sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
M Budi Djatmiko

Kampus Merdeka ala Nadiem

M Budi Djatmiko Selasa, 28 Jan 2020 17:53 WIB

Pembukaan program studi baru (1)

Merdeka Belajar 1: Alhamdulillah, Kemendikbud telah merespons dengan baik keinginan APTISI untuk mempermudah perizinan untuk pembukaan prodi pada PTS secara otonomi, dengan tidak menggunakan birokrasi yang berbelit-belit dan panjang. Dan menurut Kemendikbud, dasar kemudahan pendirian program studi (prodi) bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan akreditasi  A dan B.

Untuk mengikuti arus perubahan dan kebutuhan akan link and match dengan industri, perguruan tinggi harus adaptif. Membuka program studi sesuai dengan perkembangan kemajuan yang terjadi dan kebutuhan lapangan pekerjaan adalah salah satu caranya. Pemerintah mendorong kemudahan tersebut, dan sampai di sini sudah sangat baik. Dasar pijakannya adalah, Permendikbud No.7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.

Patut disayangkan, niat baik sulit dicapai oleh perguran tinggi papan tengah, apalagi papan bawah, jika pemerintah dalam hal ini Kemendikbud tidak bersinergi dengan kementerian terkait, misal Menteri BUMN, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, karena sudah ada program Deductible Tax saja, bagi perusahaan yang menerima magang, belum banyak industri yang melaksanakan. Tentu dalam hal ini Presiden harus ikut turun tangan, sehingga ada keputusan bersama antar menteri.

Perlu juga ditanyakan sejauh mana kesiapan industri untuk bisa melakukan kolaborasi link and match dengan perguruan tinggi, tanpa adanya paksaan melalui kebijakan pemerintah, mereka tidak akan pernah melibatkan perguruan tinggi.

Satu hal yang perlu diperhatikan juga kondisi wilayah geografis serta kondisi riil PTS kita yang sangat lemah sarana dan prasarana, juga lemah sumber daya manusianya. Terutama PTS yang ada di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), dan Indonesia Timur, mereka tidak sama dengan PTS besar dan PTN di Jawa.

Sebagian besar mahasiswa PTS adalah masyarakat yang tidak berlebih, kalau tidak mau disebut kurang mampu. Karena magang membutuhkan biaya juga, setidaknya tranportasi dan akomodasi. Dan alhamdulillah, kemendikbud telah membuat alternatif magang juga dapat dilakukan pada perusahaan kecil menengah, atau berwirausaha atau membantu pengembangan proyek sosial di desa atau kampung halamannya, proyek kemanusiaan, melakukan independen studi, artinya permutasinya hampir unlimited.

Yang penting jangan pernah menganggap magang itu harus pada perusahaan besar, tetapi magang pada perusahaan kecil malah bisa jadi mahasiswa cepat penjadi pengusaha, dan pengusahanya merasa terbantu, karena dia belajar lebih mudah praktis dan tidak kompleks seperti perusahaan besar. Kalau magang diperusahaan besar paling selesai magang akan direkrut jadi karyawan saja.

Sponsored

Bentuk kolaborasi

Bagaimana bentuk kolaborasi program studi dengan mitra prodi? Kemudahan diberikan kepada Institusi dengan akreditasi A dan B karena sudah membuktikan kualitas dan reputasinya dalam mengelola institusi. Namun, pembukaan prodi tersebut harus disertai syarat kerja sama dengan mitra prodi.

Di luar itu, pemerintah mempermudah persyaratan pembukaan prodi. Kebijakan ini sudah sangat baik, namun nanti bisa jadi dalam pelaksanaanya sulit diterapkan, karena persyaratan kerja sama ini ukuran dan standarnya harus jelas, dan juga buat kebijakan pada industri dan organisasi yang bekerja sama dengan PT memang juga mendapatkan keuntungan dari pemerintah, jangan buat mekanisme pasar yang liar, dan nanti pemerintah lepas tangan.

Bagaimana bentuk kolaborasi program studi dengan mitra prodi? Menurut kemendikbud, untuk membuka program studi baru, pihak kampus perlu mencari mitra yang dapat berkolaborasi dalam pembuatan  kurikulum, menyediakan praktik kerja (magang) dan penyerapan lapangan kerja dalam bentuk penempatan kerja  setelah lulus (untuk sebagian lulusan dari prodi tersebut).

Nah, kolaborasi semacam ini yang pasti tidak disukai oleh industri, karena ada kewajiban menyerap tenaga kerja dari lulusan PT tersebut. Ya kalau sekedar membantu pembuatan kurikulum dan memberikan masukan is ok, atau memberikan kesempatan magang mungkin industri tidak masalah.

Tidak semua industri mau dan mampu menyerap tenaga kerja lulusan dari prodi baru yang bekerja sama dengannya, jika pun bisa hanya sebagian kecil dari lulusan, terus berapa ukurannya yang bisa diserap, ini masalah yang bukan sederhana. Dan lulusan perguruan tinggi ini tidak semua harus diarahkan ke dalam satu industri yang kerjasama sajakan? Lulusannya bisa diserap industri lain dan bisa menjadi wirausaha, konsultan dan lain-lain.

Mitra prodi dapat berasal dari dunia usaha dan industri,  BUMN dan BUMD, sektor nirlaba (non-profit), organisasi  multilateral, dan mitra lain yang relevan dan bereputasi. Ada masalah kata “Bereputasi”, ini kelak yang akan juga mengganjal perizinan. Karena perusahaan yang bereputasi belum tentu menguntungkan mahasiswa atau perguruan tingginya, tetapi perusahaan kecil menengah mungkin lebih baik dan juga menguntungkan dalam hal ini. Karena program 3+1 (tiga tahun di kampus dan 1 tahun di industri) sudah dilakukan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia dan juga PTS yang kami bina. Dan kenyataanya, tidak semua industri mau menerima mahasiswa magang.

Dunia Industri dan dunia usaha; Organisasi nirlaba; BUMN/BUMD; Dapat dipastikan perusahaan mitra tidak mungkin menerima begitu saja, karena mahasiswa Indonesia 8,184 juta, kalau diperkirakan dua juta per tahun yang mau magang terus ditempatkan dimana? Mestinya semua menteri terkait misalnya menteri BUMN, menteri perindustrian, membuat MoU untuk melaksanakan program ini, dan semua perusahaan yang menerima magang mahasiswa mendapatkan insentif pajak misalnya, atau sebaiknya diwajibkan menerima mahasiswa magang (syarat saat membuka perizinan).

Apakah Kemendikbud pernah berfikir berapa banyak perusahaan tersebut di atas yang memiliki kapasitas terpasang untuk menerima mahasiswa magangnya, apakah mereka juga bersedia kedatangan mahasiswa magang, dapat dipastikan tidak semua perusahaan menerima mahasiswa magang, kecuali di negara yang tingkat pertumbuhan penduduknya rendah seperti Jepang, kekurangan tenaga kerja. 

Alih-alih ingin membantu menyelesaikan masalah bagi PTS yang mau membuka prodi baru, malah akhirnya dengan persyaratan MoU, tidak bisa dilaksanakan, karena perusahaan atau industrinya tidak ada yang mau membuat perjanjian kesepakatan kerja sama (MoU). Asli yang paling menjadi masalah adalah pertumbuhan ekonomi kita yang hanya 5%; dari 2014 penerimaan mahasiswa di PTS terus menurun selama 5 tahun lebih, karena daya beli masyarakat yang rendah. Kuliah menjadi kebutuhan sekunder bagi semua kalangan, karena kebutuhan akan sandang dan pangan yang tinggi dan tidak mampu terbeli, jadi banyak yang menunda untuk kuliah.

Pelajaran yang berarti dengan magang dan kerja praktek di rumah sakit milik pemda untuk mahasiswa bidang kesehatan dengan pembayaran yang sangat tinggi dan ada banyak pemda juga melegalkan dengan pungutan 5-10 juta/mahasiswa sampai selesai, harga ini sangat variatif.

Ketentuan lain tentang pembukaan prodi

Kemendikbud memberikan batasan kebebasan untuk membuka  program studi baru berlaku untuk semua bidang ilmu atau disiplin, kecuali bagi rumpun ilmu kesehatan dan pendidikan, karena dianggap sudah jenuh. Tetapi sebenarnya masih banyak prodi dibidang kesehatan yang sangat dibutuhkan dan banyak program studi belum ada di Indonesia, saya selaku Ketua Umum Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia (HPTKes Indonesia) tentu keberatan dengan moratorium ini dan sejujurnya banyak program studi kependidikan teknik juga sangat langka.

Jika program studi kedokteran dibuka lebih banyak lagi maka biaya semakin murah, dan bisa jadi Indonesia menjadi negara yang paling baik kesehatannya, karena banyak tenaga dokternya. Patut diduga ada kelompok tertentu yang enggan program studi kesehatan khususnya kedokteran tidak dibuka diberbagai tempat, agar ini menjadi monopoli perguruan tinggi tertentu saja, sehingga berbiaya tinggi.

Tetapi dimasa lalu, kalau perguruan tinggi tersebut di backup oleh orang kuat langsung keluar program studi Kedokteran baru, walaupun moratorium. Ini negara dengan aturan mengelikan, moratorium berlaku bagi PTS yang tidak punya taring, dan semua PTS tahu Dikti bermasalah dengan komitmen, dalam hal ini.

Good News dari Kemendikbud, politeknik dapat membuka program studi baru dan pembukaan program studi tersebut mengikuti syarat yang sama berupa kerja sama dengan mitra prodi, juga pembukaan S2 dan S3. Dan perubahan peraturan ini berlaku untuk perguruan tinggi lain di luar wewenang Kemendikbud.

Inisiatif perubahan kebijakan ini berlaku untuk semua  institusi perguruan tinggi. Namun implementasi utamanya dimulai untuk perguruan tinggi di bawah naungan Kemendikbud dan mungkin akan ada penyesuaian bagi perguruan tinggi di luar naungan Kemendikbud sembari  berjalan.

Rencana pemerintah untuk mengawasi program studi baru, Kementerian akan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan mitra program studi untuk melakukan pengawasan program studi baru tersebut, tetapi ketentuannya tidak jelas dan tidak akan efektif kalau tujuannya pengawan.

Kalau tujuannya pendampingan maka akan efektif, karena dengan pendampingan akan ada usaha dari pemerintah untuk mengeluarkan anggaran, sesuai nomenklatur pemerintah. Pendampingannya dilakkan oleh L2Dikti (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi) dengan dana yang sudah disiapkan oleh Kemendikbud, sehingga L2Dikti fokus pada penjaminan kualitas dalam pemberian layanan. 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid