sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
M Rahmat Yananda

Kepemimpinan dan adaptasi kenormalan baru

M Rahmat Yananda Jumat, 05 Jun 2020 13:46 WIB

Kepemimpinan daerah

Publicity stunt ala Presiden Jokowi mengabaikan substansi pengelolaan pandemi kontras dengan aksi nyata para kepala daerah. Dengan segala keterbatasan, mereka berusaha fokus kepada substansi di wilayahnya dengan mengacu langkah-langkah yang ditetapkan WHO. Para kepala daerah memutuskan melakukan PSBB.

PSBB dilakukan sesuai konteks daerah, mengelola dampak sosial, dan bahkan memperpanjang PSBB beberapa kali berdasarkan ukuran-ukuran keilmuan. Di samping itu, mereka mengeluarkan aturan-aturan khusus seperti DKI Jakarta menerbitkan SIKM (Surat Izin Keluar Masuk) memastikan penyelenggaraan efektif. 

Kebijakan daerah dikonsultasikan dan dikolaborasikan dengan Gugus Tugas, pakar epidemiologi dan perguruan tinggi, komunitas medis, tenaga kesehatan, perangkat daerah dan warga. Kebijakan tersebut adalah bentuk dari aksi yang lebih substansial dari para kepala daerah secara transparan, berbasis bukti (data), partisipatif dan mampu membangun harapan. 

Di awal pandemi, Gubernur Anies Baswedan menginisiasi pembatasan pergerakan penduduk untuk mengurangi penularan di DKI Jakarta, yang disusul dengan pembatasan di Bodetabek. Gubernur Ridwan Kamil mengambil langkah cepat melakukan tes massal daerah zona merah di Jawa Barat. Gubernur Ganjar Pranowo dengan pendekatan langsung ke warga Jawa Tengah di provinsi dan di luar provinsi, khususnya di Jabodetabek, mengajak mereka untuk menahan diri agar tidak mudik.

Walaupun terkesan ada rivalitas antara Gubernur Khofifah Indar Parawansa dengan Wali Kota Tri Rismaharini, kedua pemimpin tersebut tengah berlomba menahan peningkatan kasus di Jawa Timur. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah langkah berani Wali Kota Dedy Yon Supriyono memilih “lockdown” kota Tegal.

Banyak kepeloporan dan inisiasi kepala daerah lainnya untuk menanggulangi Covid-19 di wilayahnya. Kecuali Jawa Timur, daerah-daerah tersebut tengah mempersiapkan diri bahkan sudah memutuskan melakukan pelonggaran PSBB. Hasil kerja daerah tampak nyata. 

Pendulum kepemimpinan pengelolaan pandemi telah bergerak dari pusat ke daerah. Kepemimpinan kepala daerah sangat menentukan dan dapat mengimbangi aksi publisitas pemerintah agar normal baru tidak prematur. Kepala daerah beserta aparaturnya lebih memahami situasi dan kemampuan layanan kesehatan, ketahanan sosial dan ekonomi, dan terutama  kesiapan dan kemampuan adaptasi daerah dan warga ke normal baru. 

Sponsored

Ketergesaan pemerintah membuka sektor ekonomi dapat dimoderasi daerah dengan menyajikan data dan langkah-langkah terukur sehingga langkah yang seharusnya dapat dieksekusi. Ketika Presiden Jokowi mendorong kenormalan baru dengan simulasi pembukaan pusat perbelanjaan, ternyata pemda lebih cenderung melanjutkan PSBB.

Ketika pemerintah menyebutkan beberapa provinsi dapat membuka pariwisata, ternyata salah satu provinsi tersebut malah memperpanjang PSBB. Pemerintah harus menerima penilaian dan keputusan daerah mengingat mereka lebih paham situasi dan bertindak sebagai eksekutor. 

Kepemimpinan adaptif, kunci kenormalan baru

Kepala daerah diharapkan dapat menjembatani pengetahuan (data), kebijakan, dan  praktik untuk maju ke  tahap selanjutnya yang mensyaratkan semua pihak harus mampu beradaptasi dengan situasi pendemi. Adaptasi dilakukan dengan membangun kesadaran (1) mengapa harus beradaptasi, (2) apa yang perlu diadaptasi, (3) bagaimana beradaptasi, dan (4) bukti-bukti yang diperlukan untuk mendukung adaptasi (Ramalingan, Wild dan Ferrari, 2020). 

Beradaptasi diperlukan mengingat meningkatnya kasus, kasus positif dan meninggal, terbatasnya fasilitas kesehatan, beragamnya perilaku kelompok menyikapi kebijakan, kapasitas organisasi, hasil dari intervensi, dampak dan perubahan yang tidak terduga, dan munculnya pemahaman, bukti dan pelajaran baru. Apa saja yang diadaptasikan sejalan dengan protokol WHO.

Beradaptasi adalah menerima masukan dan proses kolektif secara terbuka dan transparan. Dan adaptasi membutuhkan data sebagai pondasi untuk kepentingan testing, kapasitas rumah sakit, jumlah nakes, umpan balik staf kesehatan, staf garis terdepan,  layanan dan bisnis. Data dari komunitas dan pemangku kepentingan juga dibutuhkan.

Manajemen adaptasi menghadapi Covid-19 ternyata dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah berkoordinasi dengan Gugus Tugas. Awalnya, daerah-daerah memutuskan mengajukan PSBB, melanjutkan proses tersebut dan menurunkan skala PSBB ke tingkat komunitas, RW dan desa. Keputusan untuk masuk ke normal baru harus dilakukan berbasis konteks daerah, seperti Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) ala Ridwan Kamil atau PSBB Transisi versi Anies Baswedan. 

Dalam pengelolaan pandemi, daerah-daerah telah berkolaborasi dengan Forkompinda, perguruan tinggi dan rumah sakit. Daerah mengerahkan aparat dan fasilitas yang terbukti karena sebagian daerah telah mampu melandaikan kurva pandemi dan melanjutkan ke tahap pemulihan. Sementara itu sebagian pemerintah daerah mampu menjaga wilayahnya sebagai zona hijau. Ternyata para kepala daerah tersebut memiliki kepemimpinan adaptif menghadapi pandemi. 

Bagaimana dengan kenormalan baru? Mengapa daerah? Nasehat Dr. Anthony Fauci, Direktur NIAD (National Institute of Allergy and Infectious Diseases) AS, pantas dipertimbangkan ketika diwawancarai CNN mengatakan,”…and you've got to understand that you don't make the timeline, the virus makes the timeline..:”. Kenormal baru adalah tahapan yang harus dimasuki dengan hidup bersama (persisnya bergulat bersama!) pandemi. Mengembalikan situasi sosial dan ekonomi dipandu protokol baru adalah keniscayaan.

Tidak ada satu pihak pun yang menolak masuk kenormalan baru.  Akan tetapi keputusan untuk memasukinya sangat bergantung kepada para aktor yang telah belajar, memahami, menyusun manajemen adaptasi dan melihat celah yang pas untuk bertindak. Dan para aktor tersebut adalah kepala daerah dengan segenap mitra dan jajarannya. 

Para pemimpin daerah paling memahami dan memiliki kapasitas merumuskan dan memutuskan masuk ke normal baru dengan kebijakan yang selaras konteks lokal. Para pemimpin daerah telah bekerja dan belajar selama tahap respons membatasi penularan dan melandaikan kurva. Kemampuan adaptasi dan bertindak fleksibel secara disiplin dengan protokol  yang jelas menjadi kunci transisi bergerak maju (emerge) mencapai kondisi yang lebih baik. Sebagian kepala daerah telah memiliki pengalaman dan kemampuan tersebut. 

Krisis dengan skala pandemi telah membuktikan, pemerintah adalah aktor utama yang mampu bergerak  efektif dibandingkan bisnis dan masyarakat. Pengalaman Indonesia tiga bulan ini menunjukkan, pemerintah daerah yang dapat bergerak lebih efektif. Sementara itu, pemerintah pusat dengan mengoptimalkan Gugus Tugas, dapat memberikan keleluasaan pilihan kebijakan dan menambahkan dukungan sumber daya (orang, uang dan peralatan), kepada daerah masuk ke normal baru. 

Pemerintah pusat tidak perlu mendorong-dorong daerah masuk ke normal baru melalui aksi-aksi publisitas yang hanya memunculkan kebingungan. Kenyataannya, PSBB kota Bekasi, lokasi Presiden Jokowi melakukan simulasi kenormalan baru, diperpanjang dengan adaptasi.  Sebaiknya sementara ini pemerintah pusat memperhatikan dan belajar dari pengalaman daerah.

Mengumpulkan praktik-praktik terbaik pengalaman daerah, membagikannya ke daerah lain atau ke kementerian dan lembaga negara. Langkah ini adalah persiapan penting jika terjadi gelombang kedua.  

Berita Lainnya
×
tekid