sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Bandung Mawardi

Bahasa dan pekerjaan

Bandung Mawardi Jumat, 17 Jan 2020 22:26 WIB

Pada masa dewasa, Achmad mengerti bahasa Belanda penting dalam pekerjaan dan nasib keluarga. Pekerjaan di lingkungan birokrasi kolonial mementingkan penguasaan bahasa Belanda, selain menguasai bahasa Melayu, Jawa, Sunda, dan Arab. Pada masa lalu, bahasa memang berkaitan pekerjaan. Achmad tak mutlak memiliki niat tunggal: belajar bahasa Belanda untuk bekerja. Ia belajar beragam hal dengan bahasa Belanda. Ia pun tak melupakan kebermaknaan membentuk identitas melalui bahasa Sunda, Jawa, Melayu, dan Arab. Persaingan dan sengketa bahasa sudah terjadi dengan struktur kolonial dan kesenjangan mutu pendidikan di tanah jajahan.

Kita membandingkan dengan tokoh berbeda mengenai pelajaran beragam bahasa. Pada masa 1920-an, Zoetmulder belum berpikiran bakal menekuni studi Jawa Kuno. Ia menuruti segala nasihat dan petunjuk. Ia turuti anjuran Pater Willekens untuk mempelajari bahasa Jawa Kuno. Zoetmulder pun diminta belajar bahasa Sanskerta dan Arab. P Swantoro (2006) mengandaikan beban berat dimiliki Zoetmulder. Ia harus belajar sekian bahasa dan menempuh studi imamat di Kolese Ignatius (Jogajakarta). Studi filsafat dan teologi dimeriahkan dengan "keharusan" menguasai sekian bahasa.

Pada masa berbeda, sekian bahasa itu bemakna dalam lakon hidup Zoetmulder. Bahasa bukan untuk pekerjaan. Sekian bahasa berfaedah dalam studi dan dakwah. Ia berhasil menguasai sekian bahasa, menghasilkan buku-buku penting: Pantheisme en Monisme in de Javaansche Soeloek Literatuur, Kalangwan, Old Javanesse-English Dictionary, dan lain-lain. Kita menduga episode belajar sekian bahasa memiliki pendasaran religius dan pengetahuan, tak melulu atau tiba-tiba berpusat ke pekerjaan. Diri dan bahasa dalam biografi Achmad dan Zoetmulder memiliki perbedaan tapi mengingatkan kita masalah bahasa dan lakon sejarah Indonesia, dari masa ke masa. Dua tokoh itu tak wajib dijadikan panutan untuk kebijakan mutakhir bahwa pelajaran dan penguasaan bahasa asing penting dalam mencari pekerjaan. Pemahaman itu mungki saja tak cuma berlaku di Indonesia.

Kita membaca buku berjudul Matinya Pendidikan (2019) garapan Neil Postman. Buku terbit dalam edisi bahasa Inggris pada 1995 itu menebar kritik atas model pendidikan di Amerika Serikat. Neil Postman menganjurkan agar berlangsung pengajaran beragam bahasa asing, tak mutlak segala ilmu diajarkan dengan bahasa Inggris. Keragaman perlu untuk mengajak murid-murid mengerti sekolah menjadi ruang belajar sejarah, kemanusiaan, perbedaan, dan religiositas. Bahasa Inggris jangan mendominasi.

Sponsored

Bahasa itu memang paling moncer di dunia dan tampak "dikultuskan". Pilihan belajar bahasa-bahasa asing dianjurkan jika ingin sekolah memiliki peran dalam pembentukan biografi para murid pintar, bijak, egaliter, humanis, dan beriman. Neil Postman tak membuat bab khusus bahwa belajar bahasa Inggris dan bahasa-bahasa asing memusat di pencarian pekerjaan.

Di Indonesia, bahasa Inggris terlalu dipuja. Bahasa Inggris "sudah tak lagi" bahasa asing. Bahasa penting di sekolah dan pekerjaan. Lakon bahasa Inggris turut ditentukan oleh pemerintah dan kaum pemilik modal. Kaum intelektual dan artis pun memberi pengaruh. Kita mendingan mengutip penjelasan Neil Postman untuk menghindari anggapan bahasa dan pekerjaan: "Bahasa Inggris adalah bahasa yang multikultural di atas bumi ini, dan siapa pun yang berbicara dengan bahasa Inggris maka dia telah berhutang budi pada seluruh orang di dunia ini." Kutipan mustahil dipaksa digunakan dalam pembenaran bahwa belajar bahasa-bahasa asing membuat orang mendapat pekerjaan. Begitu.

Berita Lainnya
×
tekid