelum berhenti, ibu Ilham bekerja sebagai guru sekolah dasar. Saat ini, ibunya mengurus kakaknya yang sakit dan membuka warung makan di depan rumah mereka. Sedangkan ayahnya, bekerja di sebuah agen travel di Yogyakarta.

Selain keluar uang untuk biaya kuliah, Ilham juga harus indekos dengan biaya Rp750.000 per bulan. Harga sewa itu setelah dibagi dua dengan temannya yang tinggal satu atap di indekos yang sama. Untuk memenuhi segala kebutuhan hidup dan kuliah, Ilham terpaksa bekerja.

Ngandelin orang tua saya (untuk biaya) semua itu, tidak bisa,” kata dia.

Ilham bekerja sebagai pembuat konten untuk sebuah toko baju di Bandung. Jika ada waktu luang, ia mencari uang sebagai pengemudi ojek online.

Menyinggung soal UKT, Ilham mengaku sedih, tetapi tak bisa berbuat apa pun. “Ini sudah dapat (kuliah di) Unpad saja, saya sudah bersyukur,” tutur Ilham.

Biaya UKT itu bebannya dibagi, agar tak memberatkan orang tua. Ilham membayar Rp2 juta, orang tuanya Rp4 juta, dan tantenya Rp1 juta. “Beruntung sekali, masih ada keluarga yang bisa bantu,” ujar dia.

Perlu dievaluasi

Merujuk Keputusan Rektor Universitas Padjadjaran Nomor 521/UN6.RKT/Kep/HK/2023 tentang Penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT), Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (BPP), dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) Universitas Padjadjaran Tahun Akademik 2023/2024, program studi administrasi publik yang dipilih Ilham besaran biaya UKT kelompok 1 Rp500.000, kelompok 2 Rp1.000.000, kelompok 3 Rp2.000.000, kelompok 4 Rp3.000.000, kelompok 5 Rp4.000.000, kelompok 6 Rp5.000.000, kelompok 7 Rp7.000.000, dan kelompok 8 Rp9.000.000. Paling tinggi UKT program studi kedokteran kelompok 8 sebesar Rp24.000.000.

Sebagai mahasiswa dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah, Ilham pernah ingin mencoba mengajukan keringanan pembayaran UKT. Namun, niat itu ia urungkan karena belum bisa membagi waktu untuk proses administrasi.

Di tengah kesulitannya itu, Ilham pun tak sepakat dengan pernyataan Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Tjitjik Sri Tjahjandarie yang merespons protes tingginya biaya UKT.

Dikutip dari CNN, Tjitjik menyebut, biaya kuliah harus dipenuhi mahasiswa supaya penyelenggaraan pendidikan memenuhi standar mutu. Ia pun mengatakan, pendidikan tinggi sifatnya tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun.

“S1 saja menurut saya itu sudah kayak (setingkat) kita lulus SMA di zaman orang tua kita dulu. (Artinya) sudah bukan sesuatu yang spesial lagi,” kata Ilham.

“Semua orang sekarang sudah pada S1 bahkan S2. Terus kalau cuma sampai SMA doang, memangnya ada perusahaan yang mau terima kita (bekerja)?”

Terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, pernyataan Tjitjik melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. Pernyataan Tjitjik seakan-akan menyiratkan perguruan tinggi hanya untuk kalangan orang kaya saja.

“Perguruan tinggi di mata Ibu Tjitjik dianggap sebagai barang mewah dan tidak untuk semua kalangan,” kata Ubaid, Sabtu (18/5).

“Jika pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier, lalu negara lepas tangan soal pembiayaan, bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah, yang merupakan ‘kebutuhan primer'? Apakah pemerintah sudah membiayai?”

Ia menekankan, pemerintah harus segera mengambil langkah terkait masalah biaya UKT yang tinggi. Untuk mewujudkan bangsa yang cerdas dan berdaya saing global, katanya, pendidikan hingga SMA saja tak cukup.

“Negara harus hadir dan berpihak kepada semua dalam menjalankan amanah konstitusi dan bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi,” ujar Ubaid.

“Ini harus dilakukan pemerintah, supaya setiap warga negara mendapat kesempatan sama dan tidak berkompetisi saling mengalahkan dalam mengaksesnya.”

Ada beberapa langkah yang harus diambil menyikapi mahalnya biaya pendidikan tinggi. Pertama, ujar Ubaid, Kemendikbud Ristek harus mengembalikan posisi pendidikan tinggi sebagai public good, dan jangan meletakkan perguruan tinggi sebagai kebutuhan tersier. Karena hal itu menyalahi amanah UUD 1945.

Kedua, DPR, Kemendikbud Ristek, dan masyarakat sipil harus melakukan evaluasi total terhadap kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi negeri-badan hukum (PTN-BH), yang terang berperan besar dalam melambungkan tingginya biaya UKT.

“Karena pemerintah tidak lagi menanggung biaya pendidikan, lalu dialihkan beban tersebut ke mahasiswa melalui skema UKT,” ucap Ubaid.

Ketiga, kata Ubaid, Kemendikbud Ristek harus mencabut Permendikbud Ristek Nomor 2 Tahun 2024 karena dijadikan landasan kampus dalam menentukan tarif besaran UKT. Keempat, pimpinan kampus harus melindungi hak mahasiswa untuk bersuara dan bisa melanjutkan kuliah.

“Pimpinan kampus harus memperbaiki data KIP Kuliah supaya tepat sasaran dan menyusun kembali besaran UKT, disesuaikan dengan kemampuan bayar mahasiswa,” tutur dia.

“Para guru besar di kampus harus bersuara dan mengembalikan marwah kampus sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai lahan bisnis.”

img
Stephanus Aria
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan