sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Denny JA

Joe Biden di ambang kemenangan, tetapi Trump-ism tetap berjaya

Denny JA Sabtu, 07 Nov 2020 11:20 WIB

Siapa duga? Tiga tonggak rekor sejarah dicatat dalam Pilpres Amerika Serikat kali ini.

Rekor pertama, walau di era pandemi, tetapi voter turnout, partisipasi publik mencoblos, tahun ini paling tinggi dalam sejarah Pilpres Amerika modern. Dalam bahasa lain, prosentase golput paling kecil sejak 120 tahun pilpres terakhir.

Tak pernah terjadi sebelumnya di Amerika Serikat, prosentase voter turnout sekitar 67%. Akan datang banyak analisa. Mengapa justru di era pandemik, ketika penularan coronavirus sangat riskan, partisipasi publik untuk memilih justru paling besar? 

Sementara ini dua penjelasannya. Kultur politik Amerika Serikat semakin terbiasa dengan mailing ballot. Mencoblos lewat surat yang dikirim dari rumah lebih memudahkan. Mencoblos tanpa perlu datang secara fisik, dan tak perlu antri di TPS.

Alasan kedua, kuatnya pesona Donald Trump. Baik pendukung dan musuh politiknya semakin berlomba. Semakin militan untuk mempertahankan atau menumbangkan Trump.

Rekor kedua, akibatnyanya, baik Biden atau Trump akan tercatat sebagai presiden dan kompetitor dengan dukungan terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat. Sebelum perhitungan suara berakhir, dalam popular vote, Biden diperkirakan mengumpulkan dukungan sekitar 80 juta pemilih. Donald Trump sekitar 73-75 juta pemilih.

Baik dukungan untuk Biden ataupun Trump lebih banyak dibandingkan Barack Obama ketika Ia terpilih di 2008. Bahkan dukungan Trump saat ini, walau ia dikalahkan, lebih banyak dibandingkan dukungannya ketika ia menang dalam Pilpres 2016. 

Rekor ketiga, jika benar Biden terpilih, maka untuk pertama kalinya sejak Amerika Serikat merdeka (1776, 246 tahun lalu), negara ini memiliki wakil presiden seorang wanita.

Sponsored

Walau kultur liberal sangat dalam di Amerika Serikat, tetapi politisi wanita tak pernah berhasil menjadi wakil presiden, apalagi presiden.

Bahkan presiden Amerika Serikat yang bukan kulit putih, lelaki dan protestan, hanya dua pemimpin yang mampu terpilih. Sepanjang sejarahnya, Amerika hanya pernah sekali memiliki presiden yang bukan protestan (Kennedy, Katolik), dan bukan kulit putih (Obama).

Inilah pemilu pilpres yang paling banyak membuat rekor sejarah yang penting. Ia justru terjadi di era mengganasnya Coronavirus.

Mengapa Donald Trump kalah, setidaknya dalam popular vote? Ia menjadi presiden kelima belas dalam sejarah Amerika Serikat (bukan keempat, seperti klaim Joe Biden), yang dikalahkan ketika menjabat presiden?

Banyak faktor sebagai penyebab. Salah satunya, Trump korban politik paling besar, politisi paling berpengaruh yang menjadi korban, akibat pandemik coronavirus. 

Sebelum datangnya coronavirus, ekonomi AS bangkit. Tetapi setelah datang era coronavirus, data berikut ini yang menimbulkan angry voters.

Pengganguran di Amerika Serikat di era pandemik pernah mencapai angka 14%. Ini tingkat pengangguran tertinggi dalam sejarah negara itu sejak era Great Depression pada 1930.

Sebanyak 20 juta orang di negara itu kehilangan pekerjaan. Sementara yang meninggal karena coronavirus di negara itu tertinggi di dunia. Sekitar 240.000 nyawa melayang. Dari total nyawa melayang di seluruh dunia karena coronavirus, 20% di antaranya terjadi di Amerika Serikat.

Di samping itu. Bagi kalangan pecinta demokrasi, keberagaman, dan politik yang beradab, Trump pun dianggap personifikasi dari sentimen buruk. Kebijakannya atas imigran, bahasa politiknya kepada kaum minoritas, dan prilaku suka membohong, menimbulkan kemarahan kelas menengah.

Trump dianggap politisi paling berpengaruh dalam sejarah amerika modern yang menghidupkan kultur Iliberal. Dignity, martabat dan elegancy kultur politik Amerika Serikat merosot akibat Trump berkuasa.

Tiga variabel ini bergabung menciptakan the angry voters. Yaitu, memburuknya ekonomi, buruknya penanganan pandemik, dan tumbuhnya sentimen jatuhkan Trump.

Mengapa Joe Biden menang, setidaknya dalam popular vote? Biden menang bukan karena pesona pribadi. Bukan karena programnya yang brilian. Biden menang karena meluasnya sentimen anti-Trump. Biden menang karena militansi semangat ganti presiden.

Berita Lainnya
×
tekid