sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kisah sedih berhaji di masa lalu

Pada masa kolonial, jemaah haji bukan hanya mengarungi lamanya perjalanan di laut, tetapi juga mendapatkan tekanan dari pemerintah kolonial.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Jumat, 12 Jul 2019 19:58 WIB
Kisah sedih berhaji di masa lalu

Saat Inggris mengambilalih kekuasaan Belanda di Hindia, Letnan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mendeteksi potensi pemberontakan, yang ia simpulkan akarnya pada kegiatan menunaikan ibadah haji.

Jajat Burhanuddin di dalam bukunya Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim dalam Sejarah Indonesia (2012) menulis, pemerintah kolonial berupaya membatasi kegiatan pergi haji karena imajinasi intoleransi.

Pada 1825, pemerintah kolonial mengeluarkan resolusi, yang menetapkan ada tarif paspor haji sebesar f110 untuk jemaah asal Jawa dan Madura.

Namun, resolusi itu tak ditaati para calon jemaah haji. Menurut M. Dien Majid dalam buku Berhaji di Masa Kolonial (2008), calon jemaah haji menyiasatinya dengan menggunakan embarkasi Singapura atau Malaka.

“Atas dasar resolusi tahun 1825 dilihat masih banyak kekurangannya, maka pemerintah Belanda melakukan penyempurnaan dalam hal-hal yang dianggap lemah. Peraturan perubahan itu dibuat pada 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1952, 1872, dan 1922,” tulis Dien.

Jajat Burhanuddin menulis, seusai direvisi, pada 1830 dikeluarkan peraturan haji tanpa paspor. Namun, justru calon jemaah harus membayar dua kali lipat, sebesar f220.

Lalu, peraturan yang dikeluarkan pada 1859 pun mempersulit calon jemaah haji, dengan mewajibkan kelengkapan surat keterangan kemampuan keuangan dalam menempuh perjalanan dan meninggalkan keluarganya melalui pejabat lokal setempat.

Terbit berbagai aturan mengenai haji pada masa kolonial.

Sponsored
Berita Lainnya
×
tekid