sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tsundoku, beli buku dahulu dibaca entah kapan

Istilah tsundoku tercipta saat era Meiji di Jepang pada abad ke-19.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Selasa, 02 Apr 2019 12:36 WIB
Tsundoku, beli buku dahulu dibaca entah kapan

Bagi penggemar buku, siapa yang tak tergoda membeli buku jika jalan-jalan ke toko buku di pusat perbelanjaan. Semisal digelar pameran buku, yang menjual buku-buku dengan potongan harga tinggi, para penggemar buku semakin menggila memborongnya.

Michelle Maria, karyawati di sebuah penerbitan buku di Jakarta Barat, termasuk orang yang sering membeli buku. Ia mengaku hobi baca sejak masih duduk di bangku SD. Koleksi bukunya beragam, mulai dari buku impor hingga terbitan Indonesia.

Menurut Michelle, lebih penting koleksi buku, ketimbang segera membacanya. Ia berdalih, sudah sibuk dengan pekerjaan, sehingga hanya punya waktu sedikit untuk membaca.

“Beli buku dulu. Yang penting punya buku yang kita mau. Bacanya nanti kalau momen dan mood-nya pas,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (1/4).

Dalam sekali belanja buku, ia akan membeli 10 judul buku. Namun, ada tiga hingga empat judul buku yang disimpannya dahulu.

Meski begitu, belakangan Michelle berusaha meluangkan waktu untuk membaca dua hingga tiga judul buku per hari.

“Misalnya siang baca buku novel terbarunya Joko Pinurbo, Srimenanti (2019). Sorenya novel impor karangan Angie Thomas yang judulnya On The Come Up (2019),” ujar Michelle.

Penggemar buku lainnya, Aristogama seorang penerjemah dan guru di kursus bahasa asing, memiliki koleksi buku sekitar 300-an judul. Dalam sebulan, ia menghabiskan uang untuk membeli buku Rp1 juta hingga Rp1,5 juta.

Buku-buku itu kebanyakan ia beli di bursa buku murah dan pameran buku tahunan, semisal Big Bad Wolf. “Buku-buku yang aku beli di situ aku anggap sebagai investasi. Dibeli dulu, dibacanya nanti,” kata Aristogama saat dihubungi, Selasa (2/4).

Ia mengaku, tak sedikit buku koleksinya yang belum dibaca. Bahkan hingga 10 tahun sejak dibeli. Salah satunya, buku karangan Jared Diamond berjudul The Rise and Fall of the Third Chimpanzee: The Evolution and Future of the Human Animal (1991). Buku ini ia beli pada 2008.

Selain itu, ia juga lupa menyimpan novel karya Dan Brown, The Lost Symbol (2009) di tumpukan buku di rumahnya. Sampai suatu kali, ia membeli buku berjudul sama dengan edisi sampul berbeda.

Baik Michelle Maria maupun Aristogama sama-sama mengoleksi buku, dan membacanya bila ada waktu luang. Tak jarang, mereka hanya menimbun buku-buku koleksinya, tanpa membacanya. Istilah untuk menyebut orang-orang yang membeli buku dahulu, tetapi tak membacanya disebut tsundoku.

Apa itu tsundoku?

Pengunjung memadati pameran buku Big Bad Wolf di Tangerang Selatan. /facebook.com/bbwbooksindonesia

Menurut Ephrat Livni dalam tulisannya “There’s a word in Japanese for the literary affliction of buying books you don’t read” di Quartz edisi 8 Oktober 2016 menulis, tsundoku adalah penimbunan buku yang tak pernah dibaca.

Livni mengutip pendapat Sahoko Ichikawa, seorang dosen senior Bahasa Jepang di Cornell University bahwa istilah tsundoku berasal dari era Meiji di Jepang pada abad ke-19. Istilah ini berasal dari tsunde artinya “menumpuk sesuatu” dan oku artinya “pergi sebentar”.

Kemudian, kata oku berubah menjadi doku, yang artinya “membaca.” Namun, karena tsunde doku sangat canggung di lidah, akhirnya frasa ini berubah menjadi tsundoku.

Menurut deputi editor bisnis dan budaya di The Huffington Post, Katherine Brooks, dalam tulisannya “There’s a Japanese word for people who buy more books than they can actually read” di Huffpost.com edisi 23 April 2017, tsundoku tidak memiliki sinonim langsung dalam Bahasa Inggris.

Ia menulis, kamus Oxford mendefinisikan kata ini sebagai tindakan meninggalkan buku yang belum dibaca setelah membelinya, biasanya menumpuknya bersama-sama dengan buku-buku yang belum dibaca lainnya.

Lebih lanjut, Katherine mengatakan, istilah bibliomania—pecinta buku yang mengumpulkan buku sebagai benda seni—muncul di Inggris sekitar waktu yang sama dengan terciptanya istilah tsundoku.

Pegiat literasi dan pustakawan Aldo Zirsov mengatakan, perilaku tsundoku umumnya dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, kata dia, perlakuan dan motif setiap orang terhadap buku berbeda-beda. Hal ini terkait dengan jenis buku yang beragam.

Menimbun banyak buku tanpa membacanya merupakan perilaku tsundoku.

Tsundoku itu bisa saja lebih cenderung terjadi untuk jenis buku fiksi. Buku fiksi harus dibaca dari awal sampai akhir. Beda dengan buku nonfiksi, bisa cukup membaca beberapa bab tertentu saja, sesuai dengan yang ingin kita ketahui,” tutur Aldo ketika dihubungi, Senin (4/1).

Kedua, sebut Aldo, adanya bursa buku murah yang ikut mendorong orang untuk membeli buku. Namun, kata dia, hal itu masih belum sebanding dengan tingkat minat membaca masyarakat.

“Masyarakat cenderung mudah tertelan jargon-jargon, seperti ‘lebih baik membeli sekarang, daripada menyesal’,” ujar Aldo.

Beban psikologis

Sementara itu, pengajar psikologi di Fakultas Ilmu Administrasi Publik Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Afthonul Afif mengatakan, kepemilikan buku masih kurang disikapi dengan kemauan membaca. Tak jarang, mengoleksi buku dianggap sebagai kebanggaan dalam pergaulan sosial.

“Bila melihat orang-orang di sekitarnya membeli buku-buku, seseorang bisa menjadi ikut-ikutan. Sehingga kepemilikan buku menjadi sebuah gengsi dalam pergaulan,” kata peneliti di Local Government Innovation Centre Universitas Krisnadwipayana, Jakarta ini, saat dihubungi, Senin (1/4).

Lantas, buku dianggap sebagai ukuran tingkat intelektual seseorang. Sayangnya, kata dia, pemahaman itu menjadi keliru, lantaran tak disadari minat membaca yang memadai.

Lebih dari itu, menurut Afthonul, setiap tumpukan buku yang tak terbaca akan menimbulkan bebas psikologis bagi pemiliknya, yakni perasaan bersalah.

Dahulu, Afthonul mengaku bisa membeli ratusan buku setiap bulan. Lalu, bercermin dari pengalamannya itu, belakangan ia membatasi jumlah judul buku yang akan dibelinya setiap bulan.

“Saya dulu, 3 sampai 4 tahun lalu, bisa beli ratusan buku setiap bulan. Itu berlangsung bertahun-tahun. Kini semakin sedikit waktu saya untuk membaca buku. Jadi merasa bersalah. Sekarang sebulan paling hanya 10 buku yang saya beli,” tutur Afthonul.

Pengunjung memilih buku di salah satu stan di arena Jogja Islamic Fair di Kompleks GOR Universitas Negeri Yogyakarta, DI Yogyakarta, Minggu (17/3). /Antara Foto.

Menurut dia, kebiasaan mengoleksi buku, tetapi tak membacanya mirip dengan hobi koleksi barang lainnya. “Kalau ketersediaan waktu membaca sebanding dengan jumlah buku yang dibeli, maka buku itu akan semakin bernilai guna. Rasa bersalah akan berkurang,” ujarnya.

Selain itu, kata Afthonul, memberi sebagian koleksi buku kepada orang lain yang lebih membutuhkan juga dapat mengurangi beban psikologis. Cara itu pun bertujuan agar nilai buku tidak hilang.

Dihubungi terpisah, pegiat literasi Nirwan Ahmad Arsuka menilai, tsundoku tak terkesan negatif selama pelakunya mau membagikan koleksi buku kepada orang lain. “Ada orang lain yang bersedia membaca buku-buku itu,” kata Nirwan saat dihubungi, Senin (1/4).

Nirwan pun mendirikan Pustaka Bergerak, sebuah gerakan mengumpulkan buku untuk orang-orang di daerah yang punya minat kepada literasi. Sebulan sekali komunitas ini mendorong pengiriman buku secara gratis se-Indonesia.

Cara lain untuk mencegah penimbunan buku adalah membuat prioritas. Atfhonul Afif mengatakan, selain menentukan buku yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhan, perlu diperhitungkan juga kapasitas waktu yang dimiliki untuk membaca.

“Membeli buku ini-itu bagus, tapi merawat minat membaca buku itu lebih penting,” ujarnya.

Sementara menurut Nirwan, antara berbelanja buku dan membaca buku punya dua sisi yang saling bertentangan. Nirwan menuturkan, bila belanja buku serasa dekat dengan rekreasi, maka membaca buku bisa sama dengan kerja keras.

“Membaca membutuhkan energi dan konsentrasi,” kata dia.

Berita Lainnya
×
tekid