sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

The Handmaid’s Tale: Mimpi buruk setiap perempuan

"The Handmaid's Tale adalah pengingat untuk melawan penggunaan agama sebagai alat gebuk dan legitimasi sebuah tirani.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Senin, 02 Jul 2018 14:36 WIB
The Handmaid’s Tale: Mimpi buruk setiap perempuan

Sebagai fiksi distopia, ketakutan akan masa depan yang dihadirkan "The Handmaid’s Tale" terasa familiar dengan masa kini. Dalam "The Handmaid’s Tale", Amerika telah bersalin wajah menjadi negara teokrasi Kristen Gilead. Tidak ada lagi Amerika yang demokratis dan bebas.

"The Handmaid’s Tale" meminjam sudut pandang Offred, tokoh utama dalam fiksi besutan Margaret Atwood ini. Offred dan handmaid lain adalah para perempuan subur yang mesti mengabdi pada tuan rumahnya dan hanya memiliki satu fungsi: beranak. Sementara itu, perempuan selain handmaid, memiliki rahim mandul karena bencana lingkungan. Penduduk Gilead tidak boleh mengatakan laki-laki mereka yang mandul, hanya perempuan yang mendapat label itu.

Offred bukanlah nama sebenarnya. Gilead merampas nama dan identitas para perempuan yang menjadi handmaid. Offred sendiri berarti “barang milik Fred”, kepunyaan dari tuan rumah atau commander, tempat para handmaid mengabdi. Sama seperti Ofwarren yang berarti barang milik Warren atau Ofglen yang berarti barang milik Glen.

Identitas adalah anasir penting yang mesti dimiliki, yang menjadikan manusia autentik dan berbeda satu sama lainnya. Identitas menjadi kunci untuk memahami dan merasakan dunia. Gilead yang merampas identitas para handmaid hanya membuat mereka tak ubahnya seperti barang kepemilikan, yang dilabeli sesuka hati oleh para commander.

Gilead memperlakukan perempuan berdasarkan interpretasi mereka akan alkitab yang amat puritan. Mereka dimaknai sebagai barang kepemilikan dan posisinya berada di bawah suami, ayah, ataupun kepala rumah tangga. Gilead tak mengizinkan perempuan-perempuan mereka untuk melakukan sesuatu yang akan memberikan mereka kekuatan.

Relasi patronase ini juga diejawantahkan dalam urusan di luar domestik, seperti memilih dalam pemilu, memiliki pekerjaan, membaca, memiliki uang, atau memiliki apapun. Perempuan dikerdilkan hanya sebagai pengurus ranah domestik.

Para pemain "The Handmaid's Tale"./ Hulu

Sponsored

Atwood menulis "The Handmaid’s Tale" layaknya pengakuan seorang saksi mata menggunakan sudut pandang Offred. Tokoh ini tak hanya bercerita tentang hari-harinya sebagai handmaid, tetapi juga masa lalunya, tentang anaknya dan suaminya yang terpisah darinya. Hiburan bagi Offred hanyalah bermain scrabble secara sembunyi-sembunyi bersama commander dan membaca majalah perempuan--laku yang dilarang Gilead. Selain itu, ia hanya bisa membaca tulisan yang diukir handmaid sebelum dirinya dalam bahasa latin, “Nolite te bastardes carborundorum” atau jangan biarkan si bedebah membuatmu jatuh. Ia merapalkan kalimat tersebut hingga jadi mantra.

Atwood mencipatakan kelas-kelas sosial dalam Republik Gilead. Ada kelas handmaid yang mengenakan kostum merah, terdiri atas perempuan-perempuan subur yang hanya tahu soal beranak. Kemudian kelas wife atau istri para commander yang mengenakan kostum berwarna biru dan pekerjaannya menjadi istri yang baik. Kelas martha atau pembantu rumah tangga yang mengenakan kostum hijau keabu-abuan, dan ada aunt, pelatih handmaid yang mengenakan kostum coklat.

Di Republik Gilead tempat Offred tinggal, aktivitas seksual dengan konsesual atau atas persetujuan bersama-sama hanyalah mimpi. Rezim Sons of Jacob membuat ritual yang dinamakan ceremony atau upacara, mirip seperti laku threesome, yang tak lain hanyalah dalih untuk memerkosa para handmaid.

Walaupun menggunakan agama Kristen sebagai Tirani, Atwood mengatakan jika "The Handmaid’s Tale" bukanlah sebuah fiksi yang antiagama. Ia mengatakan jika fiksinya lebih kepada pengingat untuk melawan penggunaan agama sebagai garda depan untuk tirani. “Seperti yang (George) Orwell ajarkan, ini bukanlah soal label—Kristen, sosialisme, Islam, demokrasi, dua kaki jahat, empat kaki baik—yang menentukan, tetapi tindakan yang dilakukan atas label itu yang membahayakan,” kata Atwood dalam tulisannya di laman The Guardian.

Gilead terasa begitu dekat dan familiar dengan kita. Contoh terbaik dari Gilead mungkin adalah Afghanistan. Saat Taliban berkuasa dan mengambil alih kekuasaan dari Presiden Mohammad Najibullah, mereka melarang perempuan bekerja. Perempuan kemudian dipersempit ruang geraknya untuk melakukan kegiatan di ruang publik.

Di Afghanistan, kekerasan-kekerasan dan penghukuman di ruang publik pun menjadi marak dan dipertontonkan untuk menciptakan teror itu sendiri, menjadi pengingat jika siapapun bisa bernasib demikian. Tentu teror di sini digunakan sebagai alat untuk mendapatkan kuasa. Tak hanya di Afghanistan dan di GIlead, kekerasan dan penghukuman yang dipertontonkan di publik pun terjadi di Indonesia. Di Aceh yang menerapkan hukum syariat Islam misalnya, hukuman cambuk dipertontonkan pada khalayak di ruang-ruang publik.

Novel ini terasa relevan dengan nasib perempuan di masa kini, di sejumlah negara seperti Iran, Amerika Serikat, Afghanistan./ Antarafoto

Sedangkan di Amerika, ketakutan akan distopia Atwood menjadi kenyataan hadir saat Trump naik menjadi presiden. Trump dengan kebijakan-kebijakannya yang kontroversial dan misoginis menghadirkan kekhawatiran bagi para pembaca dan penonton "The Handmaid’s Tale", jika skenario dalam buku ini bisa saja terjadi dalam kehidupan mereka.

Atwood menghadirkan cerita tentang berita-berita palsu yang membuat bingung, trauma politis, dan ketakwajaran yang dinormalkan sedemikian rupa, persis seperti masa saat ini. Dalam pengantarnya di edisi 2017, Atwood mengingatkan pembacanya jika suatu kekuasaan bisa menghilang hanya dalam semalam dan perubahan bisa terjadi secepat kilat.

The Handmaid’s Tale, sama seperti "1984" milik George Orwell dan "Brave New World" milik Aldous Huxley, yang menghadirkan banyak istilah-istilah baru untuk dunia distopia mereka. Pembaca akan membutuhkan waktu untuk memahami dunia yang dibangun Atwood. Di awal-awal buku, pembaca mungkin akan cukup kesulitan untuk terlibat dengan tokoh utama.

Atwood menutup novelnya dengan epilog dari 2195 setelah Gilead hancur. Nasib Offred sendiri cukup ambigu. Atwood menyilakan pembacanya untuk menebak-nebak nasib tokoh utama yang dibawa oleh van hitam.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid