sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Didin Nasirudin

Kepresidenan Trump: Dari black swan ke black swan

Didin Nasirudin Selasa, 28 Apr 2020 14:49 WIB

Covid-19 sebagai ‘Black Swan’ di Pilpres 2020

Tetapi, modal dasar Trump untuk memerintah dua periode yang terkumpul hingga akhir Februari hancur berkeping-keping diterjang pandemi Covid-19.

Pertama, ketakutan meluasnya pendemi Covid-19 di AS dan bagian dunia lain yang akan sangat berdampak pada perekonomian global membuat indeks saham Dow Jones anjlok drastis pada minggu ke-4 Februari. Pada 28 Februari 2020, menurut CNBC, indeks Dow Jones anjlok sebesar 3500 poin yang berarti bursa saham AS kehilangan US$3,18 triliun.

Padahal saat itu, Covid-19 baru merengut nyawa seorang warga AS di Seattle, Washington. Sejak saat itu, situasi ekonomi AS terus memburuk. Indeks saham Dow Jones mencapai titik terendah (18.591,93) pada 20 Maret 2020, atau lebih rendah dari indeks pada awal pelantikan Trump sebagai presiden yang mencapai 23.417.68 pada 6 Januari 2017.

Kedua, anjloknya indeks bursa saham diikuti dengan gelombang PHK besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan AS. Menurut CNN, sejak 14 Maret hingga hari ini, lebih dari 26 juta warga AS melaporkan telah kehilangan pekerjaan. Ini merupakan angka penurunan mendadak terbesar sejak 1967. 

Menurut David Cay Johnston, mantan wartawan The New York Times yang sekarang menjadi Editor In-Chief DCReport, coronavirus membuat angka pengangguran di AS naik tajam menjadi 20% dan dia menjuluki Donald Trump sebagai Presiden No.1 dalam sejarah yang paling banyak menghasilkan pengangguran. 

Padahal, Trump sebelumnya kerap membanggakan dirinya sebagai “the greatest jobs president God ever created." Tetapi dengan tingkat pengangguran yang naik dari 3,5% pada akhir 2019 menjadi 20% saat ini, klaim Trump sebagai presiden pembuka lapangan kerja terbaik hilang ditelan badai PHK akibat Covid-19.

Keempat, pandemik Covid-19 ini menjadi anugerah buat Partai Demokrat, khususnya terkait pemilihan bakal calon presiden atau primary. Coronavirus membuat pertarungan 18 kandidat capres dengan cepat mengerucut menjadi dua kandidat terkuat saja yakni, Joe Biden dan Bernie Sanders.

Sponsored

Juga persaingan Biden-Sanders yang diperkirakan akan berlangsung sengit hingga menjelang konvensi pada Juli—yang kemudian diundur hingga Agustus—berakhir jauh lebih cepat. Bernie Sanders mundur dari pencalonan pada 8 April dan pada 14 April atau hanya selang satu minggu menyatakan dukungan terhadap Biden. 

Padahal, pada primary Partai Demokrat untuk Pilpres 2016, Sanders baru mundur dari pencalonan dan mendukung Clinton pada 12 Juli 2016 atau kurang dari dua minggu sebelum konvensi Partai Demokrat pada 25 Juli 2016.
Primary yang selesai lebih cepat berarti lebih banyak waktu untuk melakukan konsolidasi partai. Seperti diketahui Partai Demokrat terhitung partai yang ‘complicted’ karena merupakan koalisi pelangi dari banyak faksi dengan pandangan ideologi serta latar belakang rasial dan agama berbeda-beda. Sementara musuh bebuyutannya Partai Republik memiliki konstituen intinya relatif homogen, dengan mayoritas pemilih dari kalangan conservative white evangelical.

Kelima, dampak yang paling mengkhawatirkan dari Covid-19 bagi Trump dan Partai Republik adalah sikap dan kebijakan Trump terhadap pendemi itu sendiri. Ketika negara-negara lain sudah sibuk dengan membatasi mobilitas manusia dan menerapkan aturan social distancing yang ketat, Trump masih menganggap enteng Covid-19.

Priorities USA, Super PAC (Political Action Committee) pro-Demokrat terbesar merangkai sikap skeptis Trump dalam sebuah video iklan yang dipasang di berbagai media nasional AS utama dan juga di media-media utama di swing states

Dalam video tersebut Trump pada akhir Januari menyebut coronavirus sebagai ‘a new hoax’ yang dihembuskan Partai Demokrat. Ketika korban terinfeksi sudah mencapai belasan pada akhir Januari, Trump mengatakan ‘We have it totally under control.’  dan  “One day, it’s like a miracle, it will disappear.” Pada bagian selanjutnya dalam video tersebut ditunjukkan bahwa pada 20 Februari Trump juga berucap “When you have 15 people and within a couple of days it is going to be down to close to zero.” Padahal, jumlah korban coronavirus terus meningkat secara eksponensial dan bagian akhir video tersebut Trump mengatakan “No, I don’t take responsibility at all,” yang menurut video tersebut menunjukkan bahwa sebagai pemimpin, Trump tidak bisa dipercaya.

Dengan jumlah korban terinfeksi di AS hingga hari ini mencapai hampir 1 juta orang dan korban meninggal dunia mencapai lebih dari 56 ribu orang, secara politis Trump benar-benar dalam situasi sulit. Belum lagi pernyataan-pernyataan blunder yang diucapkannya dalam konferensi pers harian terkait coronavirus seperti menyarankan penggunaan chloroquine untuk mengobati serangan coronavirus dan ide menggunakan penyinaran sinar ultraviolet dan penyuntikkan desinfektan ke dalam tubuh untuk membunuh coronavirus.

Sikap dan kebijakan Covid-19 Trump yang sembrono membuat posisi Trump secara politis semakin terpuruk. Berdasarkan poling-poling yang dikumpulkan FiveThirtyEight, hanya 45,9% puas dengan kinerja Trump dalam penanganan Covid-19; 50,4% tidak puas. Dukungan pemilih terhadap Trump anjlok menjadi 43,3%, sedangkan 53,5% pemilih menyatakan tidak mendukung.

Trump juga kalah oleh Biden dalam poling nasional dan poling di negara bagian di sejumlah swing states terpenting. Menurut data RealClearPolitics, Trump kalah -5,9% oleh Biden di poling nasional, yakni 42,4% vs 48,3%. Di poling-poling negara bagian, Trump kalah oleh Biden -3,2% di Florida, -6,7% di Pennsylvania, -2,7% di Wisconsin, -4,4% di Arizona dan -5,5% di Michigan.

Tetapi harap diingat, Pilpres AS 2020 masih enam bulan lagi. Perdana Menteri Inggris Harold Wilson pernah mengungkapkan: “A week is a long time in politics.” Artinya  dalam satu minggu saja banyak hal bisa terjadi di dunia politik, apalagi enam bulan. Pilpres 2016 juga telah menjadi pelajaran kepada lembaga-lembaga poling AS bahwa poling-poling di minggu terakhir menjelang pilpres saja bisa meleset, terutama akibat faktor-faktor black swan seperti penyidikan Clinton oleh FBI kurang dari dua minggu menjelang pilpres yang menghasilkan daya rusak politik yang luar biasa.

Meski demikian, analis poling CNN Harry Enten meyakini, Pilpres 2020 berbeda dengan Pilpres 2016. Pada pilpres empat tahun lalu, yang bertarung adalah dua orang politisi yang sama-sama tidak disukai oleh mayoritas pemilih, sehingga pemilih dipaksa untuk memilih yang lebih baik diantara yang jelek. Pada pilpres kali ini, Trump akan menjadi capres yang tidak disukai mayoritas pemilih, sedangkan Biden menjadi rival yang disukai oleh mayoritas. 

Jadi Pilpres 2020 ini lebih merupakan referendum terhadap Trump sebagai calon petahana yang maju di tengah situasi ekonomi AS yang mengalami kontraksi, pengangguran mencapai angka tertinggi sejak Great Depression dan AS menjadi negara dengan jumlah korban terinfeksi dan meninggal akibat Covid-19 tertinggi di dunia. Jadi kans Trump untuk terpilih kembali sangat berat.

Menurut Enten, Trump akan memiliki peluang lebih besar jika Pilpres 2020 kembali menjadi seperti Pilpres 2016 yakni menjadi ajang untuk memilih Trump atau Biden, bukan sebuah referendum untuk Trump. Atau who knows sang ‘angsa hitam’ akan datang kembali untuk memberi Trump berbagai keberuntungan seperti yang terjadi empat tahun lalu!

Berita Lainnya
×
tekid