sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Yang hilang dalam buku biografi Pierre Tendean, Sang Patriot

Buku Sang Patriot; Kisah Seorang Pahlawan Revolusi ditulis enam penulis.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Selasa, 26 Feb 2019 14:18 WIB
Yang hilang dalam buku biografi Pierre Tendean, Sang Patriot

Absen dari pembahasan

Buku ini memang didukung banyak sumber primer alias sezaman, tetapi data dari arsip dan transkrip wawancara sepertinya hanya digunting-tempel, tanpa ada analisis mendalam.

Semasa SMA, Pierre pernah masuk sebuah klub bola voli. Ketika itu, ia kerap diejek dengan sebutan londo (Belanda) atau Indo oleh suporter tim lawan. Pierre memang berdarah Minahasa-Prancis.

Aksi patriot Pierre dalam peristiwa kelam 1965 bukan hanya disebabkan karena proses belajar di akademi militer. Namun juga pengaruh kuat, sisi batin sebagai seorang pemuda Indo. Mengenai hal ini, bisa diselisik lebih jauh bila kita membuka buku Yang ter(di)lupakan; Kaum Indo dan Benih Nasionalisme (2011) karya Pradipto Niwandhono.

Di dalam bukunya, Pradipto menulis, posisi kaum Indo dalam penulisan sejarah Indonesia dan fakta menarik benih-benih nasionalisme yang muncul, justru berawal dari kecemburuan sosial. Kaum Indo tak diterima dalam golongan Eropa, dan menjadi gunjingan karena darahnya “tercemar”. Mereka pun disebut manusia setengah Eropa.

Pierre Tendean meninggal dunia di usia masih 26 tahun. (Repro buku 30 Tahun Indonesia Merdeka/Wikipedia).

Sebagai kaum Indo, tentu saja Pierre mengalami fase yang sama dengan para pemuda Indo lainnya—yang akhirnya malah mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, menonjolkan sikap nasionalisme juga merupakan perjuangan pengakuan identitas.

Peran seorang ayah, Aurelius Lammert Tendean, seakan-akan dinihilkan dari buku biografi Pierre Tendean ini. Padahal, Aurelius merupakan teladan utama Pierre. Aurelius adalah dokter spesialis jiwa berdarah Minahasa. Ia terkenal humanis.

Sponsored

Pada 1955, dokter Aurelius menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit Jiwa Tawang (kini RSJ dr. Amino Gundohutomo, Semarang). Surat kabar De Locomotief Samarangsch handels en advertentie blad edisi 26 Januari 1955 melaporkan, Aurelius menggratiskan pelayanan kesehatan. Sebab, saat itu situasi paceklik ekonomi-politik sedang dialami negara yang baru 10 tahun berdiri.

Akibatnya, jumlah pasien meningkat. Padahal, kapasitas rumah sakit hanya 200 pasien, sedangkan dokternya hanya Aurelius, dibantu 11 perawat.

Kemudian, keputusan Aurelius yang menekan biaya perawatan di rumah sakitnya pada awal September 1955. Sebelum keputusan itu, surat kabar Java-bode nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie edisi 31 Agustus 1955 menulis, RSJ Tawang mengalami lonjakan pasien dan biaya yang membengkak.

Mulai 1 September 1955, Aurelius mengumumkan biaya perawatan sebesar Rp7,50, dan seiring sejalan naik menjadi Rp10,50 per hari. Meski tak diulas di dalam buku, sebagai seorang anak, Pierre pasti mewarisi sifat mengabdi seperti sang ayah.

Berita Lainnya
×
tekid